KHULAFA AR-RASYIDIN (11-41 H/632-661 M)
A.
Sejarah Pendirian kekhalifahan Khulafa Ar-Rasyidin
Setelah
sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad SAW., wafat pada hari Senin tanggal
8 Juni 632 M (12 Rabi’ul Awal, 10 Hijriah), di Madinah. Persiapan pemakamannya
dihambat oleh Umar bin Khattab ra., yang melarang siapapun memandikan atau
menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi SAW., tidaklah
wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali
sewaktu-waktu.
Abu
Bakar ra., yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, mendengar kabar itu
lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar bin Khattab ra., lantas mengatakan :
“Saudara-saudara!
Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi barangsiapa mau
menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati”.
Abu
Bakar ra., kemudian membacakan ayat dari Al-Qu’ran :
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke
belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS. Ali Imran/3:144).
Khulafa
Ar-Rasyidin merupakan gabungan dari dua kata yaitu khulafa dan rasyidin.
Menurut bahasa khulafa adalah jamak dari kata khalifah artinya pengganti.
Sedangkan ar-rasyidin adalah jamak dari ar-rasyid yang artinya orang yang
mendapat petunjuk. Maka Khulafa Ar-Rasyidin, berarti para pengganti yang
mendapat petunjuk.
Khulafa
Ar-Rasyidin, memiliki pengertian para pengganti dan penerus kepemimpinan Islam
setelah wafatnya Rasulullah SAW., istilah Khulafa Ar-Rasyidin, diberikan kepada
para sahabat yang terpilih menjadi pengganti Rasulullah SAW., setelah wafat dan
bukan sebagai Nabi atau Rasul. Masa Khulafa Ar-Rasyidin termasuk generasi
terbaik setelah zaman Rasulullah SAW., seperti hadis Nabi Muhammad tentang
sebaik-baik zaman. Khulafa Ar-Rasyidin terdiri dari empat khalifah, yaitu Abu
Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.[1]
Hadits
tersebut adalah sebagai berikut;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "خَيْرُ أُمَّتِيْ اَلْقَرْنُ الَّذِيْنَ بُعِثْتُ
فِيْهِمْ.....
Wafatnya Nabi Muhammad SAW., adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri, karena setiap makhluk yang ada di muka
bumi ini akan mati. Akan tetapi
persoalan yang dihadapi umat Islam pada saat itu sangat berat, karena mereka
dihadapkan pada permasalahan kepemimpinan. Sebab Nabi Muhammad SAW., sebelum
meninggal tidak pernah membicarakan masalah kepemimpinan, apalagi menunjuk
seseorang yang akan menggantikan beliau untuk menjadi pemimpin umat Islam. Oleh
karena itu, situasi politik pada saat itu sangat kacau, karena telah muncul
beberapa kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda dan masing-masing merasa
berhak dan merasa punya andil dalam membesarkan Islam. Mereka adalah kelompok
Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim.
Kelompok Anshar yang sedang berkumpul di balai
pertemuan Bani Saidah, mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling
berhak menduduki jabatan kepala Negara dan pemimpin masyarakat Madinah
dibanding dengan kelompok masyarakat lainnya. Mereka beralasan bahwa agama Islam berkembang pesat bahkan sangat
maju karena bantuan dan pertolongan masyarakat Madinah (Anshar). Mereka telah
banyak memberikan pertolongan dan jasa bagi kepentingan umat Islam yang datang
dari kota Makkah (Muhajirin). Kaum Muhajrin dapat bertahan hidup karena
pertolongan mereka. Oleh karena itu, mereka adalah orang yang paling tepat
untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW., sebagai kepala
Negara/pemerintahan. Untuk itu, mereka mengusulkan nama calon yang akan
menduduki jabatan tersebut,yakni Sa’ad bin Ubadah.
Kelompok Muhajirin berpendapat sebaliknya. Mereka adalah
orang-orang paling tepat untuk menggantikan posisi dan kedudukan Rasulullah
SAW., sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin umat Islam. Karena mereka adalah
orang-orang yang pertama kali menerima dan mengikuti ajaran Islam serta
berjuang bersama Nabi di Makkah. Mereka berkorban harta bahkan nyawa demi
membela agama Islam dan melindungi Rasulullah SAW., dari gangguan kafir
Quraisy. Untuk itu mereka mengusulkan Abu Bakar ra., sebagai orang yang paling
tepat untuk menduduki jabatan tersebut.
Perdebatan masalah kepemimpinan akhirnya selesai ketika mengatakan
bahwa kepemimpinan itu adalah hak orang-orang Muhajirin. Selain mereka adalah
sahabat terdekat Rasulullah SAW., dan orang-orang yang pertama masuk Islam,
mereka juga adalah orang-orang yang telah mati-matian membela agama Islam dari
ancaman kafir Quraisy. Selanjutnya Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa sesungguhnya
masalah kepemimpinan adalah hak orang-orang Quraisy. Mendengar ucapan tersebut,
kelompok Anshar menerima kenyataan bahwa sebenarnya masalah kepemimpinan adalah
hak orang-orang Muhajirin. Setelah itu, Umar bin Khattab ra., mengangkat tangan
Abu Bakar ra., dan menyatakan bai’at kepadanya, kemudian diikuti Sa’ad bin
Ubadah dan kelompok Anshar lainnya.
Sementara itu, Abbas bin Abdul Muthalib meminta Ali bin Abi Thalib
ra., untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAW., sebagai kepala Negara dan
kepala pemerintahan serta pemimpin umat Islam. Namun permintaan tersebut
ditolak Ali bin Abi Thalib ra., karena ia sedang sibuk mengurusi jenazah
Rasulullah SAW.,. Dengan terpilihnya Abu Bakar As-Shiddiq ra., secara aklamasi
sebagai kepala Negara dan pemerintahan yang baru, maka krisis kepemimpinan
secara langsung sudah selesai. Namun tugas baru dan amat sulit sudah menanti
dihadapannya.
Selesai terpilih sebagai kepala Negara dan
pemerintahan, Abu Bakar ra., berpidato di depan umat Islam untuk menguraikan
apa yang akan dilakukan kelak, isi pidato tersebut antara lain:
”Saudara-saudara sekalian, sekarang saya
terpilih sebagai khalifah. Meskipun
saya bukanlah yang terbaik dari siapapun diantara kalian, tetapi saya harus
menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila mana saya pada jalan
yang benar. Perbaikilah saya bila mana berada di jalan yang salah”.
Lalu pidato tersebut diakhiri dengan ucapan :
”Patuhlah kepadaku sebagaimana aku patuh kepada Allah dan
Rasul-Nya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, maka jangan sekali-kali
engkau patuhi aku”.
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar ra., akan
kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat
demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang akan diembannya tidak akan berjalan
dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu
ia menginginkan agar masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan
kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahannya berjalan dengan baik. Itulah
tipe seorang pemimpin yang sangat demokrastis, ia tidak gila jabatan, kedudukan
dan harta.
Berbeda dengan proses
pengangkatan khalifah Abu Bakar ra., yang dipilih secara demokratis melalui
perdebatan yang sangat panjang. Sedangkan Umar bin Khattab ra., melalui
penunjukan yang dilakukan Abu Bakar ra., kepada dirinya setelah mendapat
persetujuan dari para sahabat senior. Hal itu dilakukan untuk menghindari
pertikaian politik umat Islam sendiri. Beliau mengkhawatirkan jika proses
pemilihannya seperti pada masanya, maka situasinya akan menjadi lebih keruh,
karena kemungkinan banyak kepentingan diantara mereka yang akan membuat Negara
tidak stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Islam
terhambat.
Ketika Abu Bakar ra., jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M dan
selama 15 hari tidak kunjung sembuh, ia memanggil sahabat-sahabat besar dan
mengumumkan keinginannya. Beliau berkeinginan sebelum meninggal, kekuasaannya
sudah berada ditangan pengganti yang benar. Ia melihat bahwa orang yang paling
tepat untuk menggantikan kedudukannya sebagai khalifah adalah Umar bin Khattab
ra., . Untuk itu ia berusaha mengumpulkan masa di depan rumahnya dan berpidato
mengenai calon penggantinya kelak, beliau berkata:
”Apakah kalian akan menerima orang yang akan saya calonkan untuk
menjadi pengganti saya kelak ?, saya besumpah untuk melakukan yang terbaik
dalam menentukan masalah ini. Karena itu saya melihat Umar bin Khattab ra.,
adalah orang yang paling tepat untuk menggatikan saya. Dengarkan saya dan ikuti
keinginan saya!”. Masa yang berkumpul menjawab,”kami telah mendengar dan kami
semua menaati”.
Setelah itu, Abu Bakar ra., memanggil Ustman bin Affan ra., ke
rumahnya untuk mendengarkan pendapatnya tentang usulan penunjukan Umar bin
Khattab ra., sebagai penggantinya. Setelah mendengar penjelasan dari Abu Bakar
ra., Ustman bin Affan ra., sangat setuju. Menurut Ustman bin Affan ra., Umar
bin Khattab ra., adalah orang yang sangat tegas dan bijaksana. Tidak lama
kemudian setelah proses penyaringan tersebut, Abu Bakar ra., meninggal dunia
pada hari Senin tanggal 23 Agustus 634 M, dalam usia 63 tahun. Kemudian
jenazahnya dishalatkan bersama-sama, dipimpin oleh Umar bin Khattab ra.,
kemudian dimakamkan di rumah Siti Aisyah di samping makam Nabi Muhammad SAW.
