KERAJAAN BANTEN (1526-1813)
A.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten
Sebelum resmi menjadi sebuah kerajaan Islam, Banten
dulunya dikenal sebagai Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan
Sunda. Sekitar tahun 1526, Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam
terbesar kala itu melakukan penaklukan di kawasan pesisir barat Pulau Jawa.
Penaklukan yang dilakukan Kerajaan Demak juga berdampak pada wilayah Banten
Girang yang berada dekat dengan pelabuhan-pelabuhan yang kemudian berhasil
dikuasai.
Sebelum kerajaan Islam berkuasa
di Banten, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari
Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti.
Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita parahyangan, disebutkan nama Wahanten Girang.
Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat
pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon,
meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta perdagangan
orang-orang Islam disana.
Menurut sumber tradisional,
penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah-ramah dan
tertarik masuk Islam. Penguasa itu membukakan jalan seluas-luasnya bagi
kegiatan pengislaman di Banten. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa
atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun,
menurut berita Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan
damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman
mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali
dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan
tiba-tiba.[1]
Kedatangan Kerajaan Demak yang dipimpin oleh
Maulana Hasanudin sebenarnya dilatarbelakangi oleh adanya jalinan kerjasama
antara Kerajaan Sunda dan Portugal dibidang politik dan ekonomi. Hal ini
dikhawatirkan dinilai dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak yang telah berhasil
mengalahkan Portugal di Malaka pada 1513.
Selain itu,
pasukan bersama Maulana Hasanudin juga berhubungan dengan usaha Kerajaan Demak
untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh Nusantara. Oleh karena itu, atas
perintah Trenggana juga Fatahillah, sekitar tahun 1527 Pelabuhan Kelapa yang
kala itu merupakan pelabuhan utama Kerajaan Sunda berhasil ditaklukan.
Selain
membangun benteng pertahanan di wilayah Banten, Maulana Hasanudin juga
memperluas kekuasaannya di daerah penghasil lada, Lampung. Maulana Hasanudin
yang merupakan utusan dari Kerajaan Demak juga berperan dalam penyebaran agama
Islam di kawasan tersebut dan melakukan kerjasama perdagangan
dengan Raja Malangkabu yang sekarang dikenal sebagai Minangkabau dari Kerajaan
Inderapura. Raja Malangkabu yang kala itu dipimpin oleh Sultan Munawar Syah
kemudian menganugerahi Maulana Hasanudin dengan keris.
Seiring dengan
kemunduran Kerajaan Demak yang telah ditinggalkan oleh Trenggono wafat, Banten
pun akhirnya memisahkan diri dari Demak dan menjadi kerajaan yang Mandiri. Awal
berdirinya Kerajaan Banten dimulai oleh naik tahtanya Maulana Yusuf yang
merupakan anak dari Maulana Hasanudin. Sekitar tahun 1570, Maulana Yusuf yang
baru naik tahta kemudian menaklukan Pakuan Pajajaran. Melalui ekspansi ke
kawasan pedalaman Sunda, pada 1579 Pakuan Pajajaran pun berhasil ditaklukan.
Setelah Yusuf meninggal dunia
tahun 1580 M, ia digantikan oleh puteranya Muhammad, yang masih muda belia.
Selama Sultan Muhammad masih dibawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh
kali (Arab: qadhi, Jaksa
agung) bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini melanjutkan serangan terhadap
raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang
anak yang baru berusia 5 bulan, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.[2]
Kerajaan Islam
dari Banten pun semakin lama semakin Berjaya, puncaknya di tahun 1651-1682
ketika Kerajaan di Banten tersebut dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Dibawah pimpinannya, Banten berhasil memiliki armada sekelas Eropa, bahkan
mempekerjakan orang Eropa untuk Kesultanan Banten kala itu. Di masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten berhasil menaklukan Kerajaan
Tanjungpura yang kini dikenal sebagai wilayah Kalimantan Barat pada tahun 1661.
Banten juga pada masa itu berusaha keluar dari cengkraman VOC yang sebelumnya
telah memblokade kapal-kapal dagang yang akan berlayar menuju Banten.
