KHULAFA AR-RASYIDIN (11-41 H/632-661 M)

A.       Sejarah Pendirian kekhalifahan Khulafa Ar-Rasyidin
Setelah sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad SAW., wafat pada hari Senin tanggal 8 Juni 632 M (12 Rabi’ul Awal, 10 Hijriah), di Madinah. Persiapan pemakamannya dihambat oleh Umar bin Khattab ra., yang melarang siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi SAW., tidaklah wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu.
Abu Bakar ra., yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, mendengar kabar itu lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar bin Khattab ra., lantas mengatakan :
“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati”.
Abu Bakar ra., kemudian membacakan ayat dari Al-Qu’ran :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS. Ali Imran/3:144).
Khulafa Ar-Rasyidin merupakan gabungan dari dua kata yaitu khulafa dan rasyidin. Menurut bahasa khulafa adalah jamak dari kata khalifah artinya pengganti. Sedangkan ar-rasyidin adalah jamak dari ar-rasyid yang artinya orang yang mendapat petunjuk. Maka Khulafa Ar-Rasyidin, berarti para pengganti yang mendapat petunjuk.
Khulafa Ar-Rasyidin, memiliki pengertian para pengganti dan penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW., istilah Khulafa Ar-Rasyidin, diberikan kepada para sahabat yang terpilih menjadi pengganti Rasulullah SAW., setelah wafat dan bukan sebagai Nabi atau Rasul. Masa Khulafa Ar-Rasyidin termasuk generasi terbaik setelah zaman Rasulullah SAW., seperti hadis Nabi Muhammad tentang sebaik-baik zaman. Khulafa Ar-Rasyidin terdiri dari empat khalifah, yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.[1]
Hadits tersebut adalah sebagai berikut;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "خَيْرُ أُمَّتِيْ اَلْقَرْنُ الَّذِيْنَ بُعِثْتُ فِيْهِمْ.....
Wafatnya Nabi Muhammad SAW., adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri, karena setiap makhluk yang ada di muka bumi ini akan mati. Akan tetapi persoalan yang dihadapi umat Islam pada saat itu sangat berat, karena mereka dihadapkan pada permasalahan kepemimpinan. Sebab Nabi Muhammad SAW., sebelum meninggal tidak pernah membicarakan masalah kepemimpinan, apalagi menunjuk seseorang yang akan menggantikan beliau untuk menjadi pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, situasi politik pada saat itu sangat kacau, karena telah muncul beberapa kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda dan masing-masing merasa berhak dan merasa punya andil dalam membesarkan Islam. Mereka adalah kelompok Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim.
Kelompok Anshar yang sedang berkumpul di balai pertemuan Bani Saidah, mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling berhak menduduki jabatan kepala Negara dan pemimpin masyarakat Madinah dibanding dengan kelompok masyarakat lainnya. Mereka beralasan bahwa agama Islam berkembang pesat bahkan sangat maju karena bantuan dan pertolongan masyarakat Madinah (Anshar). Mereka telah banyak memberikan pertolongan dan jasa bagi kepentingan umat Islam yang datang dari kota Makkah (Muhajirin). Kaum Muhajrin dapat bertahan hidup karena pertolongan mereka. Oleh karena itu, mereka adalah orang yang paling tepat untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW., sebagai kepala Negara/pemerintahan. Untuk itu, mereka mengusulkan nama calon yang akan menduduki jabatan tersebut,yakni Sa’ad bin Ubadah.
Kelompok Muhajirin berpendapat sebaliknya. Mereka adalah orang-orang paling tepat untuk menggantikan posisi dan kedudukan Rasulullah SAW., sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin umat Islam. Karena mereka adalah orang-orang yang pertama kali menerima dan mengikuti ajaran Islam serta berjuang bersama Nabi di Makkah. Mereka berkorban harta bahkan nyawa demi membela agama Islam dan melindungi Rasulullah SAW., dari gangguan kafir Quraisy. Untuk itu mereka mengusulkan Abu Bakar ra., sebagai orang yang paling tepat untuk menduduki jabatan tersebut.
Perdebatan masalah kepemimpinan akhirnya selesai ketika mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah hak orang-orang Muhajirin. Selain mereka adalah sahabat terdekat Rasulullah SAW., dan orang-orang yang pertama masuk Islam, mereka juga adalah orang-orang yang telah mati-matian membela agama Islam dari ancaman kafir Quraisy. Selanjutnya Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa sesungguhnya masalah kepemimpinan adalah hak orang-orang Quraisy. Mendengar ucapan tersebut, kelompok Anshar menerima kenyataan bahwa sebenarnya masalah kepemimpinan adalah hak orang-orang Muhajirin. Setelah itu, Umar bin Khattab ra., mengangkat tangan Abu Bakar ra., dan menyatakan bai’at kepadanya, kemudian diikuti Sa’ad bin Ubadah dan kelompok Anshar lainnya.
Sementara itu, Abbas bin Abdul Muthalib meminta Ali bin Abi Thalib ra., untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAW., sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan serta pemimpin umat Islam. Namun permintaan tersebut ditolak Ali bin Abi Thalib ra., karena ia sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW.,. Dengan terpilihnya Abu Bakar As-Shiddiq ra., secara aklamasi sebagai kepala Negara dan pemerintahan yang baru, maka krisis kepemimpinan secara langsung sudah selesai. Namun tugas baru dan amat sulit sudah menanti dihadapannya.
Selesai terpilih sebagai kepala Negara dan pemerintahan, Abu Bakar ra., berpidato di depan umat Islam untuk menguraikan apa yang akan dilakukan kelak, isi pidato tersebut antara lain:
”Saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai khalifah. Meskipun saya bukanlah yang terbaik dari siapapun diantara kalian, tetapi saya harus menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila mana saya pada jalan yang benar. Perbaikilah saya bila mana berada di jalan yang salah”.
Lalu pidato tersebut diakhiri dengan ucapan :
”Patuhlah kepadaku sebagaimana aku patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, maka jangan sekali-kali engkau patuhi aku”.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar ra., akan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang akan diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahannya berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokrastis, ia tidak gila jabatan, kedudukan dan harta.
Berbeda  dengan proses pengangkatan khalifah Abu Bakar ra., yang dipilih secara demokratis melalui perdebatan yang sangat panjang. Sedangkan Umar bin Khattab ra., melalui penunjukan yang dilakukan Abu Bakar ra., kepada dirinya setelah mendapat persetujuan dari para sahabat senior. Hal itu dilakukan untuk menghindari pertikaian politik umat Islam sendiri. Beliau mengkhawatirkan jika proses pemilihannya seperti pada masanya, maka situasinya akan menjadi lebih keruh, karena kemungkinan banyak kepentingan diantara mereka yang akan membuat Negara tidak stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Islam terhambat.
Ketika Abu Bakar ra., jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M dan selama 15 hari tidak kunjung sembuh, ia memanggil sahabat-sahabat besar dan mengumumkan keinginannya. Beliau berkeinginan sebelum meninggal, kekuasaannya sudah berada ditangan pengganti yang benar. Ia melihat bahwa orang yang paling tepat untuk menggantikan kedudukannya sebagai khalifah adalah Umar bin Khattab ra., . Untuk itu ia berusaha mengumpulkan masa di depan rumahnya dan berpidato mengenai calon penggantinya kelak, beliau berkata:
”Apakah kalian akan menerima orang yang akan saya calonkan untuk menjadi pengganti saya kelak ?, saya besumpah untuk melakukan yang terbaik dalam menentukan masalah ini. Karena itu saya melihat Umar bin Khattab ra., adalah orang yang paling tepat untuk menggatikan saya. Dengarkan saya dan ikuti keinginan saya!”. Masa yang berkumpul menjawab,”kami telah mendengar dan kami semua menaati”.
Setelah itu, Abu Bakar ra., memanggil Ustman bin Affan ra., ke rumahnya untuk mendengarkan pendapatnya tentang usulan penunjukan Umar bin Khattab ra., sebagai penggantinya. Setelah mendengar penjelasan dari Abu Bakar ra., Ustman bin Affan ra., sangat setuju. Menurut Ustman bin Affan ra., Umar bin Khattab ra., adalah orang yang sangat tegas dan bijaksana. Tidak lama kemudian setelah proses penyaringan tersebut, Abu Bakar ra., meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus 634 M, dalam usia 63 tahun. Kemudian jenazahnya dishalatkan bersama-sama, dipimpin oleh Umar bin Khattab ra., kemudian dimakamkan di rumah Siti Aisyah di samping makam Nabi Muhammad SAW.
Dengan meninggalnya Abu Bakar ra., maka pemerintahan dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab ra., perpindahan kekuasaan ini terjadi karena Umar bin Khattab ra., secara aklamasi telah mendapat persetujuan dari para sahabat besar dan umat Islam lainnya, sehingga ketika Abu Bakar ra., meninggal, secara otomatis berpindah ke Umar bin Khattab ra.
Dalam keadaan sakit, Umar bin Khattab ra., membentuk dewan untuk megatasi persoalan-persoalan yang akan dihadapi, terutama soal pergantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari: Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin A’uf dan Sa’ad bin Abi Waqash. Dewan tersebut bertugas memilih diantara mereka sebagai khalifah. Abdurrahman bin A’uf dipercaya sebagai ketua dewan pemilihan tersebut.
Ada sebuah peraturan yang harus dipatuhi, yaitu proses pemilihan harus berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam proses pemilihan tersebut salah seorang diantara mereka mendapat suara terbanyak, maka dialah yang berhak diangkat menjadi khalifah. Namun apabila mendapat suara seimbang, maka keputusannya harus diselesaikan melalui pengadilan dan yang menjadi hakimnya adalah Abdullah bin Umar ra.
Setelah Umar bin Khattab ra., meninggal dunia, maka Abdurrahman bin A’uf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon peserta pemilihan. Tugas yang pertama adalah menghubungi beberapa tokoh besar kaum Muhajirin dan Anshar yang pantas untuk dimintai pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang telah disepakati bersama dalam dewan dan Umar bin Khattab ra.,.
Selain menghubungi para tokoh yang berpengaruh, Abdurrahman bin A’uf mendengarkan pendapat rakyat kecil, seperti para petani, pengembala, pedagang kecil dan lain-lain. Setelah mendapat bahan masukan dan pertimbangan dari berbagai lapisan masyarakat, Abdurrahman bin A’uf mempersiapkan proses pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena menemukan kesulitan terutama dalam penentuan calon peserta. Hal tersebut terjadi karena: Pertama, berdasarkan pendapat mayoritas bahwa Ustman bin Affan ra., sebagai khalifah. Kedua, dikalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. Abdurrahman bin A’uf  memilih Ustman bin Affan ra., menjadi khalifah, sementara Sa’ad bin Abi Waqash cenderung memilih Ali bin Abi Thalib ra., sebagai khalifah. Ketiga, diantara sahabat Nabi yang dicalonkan ada yang keluar kota, sehingga belum bisa dihubungi/diketahui pendapatnya. Keempat, baik Ustman bin Affan ra., maupun Ali bin Abi Thalib ra., masing-masing ingin menjadi khalifah.
Demikianlah problem yang dihadapi ketua pelaksanaan pemilihan khalifah, namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman bin A’uf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan Ustman bin Affan ra., terpilih sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin A’uf mengangkat tangan Ustman bin Affan ra., sebagai tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti Umar bin Khattab ra., .
Ketika terpilih sebagai khalifa, Ustman bin Affan ra., berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan bijaksana. Namun banyak para sahabat dan keluarganya yang memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan kelompoknya seperti Bani Umayyah dan kerabatnya, beliau menjadi khalifah selama 12 tahun (644-645 M/23-35 H).
Setelah wafatnya Ustman bin Affan ra., masyarakat Madinah menjadi bingung, mereka seolah-olah kehilangan tokoh yang akan menjadi panutan. Dalam keadaan demikian, muncul-lah Abdullah bin Saba’ salah satu pemimpin di Mesir menunjuk Ali bin Abi Thalib ra., menjadi khalifah sebagai pengganti Ustman bin Affan ra., usulan tersebut disetujui oleh mayoritas ulama Islam, kecuali golongan yang pro terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan.
Ali bin Abi Thalib ra., semula menolak usulan tersebut dan tidak mau menerima jabatan khalifah. Alasannya situasinya tidak tepat karena banyak terjadi kerusuhan dimana-mana, situasi tersebut harus diatasi terlebih dahulu baru membicarakan masalah kepemimpinan. Namun karena ia terus menerus mendapatkan desakan dari para pengikutnya. Akhirnya tawaran untuk menjadi khalifah beliau terima. Tepat pada tanggal 23 Juni 656 M, semua orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib ra., menjadi khalifah, melakukan sumpah setia(bai’at) kepada beliau. Sejak itulah beliau menjadi khalifah pengganti Ustman bin Affan ra.,.
Sebagai khalifah, Ali bin Abi Thalib ra., ingin meneruskan cita-cita khalifah sebelumnya, beliau mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip Baitul Mal. Untuk itu beliau memutuskan mengembalikan semua kekayaan para pejabat yang diperoleh dengan cara yang tidak baik, ke dalam perbendaharaan Negara (Baitul Mal). Misalnya mengembalikan semua tanah yang diambil alih oleh Bani Umayyah dan para pejabat lainnya menjadi milik Negara dan akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan Negara dan kesejahteraan masyarakat dan seterusnya.[2]

