DINASTI BANI UMAYYAH 661 M

A.     Sejarah Pendirian Dinasti Bani Umayyah
Berdirinya dinasti bani Umayyah dilatarbelakangi oleh peristiwa tahkim pada perang Siffin. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, Muawiyah bin Abi Sufyan beserta sahabat lainnya angkat bicara dihadapan manusia dan mendorong mereka agar menuntut darah Utsman dari orang-orang yang telah membunuhnya. Tragedi kematian Utsman bin Affan dijadikan dalih untuk mewujudkan ambisinya. Muawiyah dan pengikut menuntut kepada khalifah Ali agar dapat menyerahkan para pembunuh Utsman kepada mereka. Karena tuntutannya itu tidak terpenuhi maka pihak Muawiyyah menjadikannya sebagai alasan untuk tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Dalam menghadapi pembangkangan Muawiyyah, Khalifah Ali mengutus Abdullah Al-Bajali untuk melakukan perundingan dengan Muawiyyah agar bersedia dan mengakui dan membalasnya seperti yang dilakukan oleh gubernur-gubernur dan kaum muslimin lainnya serta tidak memisahkan diri dari pemerintah pusat. Untuk menentukan sikap dalam menghadapi himbauan khalifah tersebut, Muawiyyah bermusyawarah dengan Amru bin Ash. Dari musyawarah ini hasilnya menolak ajakan damai serta memilih mengangkat senjata memerangi pemerintah pusat.
Dari sinilah terjadi pertempuran antara kedua belah pihak. Setiap hari khalifah Ali mengirim seorang peemimpin pasukan untuk maju bertempur, begitu juga dengan Muawiyyah. Perang ini terjadi pada 1 Shafar tahun 37 H/ 26-28 Juli 657M. Peperangan ini berlangsung imbang, sehingga kedua belah pihak sepakat untuk berunding. Sampai pada akhirnya peperangan ini mereda. Kedua belah pihak akhirnya bertemu di meja perundingan melalui meja tahkim.
Peristiwa tahkim ini dimenangkan oleh pihak Muawiyyah. Dalam peristiwa Tahkim Ali terpedaya oleh taktik dan siasat Muawiyyah yang pada akhirnya menyebabkan Ali kalah secara politis. Sementara itu Muawiyyah mendapat kesempatan mengangkat dirinya sebagai seorang khalifah sekaligus seorang raja. Muawiyyah mendapat kursi kekhalifahan pada tahhun 41 H setelah Hasan bin Ali berdamai dengannya. Pasca meninggalnya Ali, sebagian umat islam membai’at Hasan sebagai pengganti Ali. Namun karena menyadari kelemahannya, maka Hasan berdamai dan menyerahkan kesuasaannya kepada Muawiyyah. Keberhasilan Muawiyyah dalam mendirikan dinasti bani Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan di Siffin dan terbunuhnya Ali saja, namun ada faktor lain. Pertama, dukungan kuat dari rakyat Suriah dan keluarga Umayyah sendiri. Kedua, Muawiyyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan.
Dengan naiknya Muawiyyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah menjadi tanda lahirnya dinasti Bani Umayyah.
B.     Wilayah Kekuasaan Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi kekuasaan daulah Bani Umayyah dimulai sejak zaman Muawiyah dengan ditaklukkannya Tunisia. Di sebelah timur Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai Oxus dan Afganistan sampai Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel.