Dengan meninggalnya Abu Bakar ra., maka
pemerintahan dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab ra., perpindahan kekuasaan
ini terjadi karena Umar bin Khattab ra., secara aklamasi telah mendapat
persetujuan dari para sahabat besar dan umat Islam lainnya, sehingga ketika Abu
Bakar ra., meninggal, secara otomatis berpindah ke Umar bin Khattab ra.
Dalam keadaan sakit, Umar bin Khattab ra.,
membentuk dewan untuk megatasi persoalan-persoalan yang akan dihadapi, terutama
soal pergantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari: Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin A’uf dan Sa’ad bin
Abi Waqash. Dewan tersebut bertugas memilih diantara mereka sebagai khalifah.
Abdurrahman bin A’uf dipercaya sebagai ketua dewan pemilihan tersebut.
Ada sebuah peraturan yang harus dipatuhi, yaitu proses pemilihan
harus berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam proses pemilihan
tersebut salah seorang diantara mereka mendapat suara terbanyak, maka dialah
yang berhak diangkat menjadi khalifah. Namun apabila mendapat suara seimbang,
maka keputusannya harus diselesaikan melalui pengadilan dan yang menjadi
hakimnya adalah Abdullah bin Umar ra.
Setelah Umar bin Khattab ra., meninggal dunia,
maka Abdurrahman bin A’uf menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas
menyeleksi calon peserta pemilihan. Tugas
yang pertama adalah menghubungi beberapa tokoh besar kaum Muhajirin dan Anshar
yang pantas untuk dimintai pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang
telah disepakati bersama dalam dewan dan Umar bin Khattab ra.,.
Selain menghubungi para tokoh yang berpengaruh, Abdurrahman bin
A’uf mendengarkan pendapat rakyat kecil, seperti para petani, pengembala,
pedagang kecil dan lain-lain. Setelah mendapat bahan masukan dan pertimbangan
dari berbagai lapisan masyarakat, Abdurrahman bin A’uf mempersiapkan proses
pemilihan untuk segera dilaksanakan.
Namun proses pemilihan yang semula diinginkan tidak berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, karena menemukan kesulitan terutama dalam penentuan
calon peserta. Hal tersebut terjadi karena: Pertama, berdasarkan
pendapat mayoritas bahwa Ustman bin Affan ra., sebagai khalifah. Kedua,
dikalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. Abdurrahman bin
A’uf memilih Ustman bin Affan ra.,
menjadi khalifah, sementara Sa’ad bin Abi Waqash cenderung memilih Ali bin Abi
Thalib ra., sebagai khalifah. Ketiga, diantara sahabat Nabi yang
dicalonkan ada yang keluar kota, sehingga belum bisa dihubungi/diketahui
pendapatnya. Keempat, baik Ustman bin Affan ra., maupun Ali bin Abi
Thalib ra., masing-masing ingin menjadi khalifah.
Demikianlah problem yang dihadapi ketua
pelaksanaan pemilihan khalifah, namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan
Abdurrahman bin A’uf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan
menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan Ustman bin Affan ra., terpilih
sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin A’uf mengangkat tangan Ustman bin
Affan ra., sebagai tanda pengakuannya sebagai khalifah baru, pengganti Umar bin
Khattab ra., .
Ketika terpilih sebagai khalifa, Ustman bin
Affan ra., berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan bijaksana. Namun banyak
para sahabat dan keluarganya yang memanfaatkan situasi ini untuk mengambil
keuntungan kelompoknya seperti Bani Umayyah dan kerabatnya, beliau menjadi
khalifah selama 12 tahun (644-645 M/23-35 H).
Setelah wafatnya Ustman bin Affan ra.,
masyarakat Madinah menjadi bingung, mereka seolah-olah kehilangan tokoh yang
akan menjadi panutan. Dalam keadaan demikian, muncul-lah Abdullah bin Saba’
salah satu pemimpin di Mesir menunjuk Ali bin Abi Thalib ra., menjadi khalifah
sebagai pengganti Ustman bin Affan ra., usulan tersebut disetujui oleh
mayoritas ulama Islam, kecuali golongan yang pro terhadap Muawiyah bin Abi
Sufyan.
Ali bin Abi Thalib ra., semula menolak usulan
tersebut dan tidak mau menerima jabatan khalifah. Alasannya situasinya tidak
tepat karena banyak terjadi kerusuhan dimana-mana, situasi tersebut harus
diatasi terlebih dahulu baru membicarakan masalah kepemimpinan. Namun karena ia terus menerus mendapatkan desakan dari para
pengikutnya. Akhirnya tawaran untuk menjadi khalifah beliau terima. Tepat pada
tanggal 23 Juni 656 M, semua orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib ra.,
menjadi khalifah, melakukan sumpah setia(bai’at) kepada beliau. Sejak itulah
beliau menjadi khalifah pengganti Ustman bin Affan ra.,.
Sebagai khalifah, Ali bin Abi Thalib ra., ingin meneruskan
cita-cita khalifah sebelumnya, beliau mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip
Baitul Mal. Untuk itu beliau memutuskan mengembalikan semua kekayaan para
pejabat yang diperoleh dengan cara yang tidak baik, ke dalam perbendaharaan
Negara (Baitul Mal). Misalnya mengembalikan semua tanah yang diambil alih oleh
Bani Umayyah dan para pejabat lainnya menjadi milik Negara dan akan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan Negara dan
kesejahteraan masyarakat dan seterusnya.[2]
B.
Wilayah Kekuasaan Khulafa Ar-Rasyidin
Khalifah Abu Bakar ra.,dalam upaya
pencapaian kebesaran peradaban Islam, misalnya, perluasan wilayah Islam ke luar
jazirah Arabia. Perluasan dan penyebaran agama Islam tersebut mulai dilakukan
khalifah Abu Bakar ra., ke wilayah Iraq, Persia dan Syiria. Berikut uraian
singkat mengenai perluasan tersebut[3] :
a.
Perluasan ke Iraq dan Persia.
Pada tahun
ke-12 Hijriah, khalifah Abu Bakar ra., mengirimkan pasukan ke Iraq yang
dipimpin oleh Khalid bin Walid dan di bantu Al-Mutsanna bin Haritsah dan Qa’qa
bin Amr. Wilayah Iraq pada masa itu adalah wilayah jajahan Persia, sehingga
bila sudah dikuasai maka akan sangat mudah menguasai wilayah Persia lainnya.
Sebelum melakukan penaklukan, Khalid bin Walid sesuai dengan perintah Abu Bakar
ra., melakukan diplomasi dengan mengirim surat kepada Hormuz, seorang panglima
perang Persia, untuk mengajak diri dan pasukannya masuk Islam.
Namun
permintaan tersebut ditolak oleh Hormuz dengan alasan mereka lebih suka
berperang dari pada menerima Islam sebagai agama baru mereka. Karena tawaran
tersebut ditolak, maka tidak ada pilihan lain bagi Khalid bin Walid kecuali
memerangi Hormuz dan pasukannya. Dalam pertempuran tersebut, panglima Khalid
bin Walid berhasil mengalahkan panglima Hormuz dengan tangannya sendiri. Dengan
tunduknya Hormuz, wilayah mereka jatuh ketangan kekuasaan Islam. Daerah-daerah
yang dikuasai Islam pada waktu itu adalah: Mazar, Walajah, Allis, Hirrah,
Anbar,Ainuttamar dan Daumatul Jandal.
b.
Perluasan Islam ke Syiria
Dalam perluasan
ini, khalifah Abu Bakar ra., mempercayakan kepada panglima Usamah bin Zaid bin
Haritsah, sebenarnya pasukan ini sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Rasulullah
SAW., namun belum terlaksana karena terdengar berita Rasulullah SAW., wafat,
sehingga terhenti untuk sementara. Pasukan Usamah mulai bergerak dari Negeri
Qud’ah, lalu memasuki kota Abil. Dalam peperangan ini pasukan Islam memperoleh
kemenangan. Sehingga wilayah tersebut jatuh ke tangan kekuasaan Islam.
Selain itu,
khalifah juga mengirim Amuru bin ‘Ash ke Palestina, ke Roma di bawah komando ‘Ubaidah
bin Jarrah, Damaskus di bawah komando Yazid bin Muawiyah dan Yordania di bawah
panglima Syurahbi bin Hasamah. Untuk menghadapi pasukan Islam sebesar ini,
Heraclius mengirimkan pasukan 240.000 tentara ke daerah kekuasaannya di Syiria,
Palestina, Damaskus dan sebagainya. Dalam menghadapi kekuasaan besar ini, umat
Islam bersatu dalam pasukan besar atas usulan Khalid bin Walid. Akhirnya kedua
pasukan besar tersebut bertemu di daerah Yarmuk, sehingga peperangan ini
disebut perang Yarmuk.
Dalam
pertempuran ini, kekuatan pasukan Islam tidak sebanding dengan pasukan
Heraclius yakni 30/40 ribu pasukan sehingga peperangan ini sangat lama, dan
berakhir pada masa pemerintahan Umar bin Khattab ra.,. Meskipun Abu Bakar ra.,
hanya berkuasa 2 tahun 3 bulan, banyak usaha yang dilakukan beliau di dalam
mempertahankan eksistensi Islam dan pengembangan peradabannya. Menurut ahli
sejarah, jika Abu Bakar ra., tidak berhasil menengahi konflik internal umat
Islam di Tsaqifah Bani Saidah, maka Islam hanya tinggal nama. Selain itu,
keberhasilannya mempertahankan aqidah Islam dari rongrongan orang-orang murtad,
nabi palsu, kaum munafiq, yang tidak mau membayar zakat, maka Islam tidak akan
bertahan lama. Tetapi berkat pertolongan Allah SWT., dan usaha keras para
sahabat dalam mempertahankan aqidah Islam dan perjuangan Islam, Islam tetap
eksis sampai sekarang dan akhir zaman. Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan
oleh Umar bin Khattab ra.