B.       Wilayah Kekuasaan Khulafa Ar-Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ra.,dalam upaya pencapaian kebesaran peradaban Islam, misalnya, perluasan wilayah Islam ke luar jazirah Arabia. Perluasan dan penyebaran agama Islam tersebut mulai dilakukan khalifah Abu Bakar ra., ke wilayah Iraq, Persia dan Syiria. Berikut uraian singkat mengenai perluasan tersebut[3] :
a.    Perluasan ke Iraq dan Persia.
Pada tahun ke-12 Hijriah, khalifah Abu Bakar ra., mengirimkan pasukan ke Iraq yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan di bantu Al-Mutsanna bin Haritsah dan Qa’qa bin Amr. Wilayah Iraq pada masa itu adalah wilayah jajahan Persia, sehingga bila sudah dikuasai maka akan sangat mudah menguasai wilayah Persia lainnya. Sebelum melakukan penaklukan, Khalid bin Walid sesuai dengan perintah Abu Bakar ra., melakukan diplomasi dengan mengirim surat kepada Hormuz, seorang panglima perang Persia, untuk mengajak diri dan pasukannya masuk Islam.
Namun permintaan tersebut ditolak oleh Hormuz dengan alasan mereka lebih suka berperang dari pada menerima Islam sebagai agama baru mereka. Karena tawaran tersebut ditolak, maka tidak ada pilihan lain bagi Khalid bin Walid kecuali memerangi Hormuz dan pasukannya. Dalam pertempuran tersebut, panglima Khalid bin Walid berhasil mengalahkan panglima Hormuz dengan tangannya sendiri. Dengan tunduknya Hormuz, wilayah mereka jatuh ketangan kekuasaan Islam. Daerah-daerah yang dikuasai Islam pada waktu itu adalah: Mazar, Walajah, Allis, Hirrah, Anbar,Ainuttamar dan Daumatul Jandal.
b.    Perluasan Islam ke Syiria
Dalam perluasan ini, khalifah Abu Bakar ra., mempercayakan kepada panglima Usamah bin Zaid bin Haritsah, sebenarnya pasukan ini sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Rasulullah SAW., namun belum terlaksana karena terdengar berita Rasulullah SAW., wafat, sehingga terhenti untuk sementara. Pasukan Usamah mulai bergerak dari Negeri Qud’ah, lalu memasuki kota Abil. Dalam peperangan ini pasukan Islam memperoleh kemenangan. Sehingga wilayah tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Islam.
Selain itu, khalifah juga mengirim Amuru bin ‘Ash ke Palestina, ke Roma di bawah komando ‘Ubaidah bin Jarrah, Damaskus di bawah komando Yazid bin Muawiyah dan Yordania di bawah panglima Syurahbi bin Hasamah. Untuk menghadapi pasukan Islam sebesar ini, Heraclius mengirimkan pasukan 240.000 tentara ke daerah kekuasaannya di Syiria, Palestina, Damaskus dan sebagainya. Dalam menghadapi kekuasaan besar ini, umat Islam bersatu dalam pasukan besar atas usulan Khalid bin Walid. Akhirnya kedua pasukan besar tersebut bertemu di daerah Yarmuk, sehingga peperangan ini disebut perang Yarmuk.
Dalam pertempuran ini, kekuatan pasukan Islam tidak sebanding dengan pasukan Heraclius yakni 30/40 ribu pasukan sehingga peperangan ini sangat lama, dan berakhir pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra.,. Meskipun Abu Bakar ra., hanya berkuasa 2 tahun 3 bulan, banyak usaha yang dilakukan beliau di dalam mempertahankan eksistensi Islam dan pengembangan peradabannya. Menurut ahli sejarah, jika Abu Bakar ra., tidak berhasil menengahi konflik internal umat Islam di Tsaqifah Bani Saidah, maka Islam hanya tinggal nama. Selain itu, keberhasilannya mempertahankan aqidah Islam dari rongrongan orang-orang murtad, nabi palsu, kaum munafiq, yang tidak mau membayar zakat, maka Islam tidak akan bertahan lama. Tetapi berkat pertolongan Allah SWT., dan usaha keras para sahabat dalam mempertahankan aqidah Islam dan perjuangan Islam, Islam tetap eksis sampai sekarang dan akhir zaman. Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ra.
Wilayah kekuasaan khalifah Umar bin Khattab ra.,;
1)    Perluasan wilayah ke Syiria dan Palestina
Sebelum masuk ke wilayah kekuasaan Islam, Syiria dan Palestina berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, karena masyarakat selalu dibebani dengan pungutan pajak yang harus mereka bayar ke pemerintahan Byzantium (Romawi Timur). Hal ini tentu saja membuat rakyatnya menderita lahir batin.
Selain itu mereka juga dipaksa untuk menganut agama/mazhab yang tidak sefaham dengan mereka. Para penguasa Byzantium memaksakan kehendaknya agar masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya mengikuti mazhab kristen nestroit yang menganut faham trinitas. Sedangkan masyarakat Syiria dan Palestina menganut mazhab jacobit yang menganut faham monoteisme (percaya hanya pada satu tuhan).
Keadaan tersebut tentu saja mebuat masyarakat Syiria dan Palestina menanti kehadiran sang pembela yang akan membebaskan mereka dari cengkraman penjajahan Byzantium. Untuk itulah pengiriman pasukan ke Syiria dan Palestina sangat diperlukan. Sehingga kedua wilayah tersebut bisa dikuasainya.
Setelah kemenangan tentara Islam pada perang Yarmuk tahun 13 H/634 M, Abu Ubaidah bin Jarrah mencoba menaklukan beberapa daerah di Syiria dan Palestina. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 14 H/635 M, Damaskus dapat dikuasai. Pada tahun 16 H/637 M tentara Islam di bawah komando Amr bin Ash dapat menaklukan tentara Romawi di Ajnadin, secara berturut-turut beberapa kota di Syiria dan Palestina juga dikuasai, seperti Baitul Maqdis tahun 18 H/639 M. Dengan jatuhnya Baitul Maqdis, maka seluruh wilayah Syiria dan Palestina berada di bawah kekuasaan Islam.
2)    Perluasan wilayah Islam ke Iraq dan Persia
Sebenarnya Iraq sudah dikuasai tentara Islam pada masa khalifah Abu Bakar ra., di bawah panglima Khalid bin Walid. Akan tetapi ketika Khalid bin Walid dan pasukannya meninggalkan Iraq untuk membantu tentara Islam lainnya di Syiria, kesempatan ini dipergunakan oleh orang-orang Persia untuk mengusir tentara Islam dari Iraq di bawah panglima Rustum. Oleh karena itu Umar bin Khattab ra., mengutus Sa’ad bin Aby Waqqash untuk menundukan kembali Iraq dan Persia. Setelah melalui peperangan yang dahsyat, akhirnya daerah tersebut bisa dikuasai Islam tahun 21 H/642 M, dalam perang Nadwand, juga daerah Qadisia bisa ditaklukan dalam tahun yang sama.
Jatuhnya Qadisia merupakan kemenangan besar umat Islam, karena wilayah ini merupakan pusat pertahanan terakhir tentara Yazdazird, Kisra Persia. Sejak saat itu, perkembangan Islam di Persia sangat maju, karena semua masyarakatnya sudah memiliki peradaban yang cukup tinggi dan mereka memadukannya dengan ajaran Islam.
3)    Perluasan wilayah ke Mesir
Ternyata beban berat yang harus dipikul akibat penjajahan bangsa Romawi Timur tidak hanya menimpa penduduk Syiria dan Palestina, hal ini juga menimpa penduduk Mesir. Karena tidak tahan atas perlakuan yang semena-mena dan tidak manusiawi seperti itulah mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di Madinah. Untuk itu Khalifah Umar bin Khattab ra., pada tahun 18 H/639 M memerintahkan pasukan muslim yang sedang berada di Palestina untuk melanjutkan perjalanannya ke Mesir. Pasukan tersebut berada di bawah komandan ‘Amr bin Ash dengan 4000 pasukan. Mereka memasuki Mesir melalui Selat Wadi Al-Arish, setelah menaklukan beberapa kota kecil, akhirnya mereka menaklukan kota Fusthat, setelah mengadakan pengepungan kota tersebut selama 7 bulan.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra., wilayah kekuasaan Islam sudah meluas mulai dari sungai Eufrat sebelah barat dan sungai Jihun di sebelah timur, sebelah selatan laut Hindia dan di bagian utara Negara Armenia. Dengan demikian wilayah Islam sudah mencapai Eropa Timur.
Wilayah kekuasaan khalifah Ustman bin Affan ra.;
1.    Perluasan ke Khurasan
Khalifah Ustman bin Affan ra., mengutus Sa’ad bin Ash bersama Hudzaifah bin Yaman untuk memimpin pasukan ke Khurasan bersama pasukan yang cukup besar. Setelah terjadi pertempuran yang sengit akhirnya Khurasan bisa dikuasai.
2.    Perluasan ke Armenia
Khalifah mengutus Salam Rabiah Al-Bahly untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak penduduk Armenia untuk memeluk Islam. Tetapi banyak juga yang tidak mau mengikutinya, pada akhirnya penduduk Negeri tersebut menerima ajaran Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam setelah terlebih dahulu diperangi.
3.    Perluasan ke Afrika Utara (Tunisia)
Afrika Utara sebelum menjadi wilayah Islam adalah satu wilayah kekuasaan Romawi. Perlakuan penjajah terhadap para penduduk tidak menyenangkan, akhirnya mereka meminta bantuan kepada pemerintahan Islam di Madinah. Untuk itu khalifah Utsman bin Affan ra., mengirim Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sa’ad bin Abi Sarah untuk memimpin pasukan menaklukan Afrika Utara serta mengusir bangsa Romawi. Pasukan Islam mendapat simpati dan dukungan masyarakat setempat, sehingga bangsa Romawi dapat dikalahkan. Dengan jatuhnya wilayah tersebut, berarti wilayah tersebut menjadi bagian kekuasaan Islam.
4.    Penaklukan ke Ray dan Azarbaijan
Sebenarnya kedua wilayah tersebut pada masa khalifah Umar bin Khattab ra., merupakan bagian dari wilayah Islam. Mereka masih membayar pajak, tetapi pada masa khalifah Ustman bin Affan ra., berkuasa, banyak dari mereka yang enggan membayarnya, membangkang serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam di Madinah. Untuk mengatasinya beliau memerintahkan Walid bin Uqbah yang kala itu menjabat gubernur Kuffah untuk memberantas para perusuh tersebut. Walid bin Uqbah mengerahkan 6000 pasukan untuk mengepung Azarbaijan dan 4000 pasukan ke Ray. Dengan kekuatan besar ini, akhirnya kedua wilayah tersebut bisa dikuasai.