Abdul Malik bin Marwan melanjutkan ekspansi ke timur, pasukannya menyebrangi Oxus dan berhasil menaklukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan ke India dan dapat mengusai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai Maltan.[1]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjudkan oleh al-Walid bin Abdul Malik, pada masanya tercatat bahwa ekpedisi militer dari Afrika Utara menuju barat daya benua Eropa. Setelah ditundukkannya al-Jazair dan Marokko. Thariq bin Ziyad membuka jalan ekspansi ke Spanyol, dengan cepat ibukota Spanyol, Cordova dengan cepat dikuasai dan diteruskan ke beberapa wilayah disekitarnya meliputi Seville, Grenada, Elvira, Arkhidona, Malaga, dan Toledo.[2]
Berikutnya di zaman Umar bin Abdul Aziz, ekspansi dilanjutkan ke Prancis melalui pegunungan Pinaree. Penyerangan ke wilayah Bordean, Poities dipimpin oleh Abd Rahman bin Abdullah al-Ghafiqi, yang kemudian terbunuh dalam menyerang Tours, sehingga pasukannya ditarik kembali ke Spanyol. Di samping daerah-daerah tersebut umat Islam telah menaklukkan beberapa pulau yang ada di Laut Tengah, di antaranya Majorca, Corsica, Crete, Rhodes dan sebagian Sicilia.[3]
Dengan demikian maka meluaslah wilayah kekuasaan Islam yang meliputi Spanyol, Afika Utara, Syriah, Palestim, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah. Penaklukkan-penaklukkan wilayah yang dilakukan oleh bani Umayyah telah memberi warna tersendiri bagi pengembangan dakwah, perluasan teritorial khilafah islam serta pengmbangan kebudayaan.[4]



C.     Penyelenggaraan Pendidikan Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Jika pada masa Nabi dan Khulafau ar-Rasyidin perhatian terpusat pada usaha untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi untuk memperdalam pengajaran akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah, serta kisah-kisah Al-Qur’an, maka perhatian sesudah masa itu sesuai dengan kebutuhan zaman yang tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya islam.
Periode dinasti Bani Umayyah merupakan masa inkubasi. Intelektual muslim pada masa ini sangat berkembang. Pada masa ini pendidikan bersifat desentralisasi yang tidak memiliki tingkatan dan batasan umur. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya. Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya yaitu : kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, sastra, dan lain-lain.
Pola pendidikan yang dipakai pada masa ini adalah sistem kuttab, yaitu tempat anak-anak belajar membaca, menulis Al-Qur’an serta ilmu agama lainnya. Sistem dengan pola seperti ini berpusat di istana, masjid dan rumah guru. Adapun bentuk pendidikan yang dilaksanakan pada masa dinasti Bani Umayah diantaranya:
1.      Pendidikan Istana. Guru istana dinamakan Muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan, bahkan Muaddib juga harus mendidik kecerdasan, hati, dan jasmani anak.
2.       Nasihat pembesar pada Muaddib
3.      Badiah. Istilah Badiah ini muncul setelah adanya Arabisasi yang dilakukan oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Akibatnya muncullah ilmu Qawa’id dan cabang ilmu lainnya untuk mempelajari bahasa Arab.
4.      Perpustakaan
5.      Bamaristan (Rumah Sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat study kedokteran).
D.    Tokoh/Cendikiawan Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Selama dinasti bani Umayyah memegang kekuasaan di dunia islam, banyak prestasi yang telah diukir oleh para khalifahnya. Selain berprestasi dalam menaklukkan dan memperluas wilayah kekuasaan, ada beberapa khalifah yang tertarik dengan ilmu pengetahuan. Karena ketertarikannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan semaraknya kegiatan dibidang keilmuan. Sehingga muncullah para ilmuwan yang menghasilkan karya sesuai dengan ilmu yang ditekuninya yang sangat bermanfaat bagi peradaban umat manusia.
Diantara tokoh ilmuwan Muslim pada zaman Dinasti Bani Umayyah yaitu sebagai berikut:
1.      Dalam Bidang Ilmu Fiqih
a.       Imam Hanafi
Pendiri madzhab Hanafi diberi gelar “Ahlur Ra’yi” karena ia lebih banyak memakai pemikiran akal dari para ulama. Namun selain itu, ia juga memakai sumber hukum islam yang lain, seperti Al-Qur’an, Hadits, Fatwa Sahabat, Ijma’, Qiyas, Istihsan serta ‘Urf. Diantara karangan beliau diantaranya :
1). Al-Faraid, yaitu kitab yang membahas mengenai waris serta bentuk-bentuk ketentuannya yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.
2). Asy-Syurut, yaitu kitan yang membahas mengenai perjanjian-perjanjian dalam suatu akad atau transaksi.
3). Al-Fiqhul Akbar, yaitu kitab yang membahas mengenai teologi dan ilmu tauhid.
b.      Imam Maliki
Ia merupakan pendiri madzhab Maliki, selain itu ia juga merupakan seorang mujtahid dan ahli dibidang fiqih. Dalam menetapkan sebuah hukum, Imam Maliki menggunakan sumber hukum islam, berupa Al-Qur’an, Hadits, Atsar, Tradisi Masyarakat Madinah, Qiyas, dan Al-Maslahah Al-Mursalah. Kitab yang paling terkenal karangan Imam Malik adalah Al-Muwatta yang merupakan kitab yang mencakup segala hal dalam ilmu fiqih.