Wilayah
kekuasaan khalifah Umar bin Khattab ra.,;
1)
Perluasan
wilayah ke Syiria dan Palestina
Sebelum masuk
ke wilayah kekuasaan Islam, Syiria dan Palestina berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan, karena masyarakat selalu dibebani dengan pungutan pajak
yang harus mereka bayar ke pemerintahan Byzantium (Romawi Timur). Hal ini tentu
saja membuat rakyatnya menderita lahir batin.
Selain itu
mereka juga dipaksa untuk menganut agama/mazhab yang tidak sefaham dengan
mereka. Para penguasa Byzantium memaksakan kehendaknya agar masyarakat yang
berada di wilayah kekuasaannya mengikuti mazhab kristen nestroit yang menganut
faham trinitas. Sedangkan masyarakat Syiria dan Palestina menganut mazhab
jacobit yang menganut faham monoteisme (percaya hanya pada satu tuhan).
Keadaan
tersebut tentu saja mebuat masyarakat Syiria dan Palestina menanti kehadiran
sang pembela yang akan membebaskan mereka dari cengkraman penjajahan Byzantium.
Untuk itulah pengiriman pasukan ke Syiria dan Palestina sangat diperlukan.
Sehingga kedua wilayah tersebut bisa dikuasainya.
Setelah
kemenangan tentara Islam pada perang Yarmuk tahun 13 H/634 M, Abu Ubaidah bin
Jarrah mencoba menaklukan beberapa daerah di Syiria dan Palestina. Setahun
kemudian, yaitu pada tahun 14 H/635 M, Damaskus dapat dikuasai. Pada tahun 16
H/637 M tentara Islam di bawah komando Amr bin Ash dapat menaklukan tentara
Romawi di Ajnadin, secara berturut-turut beberapa kota di Syiria dan Palestina
juga dikuasai, seperti Baitul Maqdis tahun 18 H/639 M. Dengan jatuhnya Baitul
Maqdis, maka seluruh wilayah Syiria dan Palestina berada di bawah kekuasaan
Islam.
2)
Perluasan
wilayah Islam ke Iraq dan Persia
Sebenarnya Iraq
sudah dikuasai tentara Islam pada masa khalifah Abu Bakar ra., di bawah
panglima Khalid bin Walid. Akan tetapi ketika Khalid bin Walid dan pasukannya
meninggalkan Iraq untuk membantu tentara Islam lainnya di Syiria, kesempatan
ini dipergunakan oleh orang-orang Persia untuk mengusir tentara Islam dari Iraq
di bawah panglima Rustum. Oleh karena itu Umar bin Khattab ra., mengutus Sa’ad
bin Aby Waqqash untuk menundukan kembali Iraq dan Persia. Setelah melalui peperangan
yang dahsyat, akhirnya daerah tersebut bisa dikuasai Islam tahun 21 H/642 M,
dalam perang Nadwand, juga daerah Qadisia bisa ditaklukan dalam tahun yang
sama.
Jatuhnya
Qadisia merupakan kemenangan besar umat Islam, karena wilayah ini merupakan
pusat pertahanan terakhir tentara Yazdazird, Kisra Persia. Sejak saat itu,
perkembangan Islam di Persia sangat maju, karena semua masyarakatnya sudah
memiliki peradaban yang cukup tinggi dan mereka memadukannya dengan ajaran
Islam.
3)
Perluasan
wilayah ke Mesir
Ternyata beban
berat yang harus dipikul akibat penjajahan bangsa Romawi Timur tidak hanya
menimpa penduduk Syiria dan Palestina, hal ini juga menimpa penduduk Mesir.
Karena tidak tahan atas perlakuan yang semena-mena dan tidak manusiawi seperti
itulah mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di Madinah. Untuk itu
Khalifah Umar bin Khattab ra., pada tahun 18 H/639 M memerintahkan pasukan
muslim yang sedang berada di Palestina untuk melanjutkan perjalanannya ke
Mesir. Pasukan tersebut berada di bawah komandan ‘Amr bin Ash dengan 4000
pasukan. Mereka memasuki Mesir melalui Selat Wadi Al-Arish, setelah menaklukan
beberapa kota kecil, akhirnya mereka menaklukan kota Fusthat, setelah
mengadakan pengepungan kota tersebut selama 7 bulan.
Pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab ra., wilayah kekuasaan Islam sudah meluas mulai
dari sungai Eufrat sebelah barat dan sungai Jihun di sebelah timur, sebelah
selatan laut Hindia dan di bagian utara Negara Armenia. Dengan demikian wilayah
Islam sudah mencapai Eropa Timur.
Wilayah
kekuasaan khalifah Ustman bin Affan ra.;
1.
Perluasan
ke Khurasan
Khalifah Ustman
bin Affan ra., mengutus Sa’ad bin Ash bersama Hudzaifah bin Yaman untuk
memimpin pasukan ke Khurasan bersama pasukan yang cukup besar. Setelah terjadi
pertempuran yang sengit akhirnya Khurasan bisa dikuasai.
2.
Perluasan
ke Armenia
Khalifah
mengutus Salam Rabiah Al-Bahly untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak
penduduk Armenia untuk memeluk Islam. Tetapi banyak juga yang tidak mau
mengikutinya, pada akhirnya penduduk Negeri tersebut menerima ajaran Islam dan
tunduk pada kekuasaan Islam setelah terlebih dahulu diperangi.
3.
Perluasan
ke Afrika Utara (Tunisia)
Afrika Utara
sebelum menjadi wilayah Islam adalah satu wilayah kekuasaan Romawi. Perlakuan
penjajah terhadap para penduduk tidak menyenangkan, akhirnya mereka meminta
bantuan kepada pemerintahan Islam di Madinah. Untuk itu khalifah Utsman bin
Affan ra., mengirim Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sa’ad bin Abi Sarah untuk
memimpin pasukan menaklukan Afrika Utara serta mengusir bangsa Romawi. Pasukan
Islam mendapat simpati dan dukungan masyarakat setempat, sehingga bangsa Romawi
dapat dikalahkan. Dengan jatuhnya wilayah tersebut, berarti wilayah tersebut
menjadi bagian kekuasaan Islam.
4.
Penaklukan
ke Ray dan Azarbaijan
Sebenarnya
kedua wilayah tersebut pada masa khalifah Umar bin Khattab ra., merupakan
bagian dari wilayah Islam. Mereka masih membayar pajak, tetapi pada masa
khalifah Ustman bin Affan ra., berkuasa, banyak dari mereka yang enggan
membayarnya, membangkang serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan
Islam di Madinah. Untuk mengatasinya beliau memerintahkan Walid bin Uqbah yang
kala itu menjabat gubernur Kuffah untuk memberantas para perusuh tersebut.
Walid bin Uqbah mengerahkan 6000 pasukan untuk mengepung Azarbaijan dan 4000
pasukan ke Ray. Dengan kekuatan besar ini, akhirnya kedua wilayah tersebut bisa
dikuasai.
C.
Penyelenggaraan Pendidikan Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin
Membahas tentang pendidikan,
perhatian Rasulullah SAW., sangat besar. Rasululah SAW., memberi contoh
revolusioner bagaimana seharusnya mengembangkan ilmu. Rasulullah SAW.,
mendapatkan hal-hal yang akan menjadi landasan dasar dalam usahanya, yaitu:
a.
Wahyu
pertama yang diterima Rasul berbunyi bacalah. Dengan membaca manusia
bisa memahami rangkaian huruf dan lebih dari itu, bisa memahami firman-firman
Allah SWT.
b.
Bangsa
Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya, sedangkan hafalan merupakan salah satu
alat untuk pengembangan ilmu.
c.
Nabi
membuat tradisi baru yaitu mencatat dan menulis. Semua sahabat yang pandai
membaca dan menulis diangkat menjadi juru tulis untuk mencatat semua wahyu yang
turun.
d.
Al-Qur’an
merupakan sumber ilmu pengetahuan, karena Al-Qur’an memuat; kisah umat
terdahulu, hukum-hukum syara’,sifat-sifat Allah SWT.
Dengan landasan-landasan tersebut,
Rasul mulai membangun jiwa umat Islam. Rasul membimbing sahabat-sahabat untuk
beriman dan berilmu. Dengan bimbingan Nabi dan pengaruh Al-Qur’an telah lahir
orang-orang pandai. Sahabat Nabi banyak yang terkenal karena kemampuannya.
Setelah Rasulullah SAW., wafat,
Khulafa Ar-Rasyidin menggantikan kedudukan beliau. Di zaman Khulafa
Ar-Rasyidin, sahabat-sahabat Nabi SAW., tersebut terus melanjutkan peranannya
yang selama ini mereka pegang. Tetapi pada zaman ini muncul kelompok tabi’in
yang berguru pada lulusan pertama itu. Diantara yang paling terkenal di Madinah
adalah Rabi’ah al-Raayi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi di
Madinah. Salah satu dari muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang
kitab al-Muwatta dan pendiri mazhab Malik.[4]
Pada masa Abu Bakar ra., materi
pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak,
ibadah, kesehatan.[5]
Dan diantara empat khalifah, ternyata Umar bin Khattab ra., mempunyai kedudukan
istimewa. Keistimewaan Umar bin Khattab ra., terletak pada kemampuannya
berpikir kreatif. Kreativitas Umar bin Khattab ra., mulai tampak ketika ia
mengkhawatirkan keutuhan Al-Qur’an karena banyaknya hufadz yang mati syahid.