Kemajuan
Kesultanan Banten dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pun terus berjalan,
hingga sekitar tahun 1680an, perselisihan dalam Kesultanan Banten pun terjadi.
Konflik dalam Kerajaan Banten ini disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan dan pertentangan
antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang merupakan anaknya sendiri.
Konflik intern ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan serta bantuan
persenjataan kepada pihak Sultan Haji, sehingga perang saudara pun akhirnya
terjadi.
Dari perang saudara yang tidak
lain adalah anaknya sendiri, Sultan Ageng pun akhirnya terpaksa mundur dari
istana dan pindah ke kawasan yang dikenal dengan sebutan Tirtayasa. Namun pada
28 Desember 1682, kawasan Tirtayasa ini pun dikuasai oleh pihak Sultan Haji dan
VOC dan membuat Sultan Ageng bersama putra yang lain pun mundur dari Makasar
menuju selatan ke arah pedalaman Sunda. Kemudian pada 14 Maret 1683, Sultan
Ageng pun tertangkap dan ditahan di Batavia.
Ditangkapnya Sultan Ageng
ternyata tidak membuat pihak VOC berhenti. Pada 5 Mei 1683 VOC kemudian
mengutus Untung Surapati yang berpangkat letnan bersama pasukan Balinya
bergabung dengan pasukan dari Letnan Johannes Maurits van Happel untuk
menaklukan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur. Pasukan yang dipimpin oleh dua
orang berpangkat letnan itu pun pada 14 Desember 1683 kemudian berhasil
menaklukan daerah tersebut dan menangkap Syekh Yusuf yang merupakan anak dari
Sultan Ageng yang ikut dalam pertempuran Sultan Ageng. Pangeran Purbaya yang
juga anak Sultan Ageng kemudian menyerahkan diri karena kondisinya yang semakin
terdesak.
Penyerahan diri
putra dari Sultan Ageng ini pun tidak dilewatkan begitu saja oleh pihak musuh.
Untung Surapati yang pada saat itu menjadi pemimpin pasukan, diperintahkan oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya. Ditengah perjalanan untuk
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, pasukan Untung Surapati dihadang oleh
pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler yang mengakibatkan pertempuran
di antara pasukan besar tersebut.
Sebelum memegang pemerintahan
secara langsung, Sultan berturut-turut berada dibawah 4 orang wali laki-laki
dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun 1626, dan pada
tahun 1638 mendapatkan gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja Banten pertama
dengan gelar Sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan
oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan Abulfath Abdulfath ini
terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan
disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.[3]
Pada 28 Januari
1684, pos pasukan Willem Kuffeler berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung
Surapati yang lahirnya menyebabkan Untung Surapati menjadi buronan VOC. Disamping
itu, Pangeran Purbaya yang menjadi tawanan pun tetap berhasil dibawa ke Batavia
pada 7 Febuari 1684.
Kerajaan Banten
yang dipimpin oleh Sultan Haji pun berjalan dengan baik hingga pada tahun 1687,
Sultan Haji pun meninggal dunia. Disaat inilah VOC mulai mencengkram
pengaruhnya di kerajaan Islam di Pulau Jawa tersebut. Sepeninggalnya Sultan
Haji, pengangkatan Sultan Banten pun kini diambil alih oleh Gubernur
Hindia-Belanda. Dan kedudukan Sultan Haji pun digantikan oleh Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya yang berkuasa selama tiga tahun.
Selepas Sultan
Abu Fadhl Muhammad Yahya, kepemimpinan Kesultanan Banten pun digantikan oleh
saudaranya, yaitu Pangeran Adipati yang diberi gelar Sultan Abu Mahasin
Muhammad Zainul Abidin. Pangeran Adipati ini juga dikenal sebagai raja dengan
gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Selepas
pergantian Kesultanan Banten tersebut, Gubernur Jendral Hindia-Belanda yang
kala itu dipimpin oleh Herman Willem Deandels memerintahkan kepada Sultan
Banten memindahkan ibukotanya ke Anyer dan
menyediakan tenaga kerja untuk membangun Jalan Raya Pos. pembangunan jalan raya
tersebut bertujuan untuk mempertahankan Pulau Jawa dari Serangan Inggris.