C.       Penyelenggaraan Pendidikan Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin
Membahas tentang pendidikan, perhatian Rasulullah SAW., sangat besar. Rasululah SAW., memberi contoh revolusioner bagaimana seharusnya mengembangkan ilmu. Rasulullah SAW., mendapatkan hal-hal yang akan menjadi landasan dasar dalam usahanya, yaitu:
a.     Wahyu pertama yang diterima Rasul berbunyi bacalah. Dengan membaca manusia bisa memahami rangkaian huruf dan lebih dari itu, bisa memahami firman-firman Allah SWT.
b.    Bangsa Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya, sedangkan hafalan merupakan salah satu alat untuk pengembangan ilmu.
c.     Nabi membuat tradisi baru yaitu mencatat dan menulis. Semua sahabat yang pandai membaca dan menulis diangkat menjadi juru tulis untuk mencatat semua wahyu yang turun.
d.    Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan, karena Al-Qur’an memuat; kisah umat terdahulu, hukum-hukum syara’,sifat-sifat Allah SWT.
Dengan landasan-landasan tersebut, Rasul mulai membangun jiwa umat Islam. Rasul membimbing sahabat-sahabat untuk beriman dan berilmu. Dengan bimbingan Nabi dan pengaruh Al-Qur’an telah lahir orang-orang pandai. Sahabat Nabi banyak yang terkenal karena kemampuannya.
Setelah Rasulullah SAW., wafat, Khulafa Ar-Rasyidin menggantikan kedudukan beliau. Di zaman Khulafa Ar-Rasyidin, sahabat-sahabat Nabi SAW., tersebut terus melanjutkan peranannya yang selama ini mereka pegang. Tetapi pada zaman ini muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan pertama itu. Diantara yang paling terkenal di Madinah adalah Rabi’ah al-Raayi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi di Madinah. Salah satu dari muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang kitab al-Muwatta dan pendiri mazhab Malik.[4]
Pada masa Abu Bakar ra., materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan.[5] Dan diantara empat khalifah, ternyata Umar bin Khattab ra., mempunyai kedudukan istimewa. Keistimewaan Umar bin Khattab ra., terletak pada kemampuannya berpikir kreatif. Kreativitas Umar bin Khattab ra., mulai tampak ketika ia mengkhawatirkan keutuhan Al-Qur’an karena banyaknya hufadz yang mati syahid. Untuk itu ia mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar ra., untuk membukukan Al-Qur’an yang waktu itu masih merupakan catatan-catatan lepas dan hafalan pribadi-pribadi sahabat.[6]
Selanjutnya penulisan dan pembukuan Al-Qur’an disempurnakan pada zaman kekhalifahan Ustman bin Affan ra., Pada tahun 26 H, Ustman bin Affan ra., mengkonsentrasikan upaya penulisan Al-Qur’an dengan membentuk panitia penulisan dan pembukuan Al-Qur’an yang diketuai Zaid bin Tsabit. Di zaman Rasul beliau adalah salah satu sekretaris yang menulis seluruh wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., selain itu juga beliau adalah salah satu sahabat yang hafal Al-Qur’an. Sementara Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Harits sebagai anggota. Mereka diminta untuk menyalin Al-Qur’an dibeberapa tempat, seperti di pelepah kurma, bebatuan, kulit dan tulang untuk dibukukan dalam satu mushaf. Mushaf yang ditulis sebanyak 5 buah, dan empat diantaranya dikirim ke beberapa Negeri Islam sebagai pedoman bacaan mereka. Sedangkan yang satu beliau simpan sendiri. Mushaf ini kemudian dikenal dengan Mushaf Al-Imam atau Mushaf Usmani[7].Walaupun sekarang bernama “Mushaf Usmani”, tetapi gagasan awalnya berasal dari Umar bin Khattab ra. Tidak diragukan lagi bahwa keutuhan Al-Qur’an, yang berasal dari gagasan Umar bin Khattab ra., merupakan warisan intelektual Islam yang paling berharga.
Diantara Khulafa Ar-Rasyidin yang membangun peradaban Islam adalah Umar bin Khattab ra. Umar bin Khattab ra., ketika sudah menjadi kepala Negara telah mengubah nama kepala Negara yang semula bergelar Khalifah Al-Rasul menjadi Amir Al-Mu’minin.
Untuk menghadapi masalah baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW., dan masa Abu Bakar ra., maka Umar bin Khattab ra., berijtihad untuk:
a.     Menetapkan hukum tentang masalah-masalah yang baru.
b.    Memperbaharui organisasi negara
c.    Administrasi negara
d.    Mengembangkan ilmu
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra., terjadi perpindahan penduduk, yakni orang Arab yang keluar dari jazirah Arab dan orang Ajam yang masuk ke jazirah Arab. Kedatangan orang Ajam mendorong khalifah untuk membuat tata bahasa agar mereka terhindar dari kesalahan saat membaca Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Ali bin Abi Thalib ra.,-lah pembangun pertama dasar-dasar  ilmu nahwu yang selanjutnya disempurnakan oleh Abu Al-Aswad Al-Duwaly.
Sedangkan orang muslim (Arab) yang dikirim keluar jazirah Arab yakni guru-guru yang terdiri atas sahabat-sahabat ahli ilmu,diperintahkan untuk melakukan pengajaran.[8]
Kemudian pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib ra., wilayah kekuasaan Islam sudah melampaui sungai Eufrat, Tigris dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam, banyak kalangan yang berasal bukan dari Arab memeluk Islam, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur’an atau Al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Beliau menganggap bahwa kesalahan tersebut sangat fatal, terutama bagi orang yang mempelajari dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Oleh karena itu beliau memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwaly untuk mengarang pokok Ilmu Nahwu dan Sharaf (Qowaid Nahwu wa Sharaf).
Dengan adanya ilmu ini, orang-orang yang bukan berasal dari Arab ketika mempelajari bahasa Al-Qur’an akan mendapatkan kemudahan baik dalam membaca dan  memahami sumber ajaran Islam.
Selain ilmu bahasa dan penulisan, pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin juga terdapat ilmu hitung yang menghasilkan kalender hijriah berlandaskan hitungan munculnya bulan. Penetapan tahun hijriah ini sebenarnya adalah atas inisiatif Ali bin Abi thalib ra., kemudian mendapat respon baik oleh Umar bin Khattab ra.,. Dalam proses penetapan tersebut terjadi diskusi antar tokoh umat Islam, ada yang mengusulkan penetapannya berdasar pada kelahiran Nabi, sementara usulan Ali bin Abi Thalib ra., yang paling banyak mendapat respon umat Islam yaitu penetapannya berdasar pada saat Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah. Usulan inilah yang kemudian diterima Umar bin Khattab ra., dan kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai tahun baru umat Islam. Adapun tahun hijrahnya Nabi dan para sahabat terjadi pada tahun 622M/1 H.[9]