Untuk itu ia mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar ra., untuk membukukan
Al-Qur’an yang waktu itu masih merupakan catatan-catatan lepas dan hafalan
pribadi-pribadi sahabat.[6]
Selanjutnya penulisan dan pembukuan
Al-Qur’an disempurnakan pada zaman kekhalifahan Ustman bin Affan ra., Pada
tahun 26 H, Ustman bin Affan ra., mengkonsentrasikan upaya penulisan Al-Qur’an
dengan membentuk panitia penulisan dan pembukuan Al-Qur’an yang diketuai Zaid
bin Tsabit. Di zaman Rasul beliau adalah salah satu sekretaris yang menulis
seluruh wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., selain itu juga beliau adalah
salah satu sahabat yang hafal Al-Qur’an. Sementara Abdullah bin Zubair, Sa’ad
bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Harits sebagai anggota. Mereka diminta untuk
menyalin Al-Qur’an dibeberapa tempat, seperti di pelepah kurma, bebatuan, kulit
dan tulang untuk dibukukan dalam satu mushaf. Mushaf yang ditulis sebanyak 5
buah, dan empat diantaranya dikirim ke beberapa Negeri Islam sebagai pedoman
bacaan mereka. Sedangkan yang satu beliau simpan sendiri. Mushaf ini kemudian
dikenal dengan Mushaf Al-Imam atau Mushaf Usmani[7].Walaupun
sekarang bernama “Mushaf Usmani”, tetapi gagasan awalnya berasal dari Umar bin
Khattab ra. Tidak diragukan lagi bahwa keutuhan Al-Qur’an, yang berasal dari
gagasan Umar bin Khattab ra., merupakan warisan intelektual Islam yang paling
berharga.
Diantara Khulafa Ar-Rasyidin yang
membangun peradaban Islam adalah Umar bin Khattab ra. Umar bin Khattab ra.,
ketika sudah menjadi kepala Negara telah mengubah nama kepala Negara yang
semula bergelar Khalifah Al-Rasul menjadi Amir Al-Mu’minin.
Untuk menghadapi masalah baru yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW., dan masa Abu Bakar ra., maka Umar
bin Khattab ra., berijtihad untuk:
a.
Menetapkan
hukum tentang masalah-masalah yang baru.
b.
Memperbaharui
organisasi negara
c.
Administrasi
negara
d.
Mengembangkan
ilmu
Pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab ra., terjadi perpindahan penduduk, yakni orang Arab yang keluar dari
jazirah Arab dan orang Ajam yang masuk ke jazirah Arab. Kedatangan orang Ajam
mendorong khalifah untuk membuat tata bahasa agar mereka terhindar dari
kesalahan saat membaca Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Ali bin Abi Thalib ra.,-lah
pembangun pertama dasar-dasar ilmu nahwu
yang selanjutnya disempurnakan oleh Abu Al-Aswad Al-Duwaly.
Sedangkan orang muslim (Arab) yang
dikirim keluar jazirah Arab yakni guru-guru yang terdiri atas sahabat-sahabat
ahli ilmu,diperintahkan untuk melakukan pengajaran.[8]
Kemudian pada masa khalifah Ali bin
Abi Thalib ra., wilayah kekuasaan Islam sudah melampaui sungai Eufrat, Tigris
dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan
Islam, banyak kalangan yang berasal bukan dari Arab memeluk Islam, banyak
ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur’an atau Al-Hadits sebagai sumber
ajaran Islam. Beliau menganggap bahwa kesalahan tersebut sangat fatal, terutama
bagi orang yang mempelajari dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Oleh
karena itu beliau memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwaly untuk mengarang pokok
Ilmu Nahwu dan Sharaf (Qowaid Nahwu wa Sharaf).
Dengan adanya ilmu ini, orang-orang
yang bukan berasal dari Arab ketika mempelajari bahasa Al-Qur’an akan
mendapatkan kemudahan baik dalam membaca dan
memahami sumber ajaran Islam.
Selain ilmu bahasa dan penulisan,
pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin juga terdapat ilmu hitung yang menghasilkan
kalender hijriah berlandaskan hitungan munculnya bulan. Penetapan tahun hijriah
ini sebenarnya adalah atas inisiatif Ali bin Abi thalib ra., kemudian mendapat
respon baik oleh Umar bin Khattab ra.,. Dalam proses penetapan tersebut terjadi
diskusi antar tokoh umat Islam, ada yang mengusulkan penetapannya berdasar pada
kelahiran Nabi, sementara usulan Ali bin Abi Thalib ra., yang paling banyak
mendapat respon umat Islam yaitu penetapannya berdasar pada saat Nabi hijrah
dari Makkah ke Madinah. Usulan inilah yang kemudian diterima Umar bin Khattab
ra., dan kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai tahun baru umat Islam.
Adapun tahun hijrahnya Nabi dan para sahabat terjadi pada tahun 622M/1 H.[9]
D.
Tokoh-Tokoh Cendekiawan Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin
1)
Abu Bakar ra.
Abu Bakar ra.,
adalah gelar yang diberikan setelah masuk Islam. Nama sebelum Islam adalah Abu
Ka’bah. Nama aslinya Abdullah bin Abu Quhafah keturunan Bani Tamim bin Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ay bin Kal Al-Quraisy. Beliau lahir pada tahun ke-2 dari tahun
gajah atau dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar ra.,
memiliki budi pekerti yang baik dan terpuji. Di kalangan bangSAWan Quraisy,
beliau dikenal dengan sosok yang ulet dan jujur. Beliau merupakan pedagang yang
kaya raya. Beliau berdagang dengan jujur sehingga oran-orang tertarik untuk
membeli barangnya. Sikap jujurnya terbawa hingga beliau masuk Islam.
Sejak usia
muda, Abu Bakar ra., memiliki ikatan persahabatan yang kuat dengan Nabi
Muhammad SAW., ketika Nabi Muhammad SAW., diangkat menjadi Nabi dan Rasul
dengan menerima wahyu pertama, Abu Bakar ra., merupakan orang dewasa pertama
yang masuk Islam.
Beliau mendapat
gelar As-Shiddiq atau orang jujur terpercaya karena beliau orang pertama yang
mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj. Selama di Makkah, peranan beliau sangat
besar untuk membantu Nabi Muhammad SAW.,
menyebarkan Islam. Beliau pun rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk
kepentingan penyebaran Islam dan membela umat Islam. Abu Bakar ra., mendampingi
Nabi Muhammad SAW., dalam suka dan duka. Beliau melindungi Nabi Muhammad SAW.,
dari ejekan dan rencana pembunuhan oleh kafir Quraisy. Beliau selalu setia
mendampingi Nabi Muhammad SAW., dimana pun dan kapanpun.
Pada saat Rasul
sakit hingga menjelang wafatnya, Abu Bakar ra., sering menggantikan Rasul
menjadi imam shalat. Dan ketika Rasul wafat, kaum Anshar mengadakan musyawarah
di Tsaqifah Bani Sa’ad. Mereka membicarakan sosok pemimpin yang akan
menggantikan Rasul. Mereka sepakat memilih Abu Bakar ra., sebagai khalifah atau
pengganti Rasul.
2)
Umar bin Khattab ra.
Umar bin
Khattab ra., memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Naufal bin Abdi ‘Uzza
bin Riba’ah bin Abdullah bin Qarh bin Razaah bin ‘Ady bin Ka’ab. Ayahnya
bernama Khattab bin Naufal Al-Shimh Al-Quraisyi dan ibunya Hantamah binti
Hasyim. Beliau lahir pada tahun 581 M di kota Makkah dari suku Bani Adi, salah
satu rumpun suku Qurasy, suku terbesar di kota Makkah saat itu.
Umar bin
Khattab ra., lahir dari keluarga bangSAWan, ia bisa menulis dan membaca, yang
pada saat itu merupakan sesuatu yang langka. Beliau memiliki fisik yang tinggi
besar dan memiliki karakter keras dan tegas, sehingga disegani dan dihormati
oleh para penduduk Makkah. Beliau seorang pemberani dan sering menyelesaikan
peperangan yang terjadi di zaman jahiliyah.
Sebelum masuk Islam,
umar melakukan adat istiadat jahiliyah, antara lain pernah mengubur putrinya
hidup-hidup dan seorang peminum berat. Beliau sangat memusuhi Islam.
Peristiwa
Islamnya Umar bin Khattab ra., sangat istimewa. Suatu hari Umar bin Khattab
ra., mencari Nabi Muhammad SAW., untuk membunuhnya. Tengah perjalanan beliau
mendapat berita bahwa adiknya yang bernama Fatimah telah masuk Islam. Umar bin
Khattab ra., marah dan pergi ke rumah adiknya untuk membuktikan kabar tersebut.
Ketika dia tiba di rumah adiknya, ia mendengar adiknya sedang melantunkan
beberapa ayat Al-Qur’an. Mendengar bacaan tersebut, Umar bin Khattab ra., minta
kepada adiknya untuk memberikan lembaran tersebut, namun adiknya tidak
meberikan bacaan tersebut sebelum Umar bin Khattab ra., mandi. Selesai mandi
Umar bin Khattab ra., menerima lembaran yang dibaca oleh adiknya, maka
bergetarlah hatinya ketika membaca ayat-ayat awal pada surat Thaha. Kemudian
Umar bin Khattab ra., pergi ke rumah Nabi Muhammad SAW., dan menyatakan ke
Islamannya, maka bergemalah takbir dari mulut para sahabat yang hadir pada saat
itu.
Setelah masuk
Islam, sikap keras dan kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW., dan umat Islam
berubah menjadi lemah lembut dan tumbuh kecintaan kepada Nabi SAW., sebaliknya,
sikap tegas dan keras tetap ditunjukan jika berhadapan dengan kafir Quraisy.
