Sejarah Awal Kerajaan Brunei Darussalam
Sejarah Awal Brunei Darussalam
Brunei terdiri dari dua bagian yang tidak berkaitan;
97% dari jumlah penduduknya tinggal di bagian barat yang lebih besar, dengan
hanya kira-kira 10.000 orang tinggal di daerah Temburong, yaitu bagian timur
yang bergunung-gunung. Jumlah penduduk Brunei 383.000 orang. Dari bilangan ini,
lebih kurang 46.000 orang tinggal di ibukota Bandar Seri Begawan. Sejumlah kota
utama termasuk kota pelabuhan Muara, serta kota Seria yang menghasilkan minyak,
dan Kuala Belait, kota tetangganya. Di daerah Belait, kawasan Panaga ialah
kampung halaman sejumlah besar ekspatriat, disebabkan oleh fasilitas perumahan
dan rekreasi Royal Dutch Shell dan British Army. Klub Panaga yang terkenal
terletak di sini.Iklim Brunei ialah tropis khatulistiwa, dengan suhu serta
kelembapan yang tinggi, dan sinar matahari serta hujan lebat sepanjang tahun.
Silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu
Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak
Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan
Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan
1804-1807).
Brunei adalah sebuah negara tua di antara
kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Keberadaan Brunei Tua ini diperoleh
berdasarkan kepada catatan Arab, Cina dan tradisi lisan. Dalam catatan Sejarah
Cina dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, Poni atau Puni dan Bunlai. Dalam catatan
Arab dikenali dengan Dzabaj atau Randj. Catatan tradisi lisan diperoleh dari
Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah
yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi
ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah
mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu
diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya
ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan
perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di
hati mereka untuk mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan. Kemudian
perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah menjadi Brunei.
Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah
Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-Buddha pada suatu masa dahulu pernah
dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi kebiasaan dari para musafir
agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan
stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk
mengembangkan agama tersebut di tempat itu. Replika batu nisan P'u Kung Chih
Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan ibni Muhammad Shah
Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula menggambarkan
mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang
dan mubaligh-mubaliqh Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat
tempat baik penduduk lokal maupun keluarga kerajaan Brunei.
Islam mulai berkembang dengan pesat di Kesultanan
Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M.
Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan / pancir dari Cucu
Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam yaitu Amirul Mukminin Hasan / Syaidina
Hasan sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / prasasti dari abad ke-18
M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei. Keturunan Sultan Syarif Ali ini
kemudian juga berkembang menurunkan Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan
Brunei yaitu menurunkan Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.
Catatan-catatan dari Tiongkok dan Arab menunjukkan
bahwa kesultanan Brunei telah ada sejak setidaknya abad VII atau VIII Masehi.
Kesultanan awal ini kemudian ditaklukkan oleh Sriwijaya pada awal abad IX dan
kemudian menguasai Kalimantan utara dan Filipina. Setelah itu mereka dijajah
oleh Majapahit, namun berhasil memerdekakan diri dan menjadi negara yang maju.
Kesultanan Brunei mencapai masa kejayaan dari abad
XV sampai XVII, ketika daerah kekuasaannya mencapai seluruh pulau Kalimantan
dan kepulauan Filipina. Brunei terutama paling kuat dalam masa pemerintahan sultan
kelima, Bolkiah (1473-1521), yang terkenal karena perjalanan-perjalanannya di
samudera dan menaklukkan Manila; dan pada masa pemerintahan sultan kesembilan,
Hassan (1605-1619), yang mengembangkan sistem pengadilan kerajaan, yang
unsur-unsurnya masih terdapat sampai hari ini.
Para peneliti sejarah telah mempercayai terdapat
sebuah kerajaan lain sebelum berdirinya Kesultanan Brunei kini, yang disebut
orang Tiongkok sebagai Po-ni. Catatan orang Tiongkok dan orang Arab menunjukkan
bahwa kerajaan perdagangan kuno ini ada di muara Sungai Brunei awal abad ke-7
atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei
dan Sarawak yang berpusat di Brunei. Kesultanan Brunei juga merupakan pusat
perdagangan dengan China. Kerajaan awal ini pernah ditaklukkan Kerajaan
Sriwijaya yang berpusat di Sumatra pada awal abad ke-9 Masehi dan seterusnya
menguasai Borneo utara dan gugusan kepulauan Filipina. Kerajaan ini juga pernah
menjadi taklukan (vazal) Kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa. Nama
Brunai tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah bawahan Majapahit.
Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena setelah Hayam Wuruk wafat Brunai
membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri yang merdeka dan pusat
perdagangan penting.
Pada awal abad ke-15, Kerajaan Malaka di bawah
pemerintahan Parameswara telah menyebarkan pengaruhnya dan kemudian mengambil
alih perdagangan Brunei. Perubahan ini menyebabkan agama Islam tersebar di
wilayah Brunei oleh pedagangnya pada akhir abad ke-15. Kejatuhan Melaka ke
tangan Portugis pada tahun 1511, telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih
kepimpinan Islam dari Melaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman
kegemilangannya dari abad ke-15 hinga abad ke-17 sewaktu memperluas
kekuasaannya ke seluruh pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah utaranya.
Semasa pemerintahan Sultan Bolkiah (1473-1521) yang terkenal disebabkan
pengembaraan baginda di laut, malah pernah seketika menaklukkan Manila.
kesultanan Brunei memperluas pengaruhnya ke utara hingga ke Luzon dan Sulu
serta di sebelah selatan dan barat Kalimantan; dan pada zaman pemerintahan
sultan yang kesembilan, Hassan (1605-1619), yang membangun susunan aturan adat
istiadat kerajaan dan istana yang masih kekal hingga hari ini.
Pada tahun 1658 Sultan Brunei menghadiahkan kawasan
timur laut Kalimantan kepada Sultan Sulu di Filipina Selatan sebagai
penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam menyelesaikan perang saudara di antara
Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran Mohidin. Persengketaan dalam kerajaan Brunei
merupakan satu faktor yang menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang
bersumber dari pergolakan dalam disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris
kerajaan, juga disebabkan timbulnya pengaruh kuasa penjajah Eropa di rantau
sebelah sini, yang menggugat corak perdagangan tradisi, serta memusnahkan asas
ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara yang lain.
Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke
Serawak dan menjadi raja di sana serta menyerang Brunei, sehingga Brunei
kehilangan kekuasaannya atas Serawak. Sebagai balasan, ia dilantik menjadi
gubernur dan kemudian "Rajah" Sarawak di Barat Laut Borneo sebelum
meluaskan kawasan di bawah pemerintahannya. Pada tanggal 19 Desember 1846,
pulau Labuan dan sekitarnya diserahkan kepada James Brooke. Sedikit demi
sedikit wilayah Brunei jatuh ke tangan Inggris melalui perusahaan-perusahaan
dagang dan pemerintahnya sampai wilayah Brunei kelak berdiri sendiri di bawah
protektorat Inggris sampai berdiri sendiri tahun 1984.
Pada tahun 1521, pelaut Spanyol Magellan mendaratkan
dua kapalnya di sana. Pemberontakan rakyat dipicu ketaksukaan mereka atas
campur tangan orang asing dalam pemerintahan. Paman Sultan, Raja Muda Hasim,
yang menjabat perdana menteri gagal memadamkan pemberontakan itu. Akhirnya
bantuan asing dipimpin petualang Inggris, James Brooke pun ikut campur tangan
atas permintaan sultan. Sebagai bayaran atas kesuksesan Brooke menumpas
pemberontakan, ia diangkat sebagai raja atas wilayah Kuching, Bau dan Lundu.
Pada 1839, petualang Inggris James Brooke sampai ke
Kalimantan dan menolong Sultan Brunei menumpas sebuah pemberontakan. Sebagai
imbalannya, ia menjadi gubernur dan kemudian "Rajah Putih" dari
Sarawak di Kalimantan barat laut dan kemudian mengembangkan daerah kekuasaan di
bawah pemerintahannya. Brooke tidak pernah mengambil alih kekuasaan di Brunei,
walaupun ia mencoba untuk melakukan hal itu. Ia bertanya kepada pemerintah
Britania apakah ia boleh mengakui Brunei sebagai miliknya, namun ditolak.