D.      Tokoh-Tokoh Cendekiawan Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin
1)    Abu Bakar ra.
Abu Bakar ra., adalah gelar yang diberikan setelah masuk Islam. Nama sebelum Islam adalah Abu Ka’bah. Nama aslinya Abdullah bin Abu Quhafah keturunan Bani Tamim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Kal Al-Quraisy. Beliau lahir pada tahun ke-2 dari tahun gajah atau dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar ra., memiliki budi pekerti yang baik dan terpuji. Di kalangan bangSAWan Quraisy, beliau dikenal dengan sosok yang ulet dan jujur. Beliau merupakan pedagang yang kaya raya. Beliau berdagang dengan jujur sehingga oran-orang tertarik untuk membeli barangnya. Sikap jujurnya terbawa hingga beliau masuk Islam.
Sejak usia muda, Abu Bakar ra., memiliki ikatan persahabatan yang kuat dengan Nabi Muhammad SAW., ketika Nabi Muhammad SAW., diangkat menjadi Nabi dan Rasul dengan menerima wahyu pertama, Abu Bakar ra., merupakan orang dewasa pertama yang masuk Islam.
Beliau mendapat gelar As-Shiddiq atau orang jujur terpercaya karena beliau orang pertama yang mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj. Selama di Makkah, peranan beliau sangat besar untuk membantu Nabi Muhammad SAW.,  menyebarkan Islam. Beliau pun rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk kepentingan penyebaran Islam dan membela umat Islam. Abu Bakar ra., mendampingi Nabi Muhammad SAW., dalam suka dan duka. Beliau melindungi Nabi Muhammad SAW., dari ejekan dan rencana pembunuhan oleh kafir Quraisy. Beliau selalu setia mendampingi Nabi Muhammad SAW., dimana pun dan kapanpun.
Pada saat Rasul sakit hingga menjelang wafatnya, Abu Bakar ra., sering menggantikan Rasul menjadi imam shalat. Dan ketika Rasul wafat, kaum Anshar mengadakan musyawarah di Tsaqifah Bani Sa’ad. Mereka membicarakan sosok pemimpin yang akan menggantikan Rasul. Mereka sepakat memilih Abu Bakar ra., sebagai khalifah atau pengganti Rasul.
2)   Umar bin Khattab ra.
Umar bin Khattab ra., memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Naufal bin Abdi ‘Uzza bin Riba’ah bin Abdullah bin Qarh bin Razaah bin ‘Ady bin Ka’ab. Ayahnya bernama Khattab bin Naufal Al-Shimh Al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Beliau lahir pada tahun 581 M di kota Makkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Qurasy, suku terbesar di kota Makkah saat itu.
Umar bin Khattab ra., lahir dari keluarga bangSAWan, ia bisa menulis dan membaca, yang pada saat itu merupakan sesuatu yang langka. Beliau memiliki fisik yang tinggi besar dan memiliki karakter keras dan tegas, sehingga disegani dan dihormati oleh para penduduk Makkah. Beliau seorang pemberani dan sering menyelesaikan peperangan yang terjadi di zaman jahiliyah.
Sebelum masuk Islam, umar melakukan adat istiadat jahiliyah, antara lain pernah mengubur putrinya hidup-hidup dan seorang peminum berat. Beliau sangat memusuhi Islam.
Peristiwa Islamnya Umar bin Khattab ra., sangat istimewa. Suatu hari Umar bin Khattab ra., mencari Nabi Muhammad SAW., untuk membunuhnya. Tengah perjalanan beliau mendapat berita bahwa adiknya yang bernama Fatimah telah masuk Islam. Umar bin Khattab ra., marah dan pergi ke rumah adiknya untuk membuktikan kabar tersebut. Ketika dia tiba di rumah adiknya, ia mendengar adiknya sedang melantunkan beberapa ayat Al-Qur’an. Mendengar bacaan tersebut, Umar bin Khattab ra., minta kepada adiknya untuk memberikan lembaran tersebut, namun adiknya tidak meberikan bacaan tersebut sebelum Umar bin Khattab ra., mandi. Selesai mandi Umar bin Khattab ra., menerima lembaran yang dibaca oleh adiknya, maka bergetarlah hatinya ketika membaca ayat-ayat awal pada surat Thaha. Kemudian Umar bin Khattab ra., pergi ke rumah Nabi Muhammad SAW., dan menyatakan ke Islamannya, maka bergemalah takbir dari mulut para sahabat yang hadir pada saat itu.
Setelah masuk Islam, sikap keras dan kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW., dan umat Islam berubah menjadi lemah lembut dan tumbuh kecintaan kepada Nabi SAW., sebaliknya, sikap tegas dan keras tetap ditunjukan jika berhadapan dengan kafir Quraisy. Dengan watak yang tegas dan keras, Umar bin Khattab ra., menjadi pembela utama Nabi SAW., dan umat Islam dari gangguan kafir Quraisy. Hal ini menjadikan umat Islam semakin kuat dan disegani. Nabi SAW., memberikan gelar dengan sebutan Al-Faruq yang berarti sang pembeda.
Umar bin Khattab ra., memiliki pemikiran kritis. Dia sering memprotes kebijakan Rasul SAW., yang dianggap tidak rasional. Disamping memiliki daya kritis, tegas, dan keras, Umar bin Khattab ra., memiliki sikap yang sangat mulia yaitu seseorang yang amat mudah menangis bila mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Umar bin Khattab ra., meninggal setelah dibunuh oleh Abu Lu’luah pada hari Rabu, 4 Dzulhijjah 23 H.
3)   Utsman bin Affan ra.
Ustman bin Affan ra., memiliki nama lengkap Ustman bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Quraisy Al-Quraisy, Al-Umawiy. Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin Rabi’ah. Dilahirkan pada tahun 573 M, tahun kelima setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW., dia berasal dari keluarga kaya raya. Sebelum masuk Islam dia dipanggil Abu Amr. Beliau memiliki sifat jujur dan rendah hati di kalangan umat Islam. Bahkan sebelum masuk Islam, beliau terkenal dengan kejujuran dan kerendahan hati.
Beliau masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ra.,, yaitu sesudah Islamnya Ali bin Abi Thalib ra., dan Zaid bin Haritsah. Beliau adalah salah satu sahabat besar dan utama Nabi Muhammad SAW., serta termasuk pula golongan As-Sabiqun Al-Awwalun, yaitu orang-orang yang terdahulu masuk Islam dan beriman. Dia terkenal seorang kaya raya yang dermawan. Melalui kekayaannya dia dermakan untuk mengembangkan Islam.
Ustman bin Affan ra., merupakan tokoh sentral dalam beberapa peristiwa penting. Pada peristiwa hijrah pertama ke Habasyah (Ethiopia), Ustman bin Affan ra., dan istrinya Ruqayah, putri Nabi Muhammad SAW., merupakan suami istri pertama dalam sejarah Islam yang hijrah. Beliau pergi ke Habsyi atas perintah Nabi SAW., untuk menghindari ancaman dan penyiksaan kafir Quraisy. Sempat kembali ke Makkah saat mendengar kabar bahwa kondisi Makkah sudah aman bagi umat Islam. Ketika melihat umat Islam masih dalam tekanan dan penyiksaan kafir Quraisy, Ustman bin Affan ra., bersama istrinya berhijrah kembali ke Habasyah.
Pada saat Rasulullah SAW., meninggal dunia Ustman bin Affan ra., baru berusia 58 tahun. Beliau dipercaya menangani urusan kenegaraan pada masa khalifah Abu Bakar ra., dan khalifah Umar bin Khattab ra. Setelah Umar bin Khattab ra., meninggal, beliau diangkat menjadi khalifah pada tahun 24 H dan berusia 70 tahun.
Beliau meninggal dibunuh pada hari Jumat tanggal 18 Dzulhijjah 35 H ketika sedang membaca Al-Qur’an. Beliau meninggal di usia 82 tahun.