Dengan watak yang tegas dan keras, Umar bin Khattab ra., menjadi pembela utama
Nabi SAW., dan umat Islam dari gangguan kafir Quraisy. Hal ini menjadikan umat
Islam semakin kuat dan disegani. Nabi SAW., memberikan gelar dengan sebutan
Al-Faruq yang berarti sang pembeda.
Umar bin
Khattab ra., memiliki pemikiran kritis. Dia sering memprotes kebijakan Rasul
SAW., yang dianggap tidak rasional. Disamping memiliki daya kritis, tegas, dan
keras, Umar bin Khattab ra., memiliki sikap yang sangat mulia yaitu seseorang
yang amat mudah menangis bila mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Umar bin
Khattab ra., meninggal setelah dibunuh oleh Abu Lu’luah pada hari Rabu, 4
Dzulhijjah 23 H.
3)
Utsman bin Affan ra.
Ustman bin
Affan ra., memiliki nama lengkap Ustman bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin
Quraisy Al-Quraisy, Al-Umawiy. Nama ibu beliau adalah Arwa binti Kuriz bin
Rabi’ah. Dilahirkan pada tahun 573 M, tahun kelima setelah kelahiran Nabi
Muhammad SAW., dia berasal dari keluarga kaya raya. Sebelum masuk Islam dia
dipanggil Abu Amr. Beliau memiliki sifat jujur dan rendah hati di kalangan umat
Islam. Bahkan sebelum masuk Islam, beliau terkenal dengan kejujuran dan
kerendahan hati.
Beliau masuk
Islam atas ajakan Abu Bakar ra.,, yaitu sesudah Islamnya Ali bin Abi Thalib
ra., dan Zaid bin Haritsah. Beliau adalah salah satu sahabat besar dan utama
Nabi Muhammad SAW., serta termasuk pula golongan As-Sabiqun Al-Awwalun,
yaitu orang-orang yang terdahulu masuk Islam dan beriman. Dia terkenal seorang
kaya raya yang dermawan. Melalui kekayaannya dia dermakan untuk mengembangkan
Islam.
Ustman bin
Affan ra., merupakan tokoh sentral dalam beberapa peristiwa penting. Pada
peristiwa hijrah pertama ke Habasyah (Ethiopia), Ustman bin Affan ra., dan
istrinya Ruqayah, putri Nabi Muhammad SAW., merupakan suami istri pertama dalam
sejarah Islam yang hijrah. Beliau pergi ke Habsyi atas perintah Nabi SAW.,
untuk menghindari ancaman dan penyiksaan kafir Quraisy. Sempat kembali ke
Makkah saat mendengar kabar bahwa kondisi Makkah sudah aman bagi umat Islam.
Ketika melihat umat Islam masih dalam tekanan dan penyiksaan kafir Quraisy,
Ustman bin Affan ra., bersama istrinya berhijrah kembali ke Habasyah.
Pada saat
Rasulullah SAW., meninggal dunia Ustman bin Affan ra., baru berusia 58 tahun.
Beliau dipercaya menangani urusan kenegaraan pada masa khalifah Abu Bakar ra.,
dan khalifah Umar bin Khattab ra. Setelah Umar bin Khattab ra., meninggal,
beliau diangkat menjadi khalifah pada tahun 24 H dan berusia 70 tahun.
Beliau
meninggal dibunuh pada hari Jumat tanggal 18 Dzulhijjah 35 H ketika sedang
membaca Al-Qur’an. Beliau meninggal di usia 82 tahun.
4)
Ali bin Abi Thalib ra.
Ali bin Abi
Thalib ra., bernama lengkap Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim
bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul Manaf.
Beliau dilahirkan di Makkah pada hari Jumat 13 Rajab tahun 570 M atau 32 tahun
setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW., beliau tinggal bersama Nabi SAW., sejak
kecil. Beliau diasuh sebagaimana anak sendiri karena kondisi ayahnya yang
miskin. Beliau mendapat didikan langsung dari Nabi SAW., sehingga menjadi
seorang yang berbudi tinggi dan berjiwa luhut.
Ali bin Abi
Thalib ra., masuk Islam saat berusia 7 tahun. Beliau adalah anak kecil pertama
yang masuk Islam. Ali bin Abi Thalib ra., mendapat nama panggilan Abu Turab
(bapaknya tanah) dari Nabi SAW., Abu Turab adalah panggilan yang paling
disenangi oleh Ali bin Abi Thalib ra., karena nama itu adalah kenangan berharga
dari Nabi SAW.,
Peranan Ali bin
Abi Thalib ra., sangat besar. Beliau menggantikan Nabi SAW., di tempat tidurnya
ketika Nabi Muhammad SAW., sudah dikepung oleh algojo kafir Quraisy. Setelah
itu, dia mendapat siksaan dari kafir Quraisy.
Sikap pemberani
dan petarung sejati dibuktikan di beberapa peperangan yang diikutinya. Pada
perang Badar beliau melakukan duel satu lawan satu dengan kafir Quraisy. Beliau
berhasil membunuh musuhnya. Begitu juga ketika perang Uhud, beliau merupakan
salah satu petarung yang berhadapan dengan perwakilan kafir Quraisy.
Ali bin Abi
Thalib ra., wafat di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman bin
Muljam, seseorang yang berasal dari golongan khawarij saat mengimami shalat
subuh di masjid Kuffah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali bin Abi Thalib ra.,
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Ali
bin Abi Thalib ra., dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa
riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.[10]
E.
Kondisi Perekonomian
Para khulafa ar-rasyidun adalah penerus kepemimpinan Nabi
SAW.,., karenanya kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adlah
melanjutkan dasar-dasar yang dibangun Rasulullah SAW.,. Khalifah pertama, abu bakar siddiq (51 SH-13 H/537-634 M) banyak
menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul
orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau membangun lagi Baitul Maal
dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa
Rasulullah SAW.,. Beliau juga mulai mempelopori sistem penggajian bagi aparat
negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau
2,75 dirham setiap hari hanya dari Baitul Maal. Tunjangan tersebut
kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2000 atau 2.500 dirham dan menurut
keterangan lain 6.000 dirham per tahun.
Khalifah kedua, umar bin khattab (40 SH-23 H/584-644 M) dipandang
paling banyak melakukan inovasi dalam perekonomia. Umar bin khattab menyadari
pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian, karenanya ia mengambil
langkah-langkah besar pengembangan bidang ini. Misalnya, ia menghadiahkan tanah
pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang
gagal mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya
atau tanah tersebut. Saluran irigasi terbentang hingga di daerah-daerah
taklukan, dan sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk,
tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna untuk kelancaran dan
ditribusi air. Menurut maqrizi, di Mesir saja ada sekitar 120.000 buruh yang
bekerja setiap hari sepanjang tahun. Mereka digaji dari harta kekayaan umat.
Juaza bin muawiyah dengan seizin Umar, banyak membangun kanal-kanal di distrik
khuziztan dan ahwaz, yang memungkinkan pembukaan dan pengelolaan banyak sekali
ladang pertanian.
Pada masa umar, hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna
menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap
beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma syiria sebesar 50%. Hal ini
untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat yang
sama, juga dibangun pasar-pasar termasuk didaerah pedalaman seperti di ubulla,
yaman, damaskus Makkah dan bahrain. Pekan-pekan dagang berkedudukana penting
dalam menggerakkan roda perekonomian. Beberapa pekan dagang yang menonjol
adalah pekan dagang ‘ukaz yang berada di hijaz yang berdekatan dengan sukar dan
yang lainnya. ‘ukaz adalah sebuah oasis diantaar ta’if dan nukhlah. Pekan
dagang itu berlangsung pada 1-20 dzulkaidah.
Umar membangun Baitul Maal yang reguler dan permanen di ibu
kota, kemudian dibangun cabang-cabang dan di ibu kota provinsi. Selain sebagai
bendahara negara, Baitul Maal juga bertugas sebagai pelaksana kebijakan
fisikal dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut. Bersamaan
dengan reorganisasi Baitul Maal, umar mendirikan diwab Islam yang
pertama, yang disebut al-diwan sbenarnya al-diwan adalah sebuah kantor yang
ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta
tunjangan lainnya dalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga menunjukkan
sebuah komite yang terdiri dari nasab ternama untuk membuat laporan sensus
penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.
Permasalahan ekonomi dimasa khalifah usman bin affan (47 SH-35
H/577-656 M) semakin rumit, sejalan dengan semakin luasnya wilayah negara
Islam. Pemasukan negara dari zakat, jizyah, dan juga rampasan perang semakin
besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, balkh,kabul,ghazni kerman, dan
sistan ditaklukan. Untuk menata pendapat baru, kebijakan umar diikuti. Tidak
lama, Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut
ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan
sumber daya alam. Aliran air digali,jalan dibangun,pohon-pohon,buah-buahan
ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi
kepolisian tetap.
Dalam pemerintahan usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat
berubah demikian cepat, yang kemudian juga menimbulkan berbagai permasalahan
sosial politik yang berbuah konflik. Tidak mudah pula mengakomodasi orang kota
yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang baru yang terbuka menyusul
ditaklukkannya provinsi-provinsi baru.
Ali bin abi thalib (23 SH-40
H/600-661 M), khalifah yang keempat, terkenal sangat sederhana. Mewarisi
kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik
dari khalifah sebelumnya, ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia
secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul
Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.00 dirham setiap
tahnnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu
upayanya yang monumental adalh pencetakan mata uang sendiri atas nama
pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar
dari romawi dan dirham dari Persia.
