KESULTANAN SELAPARANG (16-18 M)

A.     Masuknya Islam ke Lombok

Agama Islam masuk di pulau Lombok kira-kira abad ke-16 M, dan penyebarnya yang terkenal adalah satu ekspedisi dari Jawa di bawah pimpinan Sunan Prapen, salah seorang putra Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali (Wali Songo). Berdasarkan mitologi lokal yang dicatat dalam berbagai babad atau sejarah-sejarah yang ditulis di pohon palma, disebutkan bahwa Sunan Giri bertanggung jawab atas diperkenalkannya Islam ke Lombok pada tahun 1545 M.[1]
Berkembangnya Islam di pulau Lombok merupakan babakan sejarah baru dalam merubah keyakinan keagamaan etnis Sasak menjadi pemeluk agama Islam. Versi lain mengenai masuknya Islam ke Lombok dikatakan oleh Geoffrey, bahwa Islam diperkenalkan di pulau Lombok awal abad ke-16 M. Setelah menaklukkan kesultanan Hindu Majapahit, penguasa Islam Jawa, Susuhunan Ratu Giri mengirimkan utusan-utusannya ke berbagai daerah di wilayah Nusantara. Utusan yang dikirim ke Lombok dan Sumbawa adalah Pangeran Prapen dan sering disebut sunan Prapen. Sunan Prapen tiba di Labuan Carik (pantai Anyar) dan sekarang menjadi kota Kecamatan Bayan.
Menurut Sumber lain, Islam masuk ke Lombok melalui sebelah utara (Bayan) atas instruksi Sunan Pengging dari Jawa Tengah kira-kira permulaan abad ke-16 M. Setelah Lombok diislamkan, desa-desa lain menyusul satu demi satu diislamkan.
Terlepas dari berbagai versi tentang masuknya Islam ke Lombok, yang jelas bahwa Islam datang melalui Jawa dan tiba pertama kali di Lombok bagian utara pada abad ke-16 M, diperkenalkan pertama kali oleh misi yang dipimpin oleh Sunan Prapen, putera sunan Giri (salah satu dari Wali Songo). Pernyataan ini cenderung menjadi kesepakatan para ahli sejarah.[2]