Namun, Sultan
Banten yang kala itu dipimpinn oleh Sultan Abu Mahasin Muhammad Zainul Abidin
menolak. Penolakan Sultan Abu Mahasin Muhammad Zainul Abidin ini membuat Willem
Deandels murka dan melakukan penyerangan atas Banten. Tidak hanya itu, pasukan
dari Willem Deandels pun menghancurkan Istana Surosowan yang merupakan tempat
tinggal sultan beserta keluarga. Sultan beserta keluarga kemudian disekap di
Istana Surosowan atau Puri Intan dan dipenjarakan di Benteng Speelwijk.
Sultan Abul
Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin yang merupakan sultan yang menggantikan
Sultan Abu Mahasin Muhammad Zainul Abidin kemudian diasingkan dan dibuang ke
Batavia. Dari peristiwa
tersebut, wilayah Kerajaan Banten pun menjadi wilayah kekuasaan Hindia-Belanda
dengan ditandai oleh pengumuman resmi dari Deandels pada 22 November 1808.
Akhirnya pada
tahun 1813, pemerintahan kolonial Inggris yang kala itu berkuasa ditanah
Nusantara resmi menghapus Kesultanan Banten. Pada tahun yang sama pula Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin yang merupakan pimpinan dari
sisa-sisa kerajaan di Banten tersebut dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh
Thomas Stamford Raffles. Inilah masa dimana Kerajaan di Banten pun berakhir.
B. Wilayah
Kekuasaan Kerajaan Banten
Secara
geografis, Kerajaan Banten terletak di propinsi Banten. Wilayah kekuasaan
Banten meliputi bagian barat Pulau Jawa, seluruh wilayah Lampung, dan sebagian
wilayah selatan Jawa Barat. Situs peninggalan Kerajaan Banten tersebar di
beberapa kota seperti Tangerang, Serang, Cilegon, dan Pandeglang. Pada mulanya,
wilayah Kesultanan Banten termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda.
Awal
perkembangan kerajaan banten Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan
Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk
membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan, Demak berhasil
menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.
Sejak saat itu,
Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang
berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada
putranya,Hasanuddin. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin,
Banten cepat berkembang menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke
Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
Maulana
Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga
telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan
Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana.
Banten yang
sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi
kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta
pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan
menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun Kemudian ia digantikan anaknya Maulana
Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha
Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia
meninggal dalam penaklukkan tersebut.
C. Penyelenggaraan
Pendidikan Kerajaan Banten
Penyelenggaraan pendidikan
pada masa Kerajaan Banten Sistem
pelaksanaarn pendidikan dan pengajaran agama Islam di Banten yaitu dengan
mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan
pendidikan agama dibawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang
menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.
Pendidikan sudah mendapat perhatian sedemikian
rupa, seolah-olah tertanam semacam kesadaran akan pendidikan pada masyarakat
kala itu. Meskipun tidak ada semacam undang-undang wajib belajar, tapi
anak-anak usia sekolah tampaknya harus belajar pada tempat-tempat pengajian di
desanya atas kehendak orang tuanya sendiri.
Ketika itu hampir disetiap desa diadakan tempat
pengajian alquran, yang diajarkan huruf hijaiyah, membaca alquran, barzanji,,
pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam dan sebagainya. Adapun cara
mengajarkannya adalah dengan cara hafalan semata-mata. Selain pelajaran al-Quran,
juga ada tempat pengajian kitab, bagi murid-murid yang telah khatam mengaji
alquran. Tempat pengajianya disebut pesantren.
D. Tokoh-Tokoh
Cendikiawan Masa Kerajaan
Banten
1.
Sultan Maulana
Hasanuddin (1552-1570)
Dia merupakan
Raja pertama di Banten. Dia mendapat gelar Pangeran Sabakingking atau Seda
Kikin. Sultan Maulana Hasanuddin adalah putera dari Syaikh Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Djati) dan Nyi Kawunganten (Putri Prabu Surasowan = Bupati Banten
tempo dulu). Dengan meletakkan dasar-dasar pemerintahan, Kerajaan Banten dan
mengangkat dirinya sebagai raja pertama. Pada masa pemerintahannya, agama Islam
dan kekuasaan Kerajaan Banten berkembang cukup pesat.