F.
Tata Ruang Kota
G.
Dakwah Saat Itu
Pengganti Rasulullah adalah Khulafa’ur Rasyidin,
mereka adalah Abu Bakar Asidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi
Thalib. Ke empat sahabat Nabi ini berperan sebagai ulama’ yang menyebarkan
Agama Islam sekaligus berperan sebagai seorang Khalifah.
Kondisi mad’u pada masa khulafaur Rasyidin adalah
bersifat ijabah, karena pada masa Rasulullah sudah banyak orang yang memeluk
Agama Islam. Khulafaur Rasyidin hanya tinggal meneruskan perjuangan dakwah
rasulullah, namun masih banyak umat yang belum menerima Islam sebagai Agamanya,
seperti orang-orang Qurasyi dan Yahudi, sehingga mad’u pada masa Kulafaur
Rasyidin bercorak ijabah dan ummah.
Adapun materi yang diterapkan pada masa khulafaur
Rasyidin adalah aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Adapun aqidah dengan cara
mentauhidkan, atau Meng Esakan Allah, sedangkan syari’ah dengan diajarkannya
tata cara tentang berwudhu, sholat dan mambaca Al-Qur’an, sedangkan mu’amalah
yaitu dengan ditetapkannya zakat bagi orang-orang muslim yang diserahkan kepada
baiulmal dan pajak bagi orang-orang non muslim.
Macam-macam
metode yang digunakan:
Ada bermacam-macam metode yang digunakan dalam berdakwah
pada masa Khulafaur Rasyidin diantaranya sebagai berikut:
·
Metode
Ceramah
Metode ceramah metode yang dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah
dengan cara ceramah yang dilakukan di masjid-masjid.
·
Metode Missi
(Bi’tsah)
Penyebaran Agama Islam ke berbagai wilayah dilakukan
dengan cara mengutus para da’i. Apabila ada yang menentang atau memberontak
maka dilakukan peperangan atau jihad.
·
Metode
Korespondensi
Sebelum para da’i dikirim ke daerah-daerah yang akan di dakwahi, terlebih
dahulu dikirim surat sebagai pengantar.
·
Metode
Ekspansi
Penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara ekspansi atau perluasan
wilayah. Ekspansi yang dilakukan meliputi kawasan Syiria dan Palestina, Irak
dan Persia, Mesir, Khurasan, Armenia, Afrika Utara.
·
Metode
Tanya-jawab
Metode Tanya-jawab adalah metode yang dilakukan dengan menggunakan
Tanya-jawab untuk mengetahui sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang dalam
memahami atau menguasai materi dakwah.
·
Metode Karya
Tulis
Metode karya tulis dengan dikumpulkannya lembaran-lembaran sebagai Mushaf,
dan pada masa khalifah Utsman dibukukan menjadi sebuah Al-Qur’an.
·
Metode
Diskusi
Pada Abu Bakar, beliau berdiskusi dengan Chyrus, pemimipin Romawi dan
terjadi kesempatan untuk berdamai .
·
Metode
Konseling
Pada masa khulafaurrasyidin, para Khalifah mengajarkan secara langsung cara
membaca Al-quran, tata cara berwudhu’, shalat dan cara-cara yang lainya dalam
hal apapun yang di rasa belum di ketahui oleh ummat.
·
Metode
Kelembagaan
Pada masa khalifah umar bin khatab sudah mampu
mengatur dalam sebuah kelembagaan yang di sebut Baitul Mal yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan Negara.
·
Metode
Keteladanan
Para khulafa’urrasyidin memiliki sifat yang cerdik, pandai, adil, dermawan
dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
·
Metode Propaganda
Didalam proses dakwah pasti terdapat unsur propaganda, guna untuk
mempengaruhi seorang mad’u.
·
Metode
Silaturah
Pada masa khulafa’urrasyidin, para khalifah berkunjung
ke daerah-daerah kekuasaanya untuk mengetahui perkembangannya.
Media yang digunakan pada masa khulafaur Rasyidin
adalah:
·
Media Masjid
Masjid di jadikannya sebagai tempat atau sasaran utama oleh para Khulafa’ur
Rasyidin, selain itu dijadikan sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan
Al-Hadits.
·
Media Cetak
Khulafaurrasyidin mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya, kemudian di
sebarkannaya ke seluruh wilayah kekuasaan Islam, yang terjadi pada masa Usman
Bin Affan.
·
Lembaga
Pendidikan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Sofyan mengajarkan Al-Qur’an kepada
penduduk perkampungan. Barang siapa yang buta huruf Al Quran akan dikenakan
sanksi cambuk.
·
Lembaga
Kantor/pemerintahan
Fungsi dari Lembaga Kantor/pemerintahan yaitu bisa
juga digunakan sebagai pusat segala aktivitas pemerintahan, seperti
gedung-gedung DPR atau istana Negara. Dan pemerintahan pada masa Khulafa’ur
Rasyidin ini pemerintahannya dijalankan sesuai dengan nilai-nilai ke Islaman,
misalnya pada masa Umar Bin Khattab dibuat sebuah kebijakan untuk membuat
sebuah badan yang mengurus zakat. Ini dilakukan agar pembagian zakat bisa
diantar dengan baik dan bisa memebantu prang miskin. Pada aktivitas beginilah
lembaga Kantor/pemerintahan digunakan atau dibutuhkan.
H.
Peninggalan Sejarah Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidin
a)
Abu Bakar ra.,
Jasa beliau yang amat besar bagi kepentingan agama
Islam adalah beliau memerintahkan mengumpulkan naskah-naskah setiap ayat-ayat
Al-Qur’an dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah
ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW., pada masa hidupnya, dan menyimpan keseluruhan
naskah di rumah janda Nabi SAW., yakni Siti Hafshah.[11]
b) Umar bin Khattab ra.,
·
Terbentuknya mata
uang
·
Pengkodifikasi
Al-Qur’an/menyatukan Al-Qur’an yang tercecer
·
Adanya penetapan
Tahun Hijriyah (622 M)
·
Masjid Amr bin Ash.
·
Adanya dewan-dewan
(departemen) antara lain: Lembaga Peradilan, Lembaga Konsultasi Hukum,
Kepolisian, Perbendaharaan Negara, Lembaga Pajak, Lembaga Ketentraman dan
Pekerjaan Umum, mendirikan Baitul Mal
·
Adanya Pemerintahan
Arab
Berkat jasa Khalifah Abu Bakar ra., seluruh jazirah telah berada dibawah
pemerintahan Islam bahkan pernah memasuki wilayah Byzantium Syria tetapi
mengalami kegagalan. Kemudian
pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra., Islam baru bisa dikembangkan ke
wilayah Persia dan Byzantium. Dalam waktu singkat Persia dan Byzantium telah di
kuasai oleh Islam, dan menyusul Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi.
Masuknya Islam ke wilayah Persia, Iraq dan Byzantium berarti kemenangan bangsa
Arab terhadap bangsa Persia yang sejak dulu memang terlibat sentimen
permusuhan. Karena itulah pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra., disebut
pemerintahan Arab. Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia merupakan
pukulan berat bagi Persia, baik secara ekonomi maupun dilihat dari sudut
politik. Sebab ketika itu Persia termasuk bangsa besar sehingga ketika jatuh ke
tangan Arab, mereka kehilangan kedudukan sebagai raja dan seluruh harta
kekayaannya dikuasai oleh pemerintahan Arab. Oleh karena itu, sebagai puncak
kebencian dari orang Persia, mereka mengirim pembunuh bayaran untuk membunuh
Khalifah Umar bin Khattab ra. Pada saat usai shalat subuh, Khalifah Umar bin
Khattab ra., dibunuh oleh pembunuh bayaran bangsa Persia yang bernama Abu
Lu’lu’ah, seorang budak yang dibawa oleh Al–Mughirah dari Iraq. Pembunuhan yang
dilakukan oleh budak dari Persia tersebut menunjukkan rasa ketidak puasan
orang–orang Persia terhadap orang Arab yang telah menundukkan Negara dan
kebesaran kekaisaran Persia. Karena sebelum Islam datang Persia lebih maju dari
pada bangsa Arab.
·
Pembangunan Kota Baru
Khalifah Umar
bin Khattab ra., terkenal sebagai Khalifah yang berani dan dermawan. Oleh
karena itu, setiap beliau berhasil mengusai pusat kerajaan, beliau tidak
menempati pusat kerajaan yang telah ada, akan tetapi ia lebih suka membangun
daerah baru yang jauh dari kota dan cocok untuk peternakan sebagai pusat dari
kerajaan baru yang telah ia taklukkan. Berdasarkan konsep pemikiran tersebut
Khalifah Umar bin Khattab ra., mendirikan kota Basrah pada tahun 16 H, Kuffah
pada tahun 17 H dan Fustath pada tahun 19 H sekarang menjadi Kairo Kuno. Adapun
cara Khalifah Umar bin Khattab ra., dalam mendirikan kota baru adalah pertama
membangun Masjid dan pengadaan air minum baru kemudian kantor pemerintahan.
Dari sinilah daerah tersebut berangsur–angsur menjadi kota dan sebagai pusat
kebudayaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan masjid sebagai sentralnya.
Hal ini terbukti sampai sekarang Kuffah, Basrah dan Kairo menjadi pusat ilmu
dan kebudayaan Dunia Islam. Oleh karena itu, daerah tersebut banyak didatangi
oleh bangsa lain seperti: Cina dan Bangsa Eropa.