Walaupun Brunei diperintah dengan kurang baik, ia memiliki perasaan dan
identitas nasional, dan karena itu tidak dapat direbut oleh Brooke.
Sementara itu, British North Borneo Company
memperluas kekuasaannya di daerah Kalimantan timur laut. Pada 1888, Brunei
menjadi negara lindungan pemerintah Britania Raya, dan walaupun tetap memegang
otonomi namun di bawah kekuasaan Britania dalam hubungan luar negeri. Pada
1906, Brunei lebih erat lagi dikuasai Britania ketika kekuasaan eksekutif
dialihkan kepada seorang Residen yang mengatur semua hal kecuali adat dan agama
lokal.
Pada 1959, sebuah undang-undang dasar baru ditulis
dan mencanangkan Brunei sebagai negara yang memerintah diri sendiri, walaupun
hubungan luar negeri, keamanan dan pertahanan tetap dipegang oleh Britania
Raya, sekarang diwakili oleh seorang Komisioner Tinggi. Sebuah usaha pada 1962
untuk memperkenalkan sebuah badan legislatif yang sebagian anggotanya dipilih
dan memiliki kekuasaan terbatas dibatalkan setelah partai politik oposisi
Partai Rakyat Brunei meluncurkan pemberontakan bersenjata, yang ditaklukkan
pemerintah dengan bantuan tentara Britania. Pada akhir 1950-an dan awal
1960-an, pemerintah juga menolak untuk bergabung dengan Sabah dan Sarawak di
negara Malaysia yang baru terbentuk. Sultan Brunei kemudian memutuskan bahwa
Brunei akan menjadi negara yang terpisah.
Pada 1967, Omar Ali Saifuddin turun tahta untuk anak
laki-lakinya yang kedua, Hassanal Bolkiah, yang menjadi penguasa ke-29. Sang
mantan sultan tetap menjadi menteri pertahanan dan mengambil gelar Seri
Begawan. Pada 1970, ibu kota Brunei Town diganti namanya menjadi Bandar Seri
Begawan untuk menghormatinya. Seri Begawan wafat pada 1986.
Pada 4 Januari 1979, Brunei dan Britania Raya
menandatangani sebuah perjanjian persahabatan dan kerjasama baru. Pada 1
Januari 1984, Brunei Darussalam menjadi negara merdeka.
Raja-raja
Brunai Darusalam yang memerintah sejak didirikannya kerajaan pada tahun 1363 M
yakni:
1.
Sultan Muhammad Shah (1383 - 1402)
2.
Sultan Ahmad (1408 - 1425)
3.
sultan Syarif Ali (1425 - 1432)
4.
Sultan Sulaiman (1432 - 1485)
5.
Sultan Bolkiah (1485 - 1524)
6.
Sultan Abdul Kahar (1524 - 1530)
7.
Sultan Saiful Rizal (1533 - 1581)
8.
Sultan Shah Brunei (1581 - 1582)
9.
Sultan Muhammad Hasan (1582 - 1598)
10.
Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598 - 1659)
11.
Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1669 - 1660)
12.
Sultan Haji Muhammad Ali (1660 - 1661)
13.
Sultan Abdul Hakkul Mubin (1661 - 1673)
14.
Sultan Muhyiddin (1673 - 1690)
15.
Sultan Nasruddin (1690 - 1710)
16.
Sultan Husin Kamaluddin (1710 - 1730) (1737 - 1740)
17.
Sultan Muhammad Alauddin (1730 - 1737)
18.
Sultan Omar Ali Saifuddien I (1740-1795)
19.
Sultan Muhammad Tajuddin (1795-1804) (1804-1807)
20.
Sultan Muhammad Jamalul Alam I (1804)
21.
Sultan Muhammad Kanzul Alam (1807-1826)
22.
Sultan Muhammad Alam (1826-1828)
23.
Sultan Omar Ali Saifuddin II (1828-1852)
24.
Sultan Abdul Momin (1852-1885)
25.
Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (1885-1906)
26.
Sultan Muhammad Jamalul Alam II (1906-1924)
27.
Sultan Ahmad Tajuddin (1924-1950)
28.
Sultan Omar 'Ali Saifuddien III (1950-1967)
29.
Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah (1967-kini)
Comments
Post a Comment