B.     Proses Islamisasi pada Kesultanan Selaparang

Sekitar abad ke-14 berdiri kesultanan Selaparang yang semula bernama Watu Parang. Kesultanan ini dibangun oleh Raden Maspahit, seorang pangeran dari Kraton Majapahit yang tidak berani kembali karena memperistri puteri raja Lombok, calon permaisuri raja Majapahit. Dengan alasan itulah, maka Raden Maspahit maupun kesultanan Lombok diserbu oleh Majapahit. Kesultanan Lombok Hancur, tetapi Raden Maspahit sempat melarikan diri ke dalam hutan. Setelah keluar dari persembunyiannya Raden Maspahit membangun kesultanan Selaparang Hindu dengan pusatnya di desa Peresak, Selaparang yang sekarang.
Setelah kesultanan Selaparang ditaklukkan Empu Nala pada pertengahan abad ke-14, timbul lagi kesultanan Mumbul yang berpusat di bekas kerajaan Lombok. Letaknya sangat strategis, merupakan pelabuhan utama ketika itu. Pada zaman pemerintahan Purwawisesa terjadi perang saudara. Beberapa orang Demung, Rangga dan Nyaka berontak karena menuntut balas atas terbunuhnya Patih Sandubaya yang dibunuh atas perintahnya. Prabu Purwawisesa sendiri meninggal karena bunuh diri yang kemudian diganti oleh Prabu Rangkesari. Pada zaman pemerintahan Rangkesari inilah agama Islam masuk ke Lombok. [3]
Menurut babad Lombok, Sunan Giri memerintahkan tiga orang dari muridnya yaitu, Lembu Mangkurat untuk mengislamkan Banjarmasin, Dato' Banda mengislamkan Makasar, dan Sunan Prapen putera Sunan Giri ditugaskan untuk mengislamkan Pulau Lombok, Sumbawa dan Bali. Sunan Prapen datang ke Pulau Lombok dengan membawa sejumlah pengiring dan ulama-ulama dari Jawa. Di antaranya ada yang pandai memainkan wayang. Agama Islam menyebar di Lombok melalui komunikasi pewayangan.[4]
Pada umumnya, kyai yang datang bersama Sunan Prapen dari Jawa memiliki strategi dakwah dengan mengislamkan pertama kali raja-raja yang berkuasa. Pada mulanya mereka menggunakan metode dakwah non-formal, sesuai dengan kondisi saat itu. Selanjutnya, mereka melakukan pendekatan intensif terhadap elite kekuasaan, seperti pendekatan terhadap raja kesultanan Lombok di wilayah Lombok Timur beserta keluarganya. Orang pertama yang bersedia menerima ajaran Islam saat itu adalah Raden Mas Pahit, yang selanjutnya diikuti oleh sebagian besar rakyatnya.[5]
Lombok dikenal dengan sebutan gumi Selaparang, karena pada masa-masa kedatangan dan pertumbuhan Islam, yang berkuasa di Lombok adalah kesultanan Selaparang. Selaparang adalah nama dari sebuah kesultanan Islam terbesar di Lombok yang didirikan oleh Prabu Rangkesari abad ke-16 M di wilayah timur pulau Lombok. Paling tidak kesultanan ini telah menjadi penguasa Lombok kurang lebih dua setengah abad, diperkirakan kesultanan ini berakhir pada abad ke 18. Selama menjadi penguasa di Lombok, kesultanan ini telah berhasil menjadi sebuah kesultanan besar dan berwibawa baik di kalangan Sasak maupun di masyarakat internasional ketika itu.[6]
Di Lombok saat itu tengah berkuasa raja-raja kecil yang merdeka dan berdiri sendiri. Meskipun secara formal raja-raja kecil itu tergabung dalam dua buah hegemoni yakni Kesultanan Bayan dan Kesultanan Selaparang. Tercatat dalam sejarah bahwa Dinasti Selaparang yang pertama kali menerima Islam. Upaya mengislamkan raja-raja di Lombok tidak mengalami kesulitan, karena dengan menceritakan bahwa raja-raja di Jawa sudah memeluk Islam, maka mereka dengan senang hati juga memeluk agama Islam. Hal ini disebabkan raja-raja di Lombok mempunyai hubungan pertalian darah dengan raja-raja di Jawa terutama kesultanan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dengan silsilah yang ada. Fakta lain yang dapat disaksikan sampai sekarang adalah nama beberapa desa dan kota di Lombok banyak yang mempunyai nama yang sama dengan desa dan kota di bekas wilayah kesultanan Majapahit di Jawa, seperti Surabaya, Kediri, Kuripan, Gresik, Wanasaba (Wonosobo), Mataram dan lain-lain.
Setelah raja Selaparang memeluk agama Islam, kesultanan Selaparang Hindu kemudian berubah menjadi kesultanan Selaparang Islam dan membawa spirit Islam masuk ke dalam kebudayaan Sasak. Ini berarti bahwa sejarah dan kebudayaan Sasak mengalami proses transformasi berdasarkan kehidupan keagamaan yang dianutnya.
Dengan masuk Islam rajanya, maka seluruh rakyatnya dinyatakan masuk Islam atau harus mengakui Islam sebagai agamanya. Akibatnya, seluruh wilayah kesultanannya diklaim memeluk agama Islam. Sementara di tempat yang jauh dari pusat kesultanan masih terdapat penganut yang masih sangat awam. Hanya pengakuannya saja yang Islam, tetapi keyakinan (aqidah) dan praktik keagamaannya masih bercampur dengan kepercayaan dan adat-istiadat lama serta agama nenek moyangnya. Seperti yang telah disebutkan bahwa sebelum agama Islam datang agama yang dianut masyarakat Lombok menganut agama Siwa-Budha atau yang dikenal dengan Boda.[7]

C.        Basis perekonomian Kesultanan Selaparang

Kesultanan Selaparang bercorak maritim yang menitikberatkan kehidupannya di bidang perdagangan, dan kekuatan militernya lebih dititikberatkan angkatan laut. Setelah perpindahan ibukota kerajaan ke Selaparang, maka kerajaan ini menjadi kerajaan agraris. Masyarakat kota agraris lebih menitikberatkan bidang pertanian, sedang kekuatan militernya lebih dititikberatkan pada angkatan darat. Tampaknya kesultanan Selaparang merupakan kesultanan yang bercorak maritim-agraris. Hal ini diketahui dari berbagai kebijakan-kebijakannya yang tetap membangun sektor-sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan. Terhadap komitmennya sebagai negara maritim tetap ditunjukkan, hal ini dapat diketahui dari sikapnya yang tetap mempertahankan Lombok sebagai kota pelabuhan dan dagang untuk berada di bawah pengawasannya.
Selaparang telah membuka sebuah pasar (kota dagang) yang teletak di antara pulau Lombok dengan Sumbawa, yang kemudian pulau ini menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang luar. Banyak pulau-pulau kecil atau gili-gili yang terdapat antara pulau Lombok dengan pulau Sumbawa, sehingga agak sulit untuk menentukan pulau mana yang pernah menjadi pusat perdagangan.[8]