·
Lembaga Perpajakan
Ketika wilayah
kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Iraq dan Syria serta Mesir sudah
barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan , baik yang menyangkut
biaya rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang menyebarkan
Islam ke wilayah tetangga lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu
Khadim mengatakan bahwa institusi perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan
raja yang mengatur pemasukan dan pengeluaran. Sebenarnya konsep perpajakan secara
dasar berawal dari keinginan Umar bin Khattab ra., untuk mengatur kekayaan
untuk kepentingan rakyat. Kemudian secara tehnis beliau banyak memperoleh
masukan dari orang bekas kerajaan Persia, sebab ketika itu Raja Persia telah
mengenal konsep perpajakan yang disebut sijil, yaitu daftar seluruh
pendapatan dan pengeluaran diserahkan dengan teliti kepada negara. Berdasarkan
konsep inilah Umar bin Khattab ra., menugaskan stafnya untuk mendaftar
pembukuan dan menyusun kategori pembayaran pajak.
c)
Ustman bin Affan ra.,
Yang berhasil
dilakukan oleh Khalifah Ustman bin Affan ra., dan sangat bermanfaat bagi umat
sepanjang masa adalah penyempurnaan penyusunan Mushaf Al-Qur’an yang
dikumpulkannya dari istri Nabi Muhammad SAW., yaitu Siti Hafsah.
d)
Ali bin abi thalib ra.,
·
Adanya Ilmu Nahwu Sharaf.
·
Adanya tata ruang kota.
I.
Tokoh Sahabat Sesudah Khulafa Ar-Rasyidun
1.
Abdurrahman bin Auf
Abdurrahman Bin Auf dilahirkan kira-kira sepuluh tahun setelah
tahun Gajah dan termasuk orang yang terdahulu masuk Islam. Dia berhijrah sebanyak
dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan lainnya. Saat masih
jahilillah, ia bernama `Abdul Ka`bah atau `Abdu `Amr; kemudian diberi nama
`Abdurrahmân oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya bernama Shafiyah. Sedangkan ayahnya bernama `Auf bin `Abdu
`Auf bin `Abdul Hârits bin Zahrah.
Abdurrahman bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan
yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ia adalah
sahabat Abu Bakar dan termasuk
orang kelima yang di Islamkan olehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak
apatus dengan peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam
perang Uhud. Ia menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan
hanya harta tetapi juga jiwa.
Berhijrah ke Habasyah adalah salah satu tugasnya dalam menjalankan
roda dakwah Rasulullah Saw. Sesungguhnya
hijrah yang pertama dilakukan oleh kaum Muslimin adalah ke Habasyah. Mereka
berpindah karena gangguan dari kaum musyrikin Quraisy yang semakin menjadi. Ada
yang menganggap kepergiannya adalah refleksi dari kegentarannya menghadapi
ujian keimanan. Namun, Allah Swt. Menjelaskan, hijrah adalah sesuatu yang
diharuskan jika tantangan di tempat asal sudah sangat besar.
Dengan kemampuannya dalam berbisnis, Abdurrahman bin Auf juga
membawa seluruh kekayaannya ketika berhijrah ke Madinah. Di perjalanan
kekayaannya dirampas oleh Quraisy, penguasa Mekkah. Ia dan Suhaib Ar Rumi
kehilangan seluruh harta kekayaannya.
Dalam keadaan demikian, Abdurrahman bin Auf tidak menyerah. Rasulullah Saw.
mempersaudarakan orang-orang yang berhijrah yang kebanyakan pedagang dengan
orang-orang asli Madinah yang mayoritas petani. Di Madinah, Abdurrahman bin Auf
dipersaudarakan dengan Sa’ad ibnu Arabi Alausani. Ia memberikan sebagian harta
dan menawarinya seorang calon istri. Abdurrahman bin Auf hanya berkata, “Semoga
Allah Swt. memberkahi hartamu dan keluargamu, tunjukkanlah kepadaku di mana
pasar.”
Abdurrahman bin Auf memang pebisnis yang handal. Dengan modal
secukupnya ia berjualan keju dan minyak samin, bangkit dan mampu menikah dengan
salah satu perempuan Anshar. Setelah menikah dengan memberi mahar sebutir emas
(seberat sebutir kurma) Rasulullah Saw memintanya
mengadakan walimah. Ini adalah pertanda, pernikahan sesederhana apa pun harus
dilanjutkan dengan walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.
Dalam beberapa waktu, Abdurrahman bin Auf menjadi orang kaya dan Rasulullah Saw, berkata
kepadanya, “Wahai Abdurrahman bin Auf, kamu sekarang menjadi orang kaya dan
kamu akan masuk surga dengan merangkak (mengingsut). Pinjamkanlah hartamu agar
lancar kedua kakimu” (H.R. Al-Hakim).
Pernyataan itu membuat Abdurrahman bin Auf berpikir keras dan
banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt. Ia berkata, “Kalau bisa aku
ingin masuk surga dengan melangkah (berjalan kaki)”. Ia berlomba dengan
pebisnis lain, yaitu Utsman bin Affan
dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf memberikan separuh hartanya untuk dakwah Rasulullah Saw.
`Abdurrahman bin Auf pernah menjual tanahnya seharga 40 ribu dinar,
kemudian membagi-bagikan uang tersebut kepada para fakir miskin bani Zuhrah,
orang-orang yang membutuhkan dan kepada Ummahâtul Mukminin (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Rasulullah Saw berkata,
“Semoga Allah Swt memberkahi apa yang kamu tahan dan kamu berikan.“ Abdurrahman
bin Auf hartanya menjadi berlipat ganda sehingga ia tak pernah merasa kekurangan.
Setelah Abdurrahman bin Auf bersedekah, turunlah firman Allah Swt, “Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah Swt kemudian ia tidak mengiringi apa
yang dinafkahkannya dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan menyakiti
perasaan (si penerima), mereka mendapat pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula merasakan bersedih hati.”
Sebelum wafat, Abdurrahman bin Auf menginfakkan 400 dinar hartanya
untuk peserta perang Badar yang masih hidup. Setiap orang mendapatkan
empat dinar termasuk Ali R.a. dan Utsman R.a. Ia juga
memberikan hadiah kepada Umul Mukminin (janda-janda Nabi Saw). Aisyah R.a. pun berdo’a
untuknya, “Semoga Allah Swt memberi minum kepadanya air dari mata air
salsabila di surga”.
Abdurrahman bin Auf wafat pada tahun 32 H dalam usia 75 tahun. Ia
dishalatkan oleh saingannya dalam berinfak di jalan Allah Swt, yaitu Utsman R.a. Ia di usung
oleh Sa’ad bin Abi Waqqas ke
pemakaman Al Baqi. Setelah Abdurrahman bin Auf wafat, Ali berkata, “Pergilah
wahai Ibnu Auf, kamu telah memperoleh kejernihan dan meninggalkan kepalsuan
(keburukannya)”. (H.R. Al-Hakim Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu adalah
seorang panglima perang yang termahsyur dan ditakuti di medan perang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya gelar "Saifullah" yakni pedang Allah yang
terhunus. Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang
tidak terkalahkan sepanjang kariernya. Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun
dalam puluhan peperangan.
2.
Zubair bin Awwam
Zubair Bin Awwam adalah salah satu sahabat nabi.
Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia
termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan
di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diberi petunjuk, cahaya,
dan kebaikan saat remaja.
Sewaktu Rasulullah
SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau
mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW bersabda tentang keduanya secara
bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek
buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.
Zubair, seorang yang berudi tinggi dan berakhlak
mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan. Ia juga
seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan
untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang. Kedermawanan,
keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna
kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya
untuk Islam.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak
kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan
untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.
Di masa-masa awal, saat jumlah kaum
muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita
bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota
Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.
Yang pertama kali dilakukannya
adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia
bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir
Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota
Makkah yang agak tinggi, ia bertemu
Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan
menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan
dan pedangnya selalu diberi kemenangan.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan
terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh
menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu
diasapi hingga kesulitan bernapas. Saat sang paman memintanya untuk keluar dari
keislamannya namun ia menolsk dan tidak akan kembali kepada kekafiran untuk
selama-lamanya.
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah
ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan
bersama Rasulullah,
hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti. Banyaknya bekas luka
pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Seusai Perang Uhud, dan pasukan
Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar
diperintahkan Rasulullah
memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin
masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu
Madinah.
Abu Bakar dan Zubair membawa 70
tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu
pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan
siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka
bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di
belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini
membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.
Di perang Yarmuk, Zubair memerankan
satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat
jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu
menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.
Ia sangat rindu untuk syahid. Ia
berkata, “Thalhah
bin Ubaidillah memberi nama
anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad
SAW. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada
dengan harapan mereka syahid.”
Ada yang diberi nama Abdullah dari
nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin
Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama
Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi
Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi
nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi
nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.
Ia sangat percaya dengan
kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya
berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena
pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang.
Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang
adalah keistimewaannya.
Ketika pengepungan terhadap bani
Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan
Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang
kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan hamzah.
Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng.
Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam
benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan
menyerbu ke dalam benteng.
Di perang hunain, suku Hawazin yang
dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima
kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di
sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima
Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka
seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.
Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan
kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku
adalah Zubair bin Awwam.”
Sebelum meninggal, Zubair berpesan
kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu
melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung
yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Di kemudian hari, sang anak
bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku
berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi
utangnya.”
Setelah ia mengetahui duduk
permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang
yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan
shalat, mereka menikam Zubair.
Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap
Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu
menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair.