Dibawah
pemerintahannya, Banten mengalami kemajuan yang pesat dan wilayahnya meliputi
Sunda Kelapa, Bengkulu, dan Lampung. Maulana Hasanuddin, dalam usahanya
membangun dan mengembangkan Kota Banten, lebih menitik beratkan pada
pengembangan di sector perdagangan, disamping memperluas daerah pertanian dan
perkebunan. Ia berusaha mendorong peningkatan pendapatan rakyatnya dengan
melalui pertumbuhan pasar yang sangat cepat, Karena Banten menjadi tempat
persinggahan perdagangan rempah-rempah.
2.
Maulana Yusuf (1570-1580)
Dia adalah
putra dari Maulana Hasanuddin dengan Ratu Ayu Kirana. Dia adalah anak ke 2 sultan Hasanuddin. la berupaya untuk memajukan
pertanian dan pengairan. la juga berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan
kerajaannya. Kerajaan Pajajaran yang merupakan benteng terakhir Kerajaan Hindu
di Jawa Barat berhasil dikuasainya.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,
perdagangan sudah begitu pesat hingga Banten dikenal sebagai tempat penimbunan
barang-barang dari segala penjuru dunia yang nantinya disebarkan ke seluruh
Nusantara. Para pedagang dari cina membawa uang kepeng (uang yg terbuat dari
timah), porselen, kain sutra, benang emas, jarum, sisir, payung, dsb. Pulangnya
mereka membeli rempah-rempah, kulit penyu, gading gajah.
Dengan majunya
perdagangan ini, maka kota Banten menjadi ramai baik oleh penduduk dari Banten
sendiri maupun oleh pendatang. Dari perkawinannya dengan Ratu Hadijah, Maulana
Yusuf dikaruniai dua orang anak, yaitu : Ratu Winaon dan Pangeran Muhammad.
Sedangkan dari istri-istrinya yang lain, dikaruniai anak antara lain : Pangeran
Upapati, Pangeran Dikara, Pangeran Mandalika atau Pangeran Padalina, dsb
3. Maulana Muhammad (1585-1590)
Dia adalah anak dari Maulana Yusuf dan Ratu Hadijah. Ketika
Panembahan Yusuf sedang sakit, saudaranya yang bernama Pangeran Jepara datang
ke Banten. Ternyata Pangeran Jepara yang dididik oleh Ratu Kalinyamat ingin
menduduki Kerajaan Banten. Tetapi mangkubumi Kerajaan Banten dan
pejabat-pejabat lainnya tidak menyetujuinya. Mereka mengangkat putra Panembahan
Yusuf yang baru berumur sembilan tahun bernama Maulana Muhammad menjadi raja
Banten dengan gelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan.
Karena masih kecil, sehingga yang menjadi wali atau pengganti
adalah Mangkubumi. Mangkubumi menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan
kerajaan sampai rajanya siap untuk memerintah. Peristiwa yang menonjol pada
masa pemerintahan Maulana Muhammad adalah peristiwa penyerbuan ke Palembang.
Kejadian ini bermula dari hasutan Pangeran Mas yang ingin menjadi raja di
Palembang.
Pangeran Mas adalah putra
dari Aria Pangiri. Dan Aria Pangiri adalah putra dari Sunan Prawoto. (Aria
Pangiri tersisih dua kali dari haknya menjadi raja di Demak, dan terakhir
karena ketahuan hendak melepaskan diri dari kuasa Mataram, Sutawijaya hendak
membunuhnya, akan tetapi atas bujukan istrinya hal itu tidak dilakukannya
setelah Aria Pangiri berjanji tidak akan kembali ke daerah Mataram untuk
selamanya.
Akhirnya dia menetap di Banten sampai dia meninggal. Penyebabnya
Maulana Muhammad yang masih muda dan penuh semangat untuk memakmurkan Banten
dan mengembangkan Islam ke seluruh Nusantara dihasutnya (aria pangiri).