D.       Pendidkan pada Masa Kesultanan Selaparang

Berdasarkan usul Patih Singayudha, ibukota kesultanan Mumbul  dipindahkan ke pedalaman Selaparang. Yaitu bekas kerajaan Selaparang Hindu. Maka kota pesisir Lombok tidak berfungsi sebagai kota pusat kerajaan atau pusat kekuatan politik, melainkan hanya menjadi kota pelabuhan dan perdagangan. Perpindahan ibukota kesultanan Selaparang, telah membawa perubahan baru bagu desa Selaparang itu sendiri. Penataan kota bukanlah menjadi persoalan bagi kesultanan Islam tersebut, karena sebelumnya (masa selaparang Hindu) Selaparang juga merupakan kota pusat kerajaan Selaparang Hindu. Kehidupan masyarakatnya tidak asing dengan gaya atau pola kehidupan perkotaan. Setelah istana kesultanan dibangun, maka berbagai fasilitas-fasilitas umum seperti masjid, pasar, dan berbagai fasilitas lainnya juga ikut dibangun.
Di pusat-pusat kota kesultanan, Islam menjadi fenomena istana. Istana kesultanan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi dari penguasa, yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh ulama intelektual, tokoh-tokoh ini memiliki jaringan yang luas, bukan hanya di dalam, melainkan sampai ke daerah lainnya.[9]

E.        Peninggalan Kesultanan Selaparang

Seperti sudah diuraikan di atas bahwa Islam masuk ke Lombok abad ke-16 M. Kenyataan di lapangan bahwa tinggalan-tinggalan masa lampau khususnya masjid sebagian besar mengalami perubahan fisik, diganti dengan arsitektur kekinian sehingga hilang identitas keasliannya. Namun, dalam perubahan itu ada juga rumah ibadah kuno yang tetap dipertahankan keasliannya, seperti tiang, mimbar, atap bangunan, cungkup dalam masjid, dan lainnya.
Jumlah masjid dan mushala di daerah Nusa Tenggara Barat berjumlah 7710, dengan rincian. 1 masjid raya, 9 masjid agung, 117 masjid besar, dan 4550 masjid jami’. Bangunan masjid yang tergolong kuno di Nusa Tenggara Barat sekitar 65 masjid. Hampir semua bangunan masjid yang tegolong tua mempunyai struktur dan model arsitektur relatif sama seperti, masjid kuna Bayan Beleg di Bayan, masjid Gunung Puyut di Puyut dan masjid Rembitan di Rembitan Lombok tengah.
Dari 65 masjid yang tergolong kuno di NTB, masjid Pusaka termasuk di dalamnya. Masjid ini merupakan sebutan yang populer di masyarakat Dusun Otak desa, desa Ketengge Lombok Timur. Pada awalnya disebut masjid tua dan pada tahun terjadinya kebakaran yang cukup besar di desa Ketangga. Kebakaran yang melanda desa sekitar tahun 1971 dan 1973 yang mengakibatkan masjid direnovasi. Menurut sumber setempat, masjid ini didirikan oleh Tuan Guru Lebe, dengan bentuk masjid bujur sangkar, berukuran sekitar 6x6 meter persegi, dinding bangunan dibuat dari bata tatal (genggaman mentah tidak dibakar), tiang utama dari kayu, atap dari alang-alang. Laintai dari tanah, dan kontruksi bangunan kayu, pintu masjidnya hanya satu, terletak di timur lurus dengan arah mihrab.[10]


[1] John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, terjemahan Imron Rosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 94. 
[2] Asnawi, 2005, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna 9: 4-5
[3] Jamaluddin, 2012, Kesultanan dan Perkembangan Peradaban Islam: Telaah terhadap Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok, Manuskrip 2: 182-183
[4] Muhammad Syamsu AS., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), hlm. 114
[5] Asnawi, 2005, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna 9: 5
[6] Jamaluddin, 2012, Kesultanan dan Perkembangan Peradaban Islam: Telaah terhadap Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok, Manuskrip 2: 182.
[7] Asnawi, 2005, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam, Ulumuna 9: 5-7
[8] Jamaluddin, 2012, Kesultanan dan Perkembangan Peradaban Islam: Telaah terhadap Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok, Manuskrip 2: 187
[9] Jamaluddin, 2012, Kesultanan dan Perkembangan Peradaban Islam: Telaah terhadap Peran Istana dalam Tradisi Pernaskahan di Lombok, Manuskrip 2: 185-186
[10] Dede Burhanudin, Rumah Ibadah Bersejarah, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2013), hlm. 14-15

Comments

Popular posts from this blog

DINASTI QAJAR (1779-1925)

DINASTI SAFAWIYAH

DINASTI SAMANIYYAH (873-998 M)