Ketika Ali mengetahui ada pembunuh
Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh
Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”
Ketika pedang Zubair ditunjukkan
kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian
lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.” Thalhah bin Ubaidillah (wafat
36 H/ 656 M) adalah seorang sahabat nabi berasal yang dari suku Quraisy,
Thalhah ra. merupakan salah seorang dari delapan orang yang pertama masuk
Islam. Thalhah dijuluki "Burung elang hari Uhud". Dia
menggunakan dirinya menjadi perisai bagi Nabi
Muhammad saat
pertempuran Uhud. Ia akhirnya meninggal akibat terpanah pada Perang Jamal.
3.
Thalhah bin Ubaidillah
Thalhah bin
Ubaidillah adalah Pribadi yang Pemurah dan Dermawan. Thalhah masuk Islam
melalui anak pamannya, Abu bakar As sidiq Ra.
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
Pada suatu
ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah
bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.
Tiba-tiba seorang
pendeta berteriak-teriak,"Wahai para pedagang, adakah di antara
tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?." "Ya, aku penduduk
Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah orang di antara
kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya. "Ahmad yang mana?"
"Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai
Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri
berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang
subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya
wahai anak muda," sambung pendeta itu.
Ucapan pendeta
itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan
kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia
langsung bertanya kepada keluarganya,"Ada peristiwa apa
sepeninggalku?" "Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar As Siddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.
"Aku
kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia
pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang
menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.
Setelah itu
Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar As Siddiq. "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?"
"Betul." Abu Bakar As Siddiq menceritakan kisah Muhammad
sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar As Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang
pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan
menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah,
Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bagi
keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang
bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari
Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah
sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai
mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan
tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut
dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci
maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah.
Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang
menyeret Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya
menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat
yang mulia ini. Peristiwa ini
mengakibatkan Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang
sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang
dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan
makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar
dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang
hidup.
Bila diingatkan
tentang perang Uhud, Abu bakar Ra
selalu teringat pada Thalhah ra. Ia berkata, "Perang Uhud adalah
harinya Thalhah ra. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami:
"Lihatlah saudaramu ini." Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh
puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus." Diceritakan ketika
tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW
dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di
bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat
tentara muslim dan Rasulullah SAW,
terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar.
Mereka
masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang
Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua
musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW.
Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW.
Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW,
melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan,
tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi
mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap
dengan teguh, "Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah saw.".
Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah ra. Ia
berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia
melompat ke arah Rasulullah saw.
yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya.
Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang
mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah,
Rasulullah saw. selamat.
Thalhah memang
merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap
berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan
karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang
teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi
meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas.
Alhamdulillah, Rasulullah saw. selamat walaupun dalam keadaan menderita
luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan
pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, "Aku
tebus engkau Ya Rasulullah saw. dengan ayah ibuku." Nabi SAW tersenyum dan berkata, " Engkau adalah Thalhah
kebajikan." Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, "
Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ...." Yang dimaksud nabi SAW
adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan
"Burung elang hari Uhud."
Sewaktu terjadi
pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali Ra dan
Ali Ra
memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai
betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian
karena lukanya yang cukup dalam ia wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh
tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Rasulullah saw
pernah berkata kepada para sahabat Ra, "Orang ini termasuk yang gugur
dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka
lihatlah Thalhah ra". Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firman-Nya : "Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah
janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
Thalhah menikah
dengan Su'da binti Auf. Thalhah dikaruniai 14 orang putera dan puteri, yaitu:
Muhammad As Sajjad, Imran, Isa, Ismail, Ishak, yaakub, Musa, Zkaria, Yusuf,
Yahya, Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam), Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali), Sha'bah, Maryam. Abdurrahmân
bin `Auf bin `Abdi `Auf bin `Abdil Hârits Bin Zahrah bin Kilâb bin al-Qurasyi
az-Zuhri Abu Muhammad adalah salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat dermawan dan yang sangat memperhatikan dakwah Islam,
dan mendapat rekomendasi masuk surga. Dia juga salah seorang dari enam orang
Sahabat Radhiyallahu anhum yang ahli syurga.
4.
Khalid bin Walid
Khalid bin Walid adalah komando pasukan
kaum muslimin pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan
beliau telah melintasi perbatasan negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam
bersama para tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan
perang ini.
Khalid bin Walid dilahirkan kira-kira 17
tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum, suatu
cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid
termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah binti Al-Harits radhiallahu
‘anhu, bibi
dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga,
yakni saudara sepupunya.
Dahulu sebelum masuk Islam Nama Khalid
bin Walid sangat termashur sebagai panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy yang tak
terkalahkan. Begitu gagah dan perkasanya Khalid baik di Medan perang maupun
ahli dalam menyusun strategi perang.
Khalid bin Walid masuk islam setelah
pertempuran Uhud yang banyak merenggut para pejuang muslim. Dalam perang itu
Khalid bin Walid menjadi panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy. Ia masuk islam
setelah mendengar lantunan ayat suci Al Qur'an surat al hujarat ( Qs 49:13 )
yang dibacakan oleh Bilal, seorang budak hitam dan buta hurup. Setelah
itu, Nabi memberi gelar kepadanya dengan nama “Syaifulloh
yang artinya “pedang Alloh yang terhunus. Setelah bergabungnya Khalid bin walid
kedalam Islam, bertambah kuatlah pasukan Muslim hingga bisa menaklukan kota Mekkah
dan Pasukan Kafir Quraiy.
Saat terjadi pertempuran Mu'tah. jumlah
tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa
Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan
jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria
dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar pasukan
dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan
berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan
digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Semua pemimpin di atas mati syahid pada
peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia
berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai pemimpin kalian,
maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tampak jelas
keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia
merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri
dan sebaliknya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian
pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka datang seakan
pasukan batuan yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat
berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar
atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka
melemah. Pada perang Mu'tah, hanya beberapa kaumm muslimin yang menjadi korban,
sedangkan di pihak kaum kafir banyak sekali. (baca cerita lengkapnya di:
"Pertempuran
Mu'tah")
Khalid juga ikut serta dalam peperangan
melawan kaum yang murtad, beliau juga ikut berperang menuju Iraq, dan para
ulama berbeda pendapat tentang sebab dipecatnya Khalid sebagai komando
perang di Syam, dan semoga yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin
Khattab radhiallahu ‘anhu: Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga masyarakat
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan Khalid.
Di antara ungkapannya yang agung adalah
tidaklah sebuah malam di mana aku bersama seorang pengantin yang aku cintai
lebih aku sukai dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah
pasukan kaum muhajirin guna menyerang musuh.
Dia pernah menulis sebuah surat kepada
kaisar Persia yang mengatakan, “Sungguh aku telah telah datang kepada kalian
dengan pasukan yang lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia
menyenangi minum khamr.”
Qais bin Hazim berkata, “Aku
telah mendengar Khalid berkata, ‘Berjihad telah menghalangiku mempelajari
Al-Qur’anul Karim.’”
Meski Beliau sering aktif dalam banyak
peperangan menegakkan agama Allah, namun ia tidak gugur dalam
pertempuran. Abu Zannad berkata, “Pada saat Khalid akan meninggal dunia dia
menangis dan berkata, ‘Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama
pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali padanya
terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan
sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor
unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut. ‘“
Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari
bapaknya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta
kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan menyampaikannya
kepada derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya mati di atas
ranjangnya.”
Lalu pada saat wafat, dia tidak
meninggalkan kecuali kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai
sedekah dijalan Allah, pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul
Mu’minin, Umar bin Al-Kattab dia berkata, “Semoga Allah meberikan rahmatnya
kepada Abu Sulaiman, sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan.”
Dan disebutkan di dalam hadits
riwayat Umar bin Al-Khattab tentang zakat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Khalid maka dia
telah menyimpan baju besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah.”
Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia
tidak ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata:
“Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya).
“Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya).
Khalid bin Walid wafat pada tahun 21 H.
di Himsh pada usia 52 tahun. Zaid bin Tsabit.
[1] Nursyam,Sejarah
Kebudayaan Islam ,Jakarta:Kemenag RI,2014.hlm.104-106
[2] Muhajirin
Syafi’i,Sejarah Kebudayaan Islam,Depok:--,2013.hlm.33-39.
[3] Ibid.hlm.44-53
[4] Prof.Dr.Hasan
Langgulung,Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21,Jakarta:--.1988,hlm.17
[5] Muhammad
Yunus,Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta: Hidayakarya Agung,1989,hlm. 18.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjWpp_n1pDPAhXEj5QKHc9hCzsQFggcMAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.uinsgd.ac.id%2Findex.php%2Fjurnal-tarbiya%2Farticle%2Fdownload%2F136%2Fpdf&usg=AFQjCNEJrzAYGotKzis-oqvqVOvR_nIT4g&sig2=sofb03j5iQM2JJpJjGxPpA&bvm=bv.133053837,d.dGo Diakses pada tanggal 14 September
2016
[6] Musyrifah
Sunanto,Sejarah Islam Klasik,Jakarta:Kencana,2007.hlm.14-23.
[7] Muhajirin
Syafi’i,Sejarah Kebudayaan Islam,Depok:--,2013.hlm.51.
[8] Musyrifah
Sunanto,Sejarah Islam Klasik,Jakarta:Kencana,2007.hlm.24-31
[9] Muhajirin
Syafi’i,Sejarah Kebudayaan Islam,Depok:--,2013.hlm.55
[10]
Nursyam,sejarah kebudayaan islam,jakarta:KemenagRI,2014.hlm.106-113
[11] Muhlis,Islam Masa Khulafaur
Rasyidin. https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-khulafaur-raosyidin.pdf Diakses pada tanggal 14 September 2016
Comments
Post a Comment