Dikatakan bahwa Palembang dulunya adalah daerah kekuasaan ayahnya sewaktu
menjadi sultan Demak, kemudian membangkang dan melepaskan diri.
Disamping itu dikatakan bahwa sebagian besar rakyatnya masih kafir,
sehingga perlulah Banten menyerang ke sana untuk menyebarkan agama Islam. Maka
terjadilah pertempuran hebat di sungai Musi sampai berhari-hari. Akhirnya
pasukan Palembang dapat dipukul mundur. Tapi dalam keadaan yang hampir berhasil
itu, sultan yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri tertembak yang
mengakibatkan kematian beliau. Penyerangan tidak dilanjutkan, pasukan Banten
pun kembali tanpa mendapat hasil. Adapun Pangeran Mas, diceritakan bahwa
setelah pulang dari Palembang, dia tidak berani menetap lama di Banten. Rakyat
Banten menganggap bahwa dialah penyebab kematian sultan.
4. Sultan
Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir (1605-1640)
Dia memerintah
banten pada usia 5 bulan. Dia merupakan anak dari Maulana Muhammad. Pada zaman
kesultanan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama pada akhir
abad ke-16 (Juni 1596) di mana orang- orang Belanda datang untuk pertama
kalinya mendarat di Pelabuhan Banten di bawah pimpinan Cornellis de Houtman
dengan maksud untuk berdagang.
Kemudian di
susul Jacob Van Neck, dibantu Van Waerwijk dan Var Heemskerck. Persaingan tidak
sehat yang dilakukan banten terhadap belanda ternyata menimbulkan kerugian
besar akhirnya Belanda mendirikan VOC. Namun sikap yang kasar dari bangsa
Belanda tidak menarik simpati pemerintah dan rakyat Banten sehingga sering
terjadi perselisihan di antara orang-orang Banten dengan orang-orang Belanda.
Kesultanan
mengangkat seorang mangkubumi untuk memerintah Banten yaitu Pangeran Arya
Ranamenggala (karena abdul mufakir belum cukup umur). Sultan Abdul Mufakir mulai
berkuasa penuh dari tahun 1624-1643 dengan Ranamenggala sebagai patih dan
penasehat utamanya. Usaha yang dilakukan ranamenggala adalah mengadakan penertiban-penertiban baik
keamanan dalam negeri maupun kebijakan terhadap para pedagang eropa. Pajak
ditingkatkan terutama bagi belanda agar membayar pajak ke banten.
Hal ini
dimaksudkan agar orang belanda tidak betah tinggal di banten. Setelah abdul
mufakir dewasa, ia mengembangkan sektor pertanian yang berupa lada, cengkeh,
dan sebagainya. dalam bidang politik, ia juga berhasil menjalin hubungan dengan
negara lain terutama negara islam. Dia merupakan penguasa banten yang mendapat
gelar dari Mekkah. Ia bersikap tegas terhadap siapa saja yang memaksakan
kehendaknya kepada Banten, misalnya menolak mentah-mentah Belanda hendak
memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Akan tetapi,
kenyataan selanjutnya berbeda. Sultan Abdul Mufakir melakukan kerjasama dengan
Belanda. Karena ia merasa Belanda akan memberikan keuntungan kepada Banten.
Hubungan antara Belanda dan sultan ini sangat baik, karena sultan ini bersikap
lunak terhadap Belanda. Akan tetapi hubungan baik ini mulai merenggang setelah
kematian Abdul Mufakir.
5.
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1680)
Seharusnya yang
menggantikan abdul mufakir adalah anaknya yaitu Abu Al Mu’ali, tetapi karena
dia meninggal terlebih dahulu sebelum ayahnya. Jadi yang menggantikan Abu Al Mu’ali adalah anaknya yang bernama
Sultan Ageng Tirtayasa. Ibunya bernama Ratu Marta Kusuma. Sultan Ageng
merupakan seseorang yang taat beragama. Gelarnya dia adalah Sultan Abu Al
Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau Pangeran Ratu ing Banten.