4)   Ali bin Abi Thalib ra.
Ali bin Abi Thalib ra., bernama lengkap Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di Makkah pada hari Jumat 13 Rajab tahun 570 M atau 32 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW., beliau tinggal bersama Nabi SAW., sejak kecil. Beliau diasuh sebagaimana anak sendiri karena kondisi ayahnya yang miskin. Beliau mendapat didikan langsung dari Nabi SAW., sehingga menjadi seorang yang berbudi tinggi dan berjiwa luhut.
Ali bin Abi Thalib ra., masuk Islam saat berusia 7 tahun. Beliau adalah anak kecil pertama yang masuk Islam. Ali bin Abi Thalib ra., mendapat nama panggilan Abu Turab (bapaknya tanah) dari Nabi SAW., Abu Turab adalah panggilan yang paling disenangi oleh Ali bin Abi Thalib ra., karena nama itu adalah kenangan berharga dari Nabi SAW.,
Peranan Ali bin Abi Thalib ra., sangat besar. Beliau menggantikan Nabi SAW., di tempat tidurnya ketika Nabi Muhammad SAW., sudah dikepung oleh algojo kafir Quraisy. Setelah itu, dia mendapat siksaan dari kafir Quraisy.
Sikap pemberani dan petarung sejati dibuktikan di beberapa peperangan yang diikutinya. Pada perang Badar beliau melakukan duel satu lawan satu dengan kafir Quraisy. Beliau berhasil membunuh musuhnya. Begitu juga ketika perang Uhud, beliau merupakan salah satu petarung yang berhadapan dengan perwakilan kafir Quraisy.
Ali bin Abi Thalib ra., wafat di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan khawarij saat mengimami shalat subuh di masjid Kuffah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali bin Abi Thalib ra., menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Ali bin Abi Thalib ra., dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.[10]