Pada masa dia,
kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan. Usaha pertama yang dilakukan sultan
ageng adalah memperbaiki hubungan dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon untuk
hubungan pelayaran dan perdagangan. Ia adalah seorang yang ahli strategi
perang, kemampuannya tidak diragukan lagi. Ia juga menaruh perhatian besar
terhadap pendidikan keislaman. Pada masanya, ia membangun sebuah kraton yang diberi
nama Kraton Tirtayasa.
Alasan sultan
ageng membuat kraton tirtayasa adalah mempermudah dalam mengamati gerak-gerik
kapal yang keluar masuk pelabuhan banten, kraton ini juga di gunakan sebagai
tempat tinggal sultan. Akhirnya sultan ageng pindah ke Tirtayasa dan Kraton
Surosowan diserahkan kepada anaknya yang bernama sultan Haji. Ia berhasil
menjalin sistem perdagangan bebas dengan negara Eropa, seperti Inggris,
Perancis, Denmark dan Portugis.
Sultan Ageng
sangat memusuhi Belanda, karena bagi dia Belanda menghalang-halangi
perkembangan perdagangan di Banten. Konflik antar Belanda dengan Banten
memuncak lagi, bersamaan dengan konflik tersebut, ia harus mengahdapi
penghianatan yang dilakukan oleh putra kandungnya sendiri yaitu sultan Haji.
Penyebab dari penghianatan tersebut karena Sultan Haji termakan hasutan Belanda
yang mengatakan bahwa, Sultan Haji tidak bisa menggantikan ayahnya sebab masih
ada Pangeran Arya Purbaya (Saudara Sultan Haji). Maka terjadilah persengketaan
antara Sultan Haji dan ayahnya yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.
6.
Sultan Abdul Kahar/Sultan Haji (1683-1687)
Sultan Haji diberi wewenang untuk mengatur semua urusan dalam
negeri di Surosowan. Sedangkan di luar surosowan yang mengatur adalah masih
sultan ageng bersama anaknya yaitu pangeran purbaya. Kepindahan Sultan Ageng ke
Tirtayasa, dimanfaatkan oleh belanda untuk mendekati putra mahkota agar
terpengaruh oleh hasutan Belanda.
Belanda dapat mendapat kemudahan sehingga dalam setiap upacara
penting di istana belanda selalu diundang dan turut hadir. Hubungan belanda dan
sultan sangat dekat bahkan belanda merubah semua tingkah laku sultan seperti
cara berpakaian, cara makan, dsb. Sehingga gaya hidupnya lebih condong ke
Belanda dari pada ke Bangsanya sendiri. Melihat tingkah laku anaknya yang berubah,
sultan Ageng prihatin dan menyuruh guru spiritual anaknya yang bernama Syekh
Yusuf supaya memerintahkan sultan untuk melaksanakan ibadah haji di mekkah.
Dengan kepergian sultan ke mekkah, sultan ageng berharap anaknya
akan berubah dan memiliki sikap kedewasaan untuk kemajuan Banten. Tahun 1674,
sultan menunaikan ibadah Haji bersama rombongannya. Selama sultan bepergian
kekuasaan sementara dipegang oleh adiknya yaitu Pangeran Purbaya. Sultan pergi
ke Mekkah selama 2 tahun oleh karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Haji. Bukannya dia berubah sifatnya, justru setelah pulang dari mekkah dia
lebih terpengaruh dengan hasutan Belanda. Oleh karena itu, terjadilah konflik
antara Sultan Ageng dan Sultan Haji. Dalam hal ini Sultan haji
didukung oleh VOC, tetapi VOC mengajukan persyaratan yaitu:
- Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC
- Monopoli lada di Banten di pegang oleh VOC dan harus menyingkirkan
Persia, Cina, India karena mereka saingannya Belanda
- Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji
· Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman priyangan segera ditarik kembali.
Perjanjian tersebut akhirnya disetujui oleh sultan
Haji. Atas bantuan Belanda Sultan Haji menyerang Kraton Tirtayasa. Sikap yang
ditunjukkan oleh sultan haji terhadap belanda dengan mengirimkan ucapan selamat
atas pergantian Gubernur Jenderal belanda sangat menyakitkan hati Sultan Ageng
Tirtayasa. Oleh karena itu, tanggal 27 februari 1682 sultan ageng mengeluarkan
perintahnya untuk menyerang Surosowan.
Hal yang dilakukan pertama adalah membakar
kampung-kampung dekat kraton surosowan dan setelah itu menyerang kraton
surosowan. Pembakaran kampung tersebut membuat gentar belanda yang tinggal di
daerah tsb. Pembakaran tersebut terjadi semalam suntuk. Sultan Haji melarikan
diri dengan meminta perlindungan kepada orang belanda yang bernama Jacob De
Roy. Setelah siang, pertempuran tersebut terhenti.
Pihak belanda menambah pasukannya sehingga perang
yang tadinya di kuasai sultan ageng berbalik ke Belanda. Sampai pada akhirnya
kraton Tirtayasa dikepung oleh belanda selama berbulan-bulan dan terjadi
kelaparan. Sampai pengikut sultan ageng bersama sultan ageng melarikan diri.
Tanggal 14 maret Sultan Ageng sampai di Kraton Surosowan dan akhirnya Sultan
Ageng di penjara di Batavia sampai akhirnya dia meninggal
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Banten terletak diujung Barat pulau Jawa dan di
tepi selat Sunda yang merupakan daerah yang Strategis, karena merupakan jalur
lalu lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah selat Malaka jatuh pada
tahun 1511. Menjadikan
Banten menjadi sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari
berbagai bangsa.
Selain itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor
seperti lada. Banten juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan memperluas
areal sawah dan ladang serta membangun bendungan dan irigasi. Kemudian membangun
terusan untuk memeperlancar arus pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan.
Kehidupan Politik
Sultan pertama Kerajaan Banten
ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522-1570. Ia adalah putra
Fatahillah, seorang panglima tentara Demak yang pernah diutus oleh Sultan
Trenggana menguasai bandarbandar di Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak
berkuasa, daerah Banten merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah
Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari
pengaruh kekuasaan Demak.
Jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindahkan jalur pelayarannya
melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten
berkembang menjadi pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke
daerah penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak lama
mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan
dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun 1570,
Sultan Hasanuddin wafat.
Penguasa Banten selanjutnya
adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di bawah kekuasaannya
Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukkan dan menguasai Kerajaan
Pajajaran (Hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke
pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui.
Setelah Pajajaran ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.
Maulana Yusuf digantikan oleh
Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasaannya, Maulana Muhammad
menyerang Kesultanan Palembang. Dalam usaha menaklukkan Palembang, Maulana
Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik
takhta. Ia bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. Kerajaan Banten
mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha untuk
mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai
pelabuhan Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami
kegagalan. Setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai
oleh Belanda di bawah pemerintahan Sultan Haji.
Kehidupan Sosial-budaya
Sejak Banten di-Islamkan oleh
Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial masyarakat secara berangsur-
angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil
mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung
kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan,
mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan
yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama
dan menolak pengaruh Islam.
Kehidupan sosial masyarakat
Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan
kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa
meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial
masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada
bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di
Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas
Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam.
Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
E.
Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Banten
Sebagai kerajaan yang
pernah menjadi poros maritim pelayaran di Nusantara, Kerajaan Banten sebetulnya
telah meninggalkan beberapa bangunan bersejarah. Akan tetapi, karena konflik
yang terjadi antara kerajaan dengan pemerintah kolonial atau konflik antar
pembesar kerajaan di masa silam, banyak di antara peninggalan Kerajaan Banten
tersebut yang hancur dan dihancurkan.
Ada beberapa peninggalan-peninggalan dari kerajaan
Banten, diantaranya yaitu :
1.
Masjid Agung Banten
Masjid Agung
Banten adalah salah satu bangunan peninggalan Kerajaan Banten yang hingga
kini masih berdiri kokoh. Masjid ini terletak di Desa Banten Lama, 10 km utara
Kota Serang. Dibangun pada tahun 1652 tepat di masa pemerintahan Sultan Maulana
Hasanudin, putera pertama Sunan Gunung Jati.