E.       Kondisi Perekonomian
Para khulafa ar-rasyidun adalah penerus kepemimpinan Nabi SAW.,., karenanya kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adlah melanjutkan dasar-dasar yang dibangun Rasulullah SAW.,. Khalifah pertama, abu bakar siddiq (51 SH-13 H/537-634 M) banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau membangun lagi Baitul Maal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah SAW.,. Beliau juga mulai mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari Baitul Maal. Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham per tahun.
Khalifah kedua, umar bin khattab (40 SH-23 H/584-644 M) dipandang paling banyak melakukan inovasi dalam perekonomia. Umar bin khattab menyadari pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian, karenanya ia mengambil langkah-langkah besar pengembangan bidang ini. Misalnya, ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atau tanah tersebut. Saluran irigasi terbentang hingga di daerah-daerah taklukan, dan sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna untuk kelancaran dan ditribusi air. Menurut maqrizi, di Mesir saja ada sekitar 120.000 buruh yang bekerja setiap hari sepanjang tahun. Mereka digaji dari harta kekayaan umat. Juaza bin muawiyah dengan seizin Umar, banyak membangun kanal-kanal di distrik khuziztan dan ahwaz, yang memungkinkan pembukaan dan pengelolaan banyak sekali ladang pertanian.
Pada masa umar, hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma syiria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat yang sama, juga dibangun pasar-pasar termasuk didaerah pedalaman seperti di ubulla, yaman, damaskus Makkah dan bahrain. Pekan-pekan dagang berkedudukana penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Beberapa pekan dagang yang menonjol adalah pekan dagang ‘ukaz yang berada di hijaz yang berdekatan dengan sukar dan yang lainnya. ‘ukaz adalah sebuah oasis diantaar ta’if dan nukhlah. Pekan dagang itu berlangsung pada 1-20 dzulkaidah.
Umar membangun Baitul Maal yang reguler dan permanen di ibu kota, kemudian dibangun cabang-cabang dan di ibu kota provinsi. Selain sebagai bendahara negara, Baitul Maal juga bertugas sebagai pelaksana kebijakan fisikal dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut. Bersamaan dengan reorganisasi Baitul Maal, umar mendirikan diwab Islam yang pertama, yang disebut al-diwan sbenarnya al-diwan adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lainnya dalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga menunjukkan sebuah komite yang terdiri dari nasab ternama untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.
Permasalahan ekonomi dimasa khalifah usman bin affan (47 SH-35 H/577-656 M) semakin rumit, sejalan dengan semakin luasnya wilayah negara Islam. Pemasukan negara dari zakat, jizyah, dan juga rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, balkh,kabul,ghazni kerman, dan sistan ditaklukan. Untuk menata pendapat baru, kebijakan umar diikuti. Tidak lama, Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali,jalan dibangun,pohon-pohon,buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Dalam pemerintahan usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat berubah demikian cepat, yang kemudian juga menimbulkan berbagai permasalahan sosial politik yang berbuah konflik. Tidak mudah pula mengakomodasi orang kota yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang baru yang terbuka menyusul ditaklukkannya provinsi-provinsi baru.
Ali bin abi thalib (23 SH-40 H/600-661 M), khalifah yang keempat, terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.00 dirham setiap tahnnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu upayanya yang monumental adalh pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari romawi dan dirham dari Persia.
F.        Tata Ruang Kota
G.      Dakwah Saat Itu
Pengganti Rasulullah adalah Khulafa’ur Rasyidin, mereka adalah Abu Bakar Asidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib. Ke empat sahabat Nabi ini berperan sebagai ulama’ yang menyebarkan Agama Islam sekaligus berperan sebagai seorang Khalifah.
Kondisi mad’u pada masa khulafaur Rasyidin adalah bersifat ijabah, karena pada masa Rasulullah sudah banyak orang yang memeluk Agama Islam. Khulafaur Rasyidin hanya tinggal meneruskan perjuangan dakwah rasulullah, namun masih banyak umat yang belum menerima Islam sebagai Agamanya, seperti orang-orang Qurasyi dan Yahudi, sehingga mad’u pada masa Kulafaur Rasyidin bercorak ijabah dan ummah. 
Adapun materi yang diterapkan pada masa khulafaur Rasyidin adalah aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Adapun aqidah dengan cara mentauhidkan, atau Meng Esakan Allah, sedangkan syari’ah dengan diajarkannya tata cara tentang berwudhu, sholat dan mambaca Al-Qur’an, sedangkan mu’amalah yaitu dengan ditetapkannya zakat bagi orang-orang muslim yang diserahkan kepada baiulmal dan pajak bagi orang-orang non muslim.
Macam-macam metode yang digunakan:
Ada bermacam-macam metode yang digunakan dalam berdakwah pada masa Khulafaur Rasyidin diantaranya sebagai berikut:
·        Metode Ceramah
Metode ceramah metode yang dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara ceramah yang dilakukan di masjid-masjid.
·        Metode Missi (Bi’tsah)
Penyebaran Agama Islam ke berbagai wilayah dilakukan dengan cara mengutus para da’i. Apabila ada yang menentang atau memberontak maka dilakukan peperangan atau jihad.

·        Metode Korespondensi
Sebelum para da’i dikirim ke daerah-daerah yang akan di dakwahi, terlebih dahulu dikirim surat sebagai pengantar.
·        Metode Ekspansi
Penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara ekspansi atau perluasan wilayah. Ekspansi yang dilakukan meliputi kawasan Syiria dan Palestina, Irak dan Persia, Mesir, Khurasan, Armenia, Afrika Utara. 
·        Metode Tanya-jawab
Metode Tanya-jawab adalah metode yang dilakukan dengan menggunakan Tanya-jawab untuk mengetahui sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai materi dakwah.
·        Metode Karya Tulis
Metode karya tulis dengan dikumpulkannya lembaran-lembaran sebagai Mushaf, dan pada masa khalifah Utsman dibukukan menjadi sebuah Al-Qur’an.
·        Metode Diskusi
Pada Abu Bakar, beliau berdiskusi dengan Chyrus, pemimipin Romawi dan terjadi kesempatan untuk berdamai . 
·        Metode Konseling
Pada masa khulafaurrasyidin, para Khalifah mengajarkan secara langsung cara membaca Al-quran, tata cara berwudhu’, shalat dan cara-cara yang lainya dalam hal apapun yang di rasa belum di ketahui oleh ummat.
·        Metode Kelembagaan
Pada masa khalifah umar bin khatab sudah mampu mengatur dalam sebuah kelembagaan yang di sebut Baitul Mal yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan Negara.

·        Metode Keteladanan
Para khulafa’urrasyidin memiliki sifat yang cerdik, pandai, adil, dermawan dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
·        Metode Propaganda
Didalam proses dakwah pasti terdapat unsur propaganda, guna untuk mempengaruhi seorang mad’u. 
·        Metode Silaturah
Pada masa khulafa’urrasyidin, para khalifah berkunjung ke daerah-daerah kekuasaanya untuk mengetahui perkembangannya.

Media yang digunakan pada masa khulafaur Rasyidin adalah:
·        Media Masjid
Masjid di jadikannya sebagai tempat atau sasaran utama oleh para Khulafa’ur Rasyidin, selain itu dijadikan sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan Al-Hadits.
·        Media Cetak
Khulafaurrasyidin mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya, kemudian di sebarkannaya ke seluruh wilayah kekuasaan Islam, yang terjadi pada masa Usman Bin Affan.
·        Lembaga Pendidikan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Sofyan mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk perkampungan. Barang siapa yang buta huruf Al Quran akan dikenakan sanksi cambuk.
·        Lembaga Kantor/pemerintahan
Fungsi dari Lembaga Kantor/pemerintahan yaitu bisa juga digunakan sebagai pusat segala aktivitas pemerintahan, seperti gedung-gedung DPR atau istana Negara. Dan pemerintahan pada masa Khulafa’ur Rasyidin ini pemerintahannya dijalankan sesuai dengan nilai-nilai ke Islaman, misalnya pada masa Umar Bin Khattab dibuat sebuah kebijakan untuk membuat sebuah badan yang mengurus zakat. Ini dilakukan agar pembagian zakat bisa diantar dengan baik dan bisa memebantu prang miskin. Pada aktivitas beginilah lembaga Kantor/pemerintahan digunakan atau dibutuhkan.

H.      Peninggalan Sejarah Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin
a)   Abu Bakar ra.,
Jasa beliau yang amat besar bagi kepentingan agama Islam adalah beliau memerintahkan mengumpulkan naskah-naskah setiap ayat-ayat Al-Qur’an dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW., pada masa hidupnya, dan menyimpan keseluruhan naskah di rumah janda Nabi SAW., yakni Siti Hafshah.[11]

b)   Umar bin Khattab ra.,
·      Terbentuknya mata uang
·      Pengkodifikasi Al-Qur’an/menyatukan Al-Qur’an yang tercecer
·      Adanya penetapan Tahun Hijriyah (622 M)
·      Masjid Amr bin Ash.
·      Adanya dewan-dewan (departemen) antara lain: Lembaga Peradilan, Lembaga Konsultasi Hukum, Kepolisian, Perbendaharaan Negara, Lembaga Pajak, Lembaga Ketentraman dan Pekerjaan Umum, mendirikan Baitul Mal
·      Adanya Pemerintahan Arab
Berkat jasa Khalifah Abu Bakar ra., seluruh jazirah telah berada dibawah pemerintahan Islam bahkan pernah memasuki wilayah Byzantium Syria tetapi mengalami kegagalan. Kemudian pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra., Islam baru bisa dikembangkan ke wilayah Persia dan Byzantium. Dalam waktu singkat Persia dan Byzantium telah di kuasai oleh Islam, dan menyusul Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi. Masuknya Islam ke wilayah Persia, Iraq dan Byzantium berarti kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia yang sejak dulu memang terlibat sentimen permusuhan. Karena itulah pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra., disebut pemerintahan Arab. Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia merupakan pukulan berat bagi Persia, baik secara ekonomi maupun dilihat dari sudut politik. Sebab ketika itu Persia termasuk bangsa besar sehingga ketika jatuh ke tangan Arab, mereka kehilangan kedudukan sebagai raja dan seluruh harta kekayaannya dikuasai oleh pemerintahan Arab. Oleh karena itu, sebagai puncak kebencian dari orang Persia, mereka mengirim pembunuh bayaran untuk membunuh Khalifah Umar bin Khattab ra. Pada saat usai shalat subuh, Khalifah Umar bin Khattab ra., dibunuh oleh pembunuh bayaran bangsa Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah, seorang budak yang dibawa oleh Al–Mughirah dari Iraq. Pembunuhan yang dilakukan oleh budak dari Persia tersebut menunjukkan rasa ketidak puasan orang–orang Persia terhadap orang Arab yang telah menundukkan Negara dan kebesaran kekaisaran Persia. Karena sebelum Islam datang Persia lebih maju dari pada bangsa Arab.
·      Pembangunan Kota Baru
Khalifah Umar bin Khattab ra., terkenal sebagai Khalifah yang berani dan dermawan. Oleh karena itu, setiap beliau berhasil mengusai pusat kerajaan, beliau tidak menempati pusat kerajaan yang telah ada, akan tetapi ia lebih suka membangun daerah baru yang jauh dari kota dan cocok untuk peternakan sebagai pusat dari kerajaan baru yang telah ia taklukkan. Berdasarkan konsep pemikiran tersebut Khalifah Umar bin Khattab ra., mendirikan kota Basrah pada tahun 16 H, Kuffah pada tahun 17 H dan Fustath pada tahun 19 H sekarang menjadi Kairo Kuno. Adapun cara Khalifah Umar bin Khattab ra., dalam mendirikan kota baru adalah pertama membangun Masjid dan pengadaan air minum baru kemudian kantor pemerintahan. Dari sinilah daerah tersebut berangsur–angsur menjadi kota dan sebagai pusat kebudayaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan masjid sebagai sentralnya. Hal ini terbukti sampai sekarang Kuffah, Basrah dan Kairo menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Dunia Islam. Oleh karena itu, daerah tersebut banyak didatangi oleh bangsa lain seperti: Cina dan Bangsa Eropa.
·            Lembaga Perpajakan
Ketika wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Iraq dan Syria serta Mesir sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan , baik yang menyangkut biaya rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang menyebarkan Islam ke wilayah tetangga lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa institusi perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang mengatur pemasukan dan pengeluaran. Sebenarnya konsep perpajakan secara dasar berawal dari keinginan Umar bin Khattab ra., untuk mengatur kekayaan untuk kepentingan rakyat. Kemudian secara tehnis beliau banyak memperoleh masukan dari orang bekas kerajaan Persia, sebab ketika itu Raja Persia telah mengenal konsep perpajakan yang disebut sijil, yaitu daftar seluruh pendapatan dan pengeluaran diserahkan dengan teliti kepada negara. Berdasarkan konsep inilah Umar bin Khattab ra., menugaskan stafnya untuk mendaftar pembukuan dan menyusun kategori pembayaran pajak.
c)    Ustman bin Affan ra.,
Yang berhasil dilakukan oleh Khalifah Ustman bin Affan ra., dan sangat bermanfaat bagi umat sepanjang masa adalah penyempurnaan penyusunan Mushaf Al-Qur’an yang dikumpulkannya dari istri Nabi Muhammad SAW., yaitu Siti Hafsah.

d)   Ali bin abi thalib ra.,
·      Adanya Ilmu Nahwu Sharaf.
·      Adanya tata ruang kota.

I.         Tokoh Sahabat Sesudah Khulafa Ar-Rasyidun
1.    Abdurrahman bin Auf
Abdurrahman Bin Auf dilahirkan kira-kira sepuluh tahun setelah tahun Gajah dan termasuk orang yang terdahulu masuk Islam. Dia berhijrah sebanyak dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan lainnya. Saat masih jahilillah, ia bernama `Abdul Ka`bah atau `Abdu `Amr; kemudian diberi nama `Abdurrahmân oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya bernama Shafiyah. Sedangkan ayahnya bernama `Auf bin `Abdu `Auf bin `Abdul Hârits bin Zahrah.
Abdurrahman bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ia adalah sahabat Abu Bakar dan termasuk orang kelima yang di Islamkan olehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak apatus dengan peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam perang Uhud. Ia menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan hanya harta tetapi juga jiwa.
Berhijrah ke Habasyah adalah salah satu tugasnya dalam menjalankan roda dakwah Rasulullah Saw. Sesungguhnya hijrah yang pertama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah ke Habasyah. Mereka berpindah karena gangguan dari kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi. Ada yang menganggap kepergiannya adalah refleksi dari kegentarannya menghadapi ujian keimanan. Namun, Allah Swt. Menjelaskan, hijrah adalah sesuatu yang diharuskan jika tantangan di tempat asal sudah sangat besar.
Dengan kemampuannya dalam berbisnis, Abdurrahman bin Auf juga membawa seluruh kekayaannya ketika berhijrah ke Madinah. Di perjalanan kekayaannya dirampas oleh Quraisy, penguasa Mekkah. Ia dan Suhaib Ar Rumi kehilangan seluruh harta kekayaannya.
Dalam keadaan demikian, Abdurrahman bin Auf tidak menyerah. Rasulullah Saw. mempersaudarakan orang-orang yang berhijrah yang kebanyakan pedagang dengan orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Di Madinah, Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arabi Alausani. Ia memberikan sebagian harta dan menawarinya seorang calon istri. Abdurrahman bin Auf hanya berkata, “Semoga Allah Swt. memberkahi hartamu dan keluargamu, tunjukkanlah kepadaku di mana pasar.”
Abdurrahman bin Auf memang pebisnis yang handal. Dengan modal secukupnya ia berjualan keju dan minyak samin, bangkit dan mampu menikah dengan salah satu perempuan Anshar. Setelah menikah dengan memberi mahar sebutir emas (seberat sebutir kurma) Rasulullah Saw memintanya mengadakan walimah. Ini adalah pertanda, pernikahan sesederhana apa pun harus dilanjutkan dengan walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.
Dalam beberapa waktu, Abdurrahman bin Auf menjadi orang kaya dan Rasulullah Saw, berkata kepadanya, “Wahai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak (mengingsut). Pinjamkanlah hartamu agar lancar kedua kakimu” (H.R. Al-Hakim).
Pernyataan itu membuat Abdurrahman bin Auf berpikir keras dan banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt. Ia berkata, “Kalau bisa aku ingin masuk surga dengan melangkah (berjalan kaki)”. Ia berlomba dengan pebisnis lain, yaitu  Utsman bin Affan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf memberikan separuh hartanya untuk dakwah Rasulullah Saw.
`Abdurrahman bin Auf pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar, kemudian membagi-bagikan uang tersebut kepada para fakir miskin bani Zuhrah, orang-orang yang membutuhkan dan kepada Ummahâtul Mukminin (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Rasulullah Saw berkata, “Semoga Allah Swt memberkahi apa yang kamu tahan dan kamu berikan.“ Abdurrahman bin Auf hartanya menjadi berlipat ganda sehingga ia tak pernah merasa kekurangan.
Setelah Abdurrahman bin Auf bersedekah, turunlah firman Allah Swt, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah Swt kemudian ia tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti perasaan (si penerima), mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula merasakan bersedih hati.”
Sebelum wafat, Abdurrahman bin Auf menginfakkan 400 dinar hartanya untuk peserta perang Badar  yang masih hidup. Setiap orang mendapatkan empat dinar termasuk Ali R.a. dan Utsman R.a. Ia juga memberikan hadiah kepada Umul Mukminin (janda-janda Nabi Saw). Aisyah R.a. pun berdo’a untuknya, “Semoga Allah Swt memberi minum kepadanya air dari mata air salsabila di surga”.
Abdurrahman bin Auf wafat pada tahun 32 H dalam usia 75 tahun. Ia dishalatkan oleh saingannya dalam berinfak di jalan Allah Swt, yaitu Utsman R.a. Ia di usung oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ke pemakaman Al Baqi. Setelah Abdurrahman bin Auf wafat, Ali berkata, “Pergilah wahai Ibnu Auf, kamu telah memperoleh kejernihan dan meninggalkan kepalsuan (keburukannya)”. (H.R. Al-Hakim Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu adalah seorang panglima perang yang termahsyur dan ditakuti di medan perang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya gelar "Saifullah" yakni pedang Allah yang terhunus. Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang kariernya. Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun dalam puluhan peperangan.
2.    Zubair bin Awwam
Zubair Bin Awwam adalah salah satu sahabat nabi. Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diberi petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat remaja.
Sewaktu Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.
Zubair, seorang yang berudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan. Ia juga seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang. Kedermawanan, keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya untuk Islam.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.
Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.
Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Saat sang paman memintanya untuk keluar dari keislamannya namun ia menolsk dan tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti. Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Seusai Perang Uhud, dan pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.
Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.
Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.
Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”
Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.
Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang. Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.
Ketika pengepungan terhadap bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan hamzah. Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.
Di perang hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.
Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”
Sebelum meninggal, Zubair berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi utangnya.”
Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir.
Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair.
Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair.
Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”
Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.” Thalhah bin Ubaidillah (wafat 36 H/ 656 M) adalah seorang sahabat nabi berasal yang dari suku Quraisy, Thalhah  ra. merupakan salah seorang dari delapan orang yang pertama masuk Islam. Thalhah dijuluki "Burung elang hari Uhud". Dia menggunakan dirinya menjadi perisai bagi Nabi Muhammad saat pertempuran Uhud. Ia akhirnya meninggal akibat terpanah pada Perang Jamal.
3.    Thalhah bin Ubaidillah
Thalhah bin Ubaidillah adalah Pribadi yang Pemurah dan Dermawan. Thalhah masuk Islam melalui anak pamannya, Abu bakar As sidiq Ra.
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.
Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak,"Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?." "Ya, aku penduduk Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya. "Ahmad yang mana?" "Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda," sambung pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya,"Ada peristiwa apa sepeninggalku?" "Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar As Siddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.
"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar As Siddiq. "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?" "Betul." Abu Bakar As Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar As Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah.
Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup.
Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abu bakar Ra selalu teringat pada Thalhah ra. Ia berkata, "Perang Uhud adalah harinya Thalhah ra. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: "Lihatlah saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus." Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar.
Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah saw.". Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah ra. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah saw. yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat.
Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku tebus engkau Ya Rasulullah saw. dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan berkata, " Engkau adalah Thalhah kebajikan." Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, " Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan "Burung elang hari Uhud."
Sewaktu terjadi pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Rasulullah saw pernah berkata kepada para sahabat Ra, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah ra". Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firman-Nya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Thalhah menikah dengan Su'da binti Auf. Thalhah dikaruniai 14 orang putera dan puteri, yaitu: Muhammad As Sajjad, Imran, Isa, Ismail, Ishak, yaakub, Musa, Zkaria, Yusuf, Yahya, Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam), Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali), Sha'bah, Maryam. Abdurrahmân bin `Auf bin `Abdi `Auf bin `Abdil Hârits Bin Zahrah bin Kilâb bin al-Qurasyi az-Zuhri Abu Muhammad adalah salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat dermawan dan yang sangat memperhatikan dakwah Islam, dan mendapat rekomendasi masuk surga. Dia juga salah seorang dari enam orang Sahabat Radhiyallahu anhum yang ahli syurga.