Masjid ini memiliki beberapa keunikan corak di
antaranya menaranya berbentuk mirip mercusuar, atapnya menyerupai atap dari
pagoda khas gaya arsitektur China, ada serambi di kiri kanan bangunan, serta
kompleks pemakaman sultan Banten beserta keluarganya di sekitar kompleks
masjid.
2.
Istana Keraton Kaibon Banten
Peninggalan
Kerajaan Banten selanjutnya adalah bangunan istana Kaibon. Istana ini dulunya
adalah tempat tinggal ibunda Sultan Syaifudin, yakni Bunda Ratu Aisyah. Akan
tetapi, saat ini bangunan istana tersebut sudah hancur dan hanya dapat dilihat
reruntuhannya saja. Pada saat kerajaan Banten bentrok dengan pemerintah
kolonial Belanda pada 1832, Daendels –Gubernur Hindia Belanda, meruntuhkan
bangunan bersejarah ini.
3.
Istana Keraton Surosowan Banten
Selain istana
Keraton Kaibon, Kerajaan Banten di masa silam juga meninggalkan bangunan istana
lainnya, yaitu istana Keraton Surosawan. Istana ini adalah tempat tinggal dari
Sultan Banten dan menjadi kantor pusat kepemerintahan. Nasib istana Keraton
Surosawan juga sama dengan Keraton Banten, hancur luluh. Saat ini tinggal
kepingan-kepingan reruntuhannya saja yang dapat kita lihat bersama bangunan
kolam pemandiaan para putri.
4.
Benteng Speelwijk
Sebagai poros utama maritim nusantara di masa silam, kerajaan
Banten juga meninggalkan bangunan berupa benteng dan mercusuar. Benteng dengan
tembok setinggi 3 meter ini bernama Benteng Speelwijk. Dibangun tahun 1585,
benteng peninggalan Kerajaan Banten ini berfungsi selain sebagai pertahanan
kerajaan dari serangan laut juga berfungsi untuk mengawasi aktifitas pelayaran
di sekitar Selat Sunda. Di dalam benteng ini terdapat beberapa meriam kuni dan
sebuah terowongan yang menghubungkan antara benteng dan keraton Surosowan.
5.
Danau Tasikardi
Di sekirar
istana Kaibon, kita juga dapat menemukan sebuah danau buatan. Danau tersebut
bernama Tasikardi. Danau ini dibuat saat masa pemerintahan Sultan Maulana
Yusuf, yakni antara tahun 1570 sd 1580. Dahulunya, dasar danau seluas 5 hektar
ini dilapisi dengan ubin dan batu bata. Kendati begitu, sekarang luas danau
tersebut telah menyusut dan lapisan batu bata di dasarnya telah tertimbuh tanah
sedimen yang terbawa arus sungai. Danau Tasikardi pada masa silam berfungsi
sebagai sumber utama pasokan air bagi keluarga kerajaan yang tinggal di istana
Kaibon serta sebagai saluran irigasi untuk persawahan di sekitar Banten.
6.
Vihara Avalokitesvara
Meski
Kesultanan Banten berazaskan atas Islam, toleransi dari penduduk dan
pemimpinnya dalam beragama terbilang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peninggalan sejarah yang berupa bangunan Vihara, tempat ibadah umat
Budha. Vihara peninggalan Kerajaan Banten tersebut bernama Avalokitesvara.
Hingga kini, kita masih dapat melihatnya. Yang unik, di dinding vihara ini kita
juga dapat melihat relief kisah legenda siluman ular putih yang melegenda itu.
7.
Meriam Ki Amuk
Di dalam
bangunan benteng Speelwijk terdapat beberapa senjata berupa meriam. Di antara
meriam-meriam tersebut yang terbesar dan terunik dinamai meriam Ki Amuk.
Dinamakan demikian karena meriam ini terbilang memiliki daya ledak tinggi dan
tembakan yang jauh. Konon, meriam ini merupakan hasil rampasan dari pemerintah
Kolonial Belanda saat masa peperangan.
Comments
Post a Comment