4.    Khalid bin Walid
Khalid bin Walid adalah komando pasukan kaum muslimin pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan beliau telah melintasi perbatasan negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam bersama para tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan perang ini.
Khalid bin Walid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum, suatu cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah binti Al-Harits radhiallahu ‘anhu, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya.
Dahulu sebelum masuk Islam Nama Khalid bin Walid sangat termashur sebagai panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy yang tak terkalahkan. Begitu gagah dan perkasanya Khalid baik di Medan perang maupun ahli dalam menyusun strategi perang.
Khalid bin Walid masuk islam setelah pertempuran Uhud yang banyak merenggut para pejuang muslim. Dalam perang itu Khalid bin Walid menjadi panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy. Ia masuk islam setelah mendengar lantunan ayat suci Al Qur'an surat al hujarat ( Qs 49:13 ) yang dibacakan oleh Bilal, seorang budak hitam dan buta hurup. Setelah itu, Nabi memberi gelar kepadanya dengan nama “Syaifulloh yang artinya “pedang Alloh yang terhunus. Setelah bergabungnya Khalid bin walid kedalam Islam, bertambah kuatlah pasukan Muslim hingga bisa menaklukan kota Mekkah dan Pasukan Kafir Quraiy.
Saat terjadi pertempuran Mu'tah. jumlah tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Semua pemimpin di atas mati syahid pada peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai pemimpin kalian, maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tampak jelas keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri dan sebaliknya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka datang seakan pasukan batuan  yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka melemah. Pada perang Mu'tah, hanya beberapa kaumm muslimin yang menjadi korban, sedangkan di pihak kaum kafir banyak sekali. (baca cerita lengkapnya di: "Pertempuran Mu'tah")
Khalid juga ikut serta dalam peperangan melawan kaum yang murtad, beliau juga ikut berperang menuju Iraq, dan para ulama berbeda pendapat tentang  sebab dipecatnya Khalid sebagai komando perang di Syam, dan semoga yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu: Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan Khalid.
Di antara ungkapannya yang agung adalah tidaklah sebuah malam di mana aku bersama seorang pengantin yang aku cintai lebih aku sukai dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah pasukan kaum muhajirin guna menyerang musuh.
Dia pernah menulis sebuah surat kepada kaisar Persia yang mengatakan, “Sungguh aku telah telah datang kepada kalian dengan pasukan yang lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia menyenangi minum khamr.”
Qais bin Hazim berkata,  “Aku telah mendengar Khalid berkata, ‘Berjihad telah menghalangiku mempelajari Al-Qur’anul Karim.’”
Meski Beliau sering aktif dalam banyak peperangan  menegakkan agama Allah, namun ia tidak gugur dalam pertempuran. Abu Zannad berkata, “Pada saat Khalid akan meninggal dunia dia menangis dan berkata, ‘Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut. ‘“
Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya kepada derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas ranjangnya.”
Lalu pada saat wafat, dia tidak meninggalkan kecuali kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai sedekah dijalan Allah, pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul Mu’minin, Umar bin Al-Kattab dia berkata, “Semoga Allah meberikan rahmatnya kepada Abu Sulaiman, sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan.”
Dan disebutkan  di dalam hadits riwayat Umar bin Al-Khattab tentang zakat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Khalid maka dia telah menyimpan baju besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah.”
Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia tidak ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata:
“Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya).
Khalid bin Walid wafat pada tahun 21 H. di Himsh pada usia 52 tahun. Zaid bin Tsabit.



[1] Nursyam,Sejarah Kebudayaan Islam ,Jakarta:Kemenag RI,2014.hlm.104-106
[2] Muhajirin Syafi’i,Sejarah Kebudayaan Islam,Depok:--,2013.hlm.33-39.
[3] Ibid.hlm.44-53
[4] Prof.Dr.Hasan Langgulung,Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21,Jakarta:--.1988,hlm.17
[5] Muhammad Yunus,Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta: Hidayakarya Agung,1989,hlm. 18.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjWpp_n1pDPAhXEj5QKHc9hCzsQFggcMAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.uinsgd.ac.id%2Findex.php%2Fjurnal-tarbiya%2Farticle%2Fdownload%2F136%2Fpdf&usg=AFQjCNEJrzAYGotKzis-oqvqVOvR_nIT4g&sig2=sofb03j5iQM2JJpJjGxPpA&bvm=bv.133053837,d.dGo Diakses pada tanggal 14 September 2016
[6] Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik,Jakarta:Kencana,2007.hlm.14-23.
[7] Muhajirin Syafi’i,Sejarah Kebudayaan Islam,Depok:--,2013.hlm.51.
[8] Musyrifah Sunanto,Sejarah Islam Klasik,Jakarta:Kencana,2007.hlm.24-31
[9] Muhajirin Syafi’i,Sejarah Kebudayaan Islam,Depok:--,2013.hlm.55
[10] Nursyam,sejarah kebudayaan islam,jakarta:KemenagRI,2014.hlm.106-113
[11] Muhlis,Islam Masa Khulafaur Rasyidin. https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-khulafaur-raosyidin.pdf Diakses pada tanggal 14 September 2016

Comments

Popular posts from this blog

DINASTI QAJAR (1779-1925)

DINASTI SAFAWIYAH

DINASTI SAMANIYYAH (873-998 M)