2.      Dalam Bidang Tasawuf
a.       Hasan Al-Basri
Ia adalah seorang yang ahli tasawuf. Karirnya sebagai seorang zahid dan ulama yang sangat berpengaruh dimulai di Basrah setelah terjadinya perang Siffin. Inti dari ajaran Hasan Al-Basri adalah Al-Khauf wal Raja’ yakni takut kepada siksaan Allah SWT. Dan berharap akan janji dan balasan kebaikan dari Allah SWT. Dengan ajaran tersebut manusia dapat terhindar dari perbuatan maksiat serta senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
b.      Rab’iah Al-Adawiah
Ia merupakan seorang sufi wanita yang sangat masyhur. Konsep pemikirannya sangat terkenal dan menjadi suatu terobosan sufisme yang sangat monumental. Konsep sufi yang diterapkannya adalah konsep Mahabbah yakni tentang rasa cinta kepada Allah SWT. Konsep tersebut mengajarkan tidak ada sesuatu yang berhak dicintai kecuali Allah SWT. Ibadah yang dilakukan seorang hamba harus didasari kecintaan kepada-Nya agar dalam beribadah disertai dengan rasa senang dan keikhlasan.
3.      Dalam Bidang Ilmu Hadits
a.       Abu Hurairah
Ia termasuk orang yang paling banyak menghafal hadits-hadits rasul. Dari Bu Hurairah banyak sekali hadits yang diterima oleh para tabi’in dan ulama ketika itu untuk dikaji dan dijadikan sebagai dasar hukum.
4.      Dalam Bidang Tafsir
a.       Abdullah bin Abbas
Nama lengkapnya adalah `Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai  Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
b.      Abdullah bin Mas’ud
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajirin Al Badri, pemimpin bani Zuhrah. Dia adalah sosok imam yang memiliki segudang ilmu dan berpemahaman mendalam. Dia termasuk salah sahabat yang pertama kali masuk Islam, penghulu para ulama, pejuang perang Badar, sahabat yang melakukan hijrah dua kali, memperoleh harta rampasan pada waktu perang Yarmuk, memiliki banyak keistimewaan, dan banyak meriwayatkan ilmu.
E.     Peninggalan Dinasti Bani Umayyah
Peninggalan-peninggalan dinasti Bani Umayyah dapat kita lihat dari bangunan-bangunan masjid yang ada sampai saat ini. Salah satu masjid yang terkenal yang dibangun pada masa dinasti banni Umayyah adalah masjid Kubah Batu (Qubbat As-Sakhrah) di Yerussalem. Masjid yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik ini didirikan sebagai pengingat naiknya Nabi Muhammad ke langit pada peristiwa Isra Mi’raj.[5]
Masjid peninggalan dinasti bani Umayyah yang masih bisa disaksikan sampai hari ini adalah masjid Al-Aqsa dan masjid Agung Umayyah yang dibangun pada masa khalifah Al-Walid 1.
Selain membangun masjid-masjid, dinasti bani Umayyah juga banyak meninggalkan bangunan istana dan benteng pertahanan. Bangunan istana pada masa ini mempunyai ciri tersendiri, yaitu bangunan ditengah-tengah gurun pasir yang terasing, tapi sayangnya kini telah banyak yang rusak. Contohnya adalah Qashr Amrah dan Al-Mushatta yang bekasnya masih ada sampai sekarang.
F.      Kekuatan Ekonomi Dinasti Bani Umayyah
Pada masa pemerintahan umayyah berada di tangan Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan, lebih kurang dua belas tahun, kondisi dinasti umayah ini relative stabil. Kondisi ini terjadi, justru karena mendapatkan dukungan al-hajjaj, seorang panglima penakluk mekah yang bertangan besi, memimpin wilayah sebelah timur yang merupakan propinsi yang sangat berbahaya dari segi keamanan.
Dengan adanya kerjasama yang baik antara Abd al-Malik dan al-hajjaj ini menghasilkan pemerintahan yang kuat yang ditandai dengan meningkatkan anggaran pemerintahan untuk berbagai macam pekerjaan umum, diantaranya adalah pembangunan prasarana dan masjid-masjid diberbagai propinsi, dan yang terbesar ialah pembangunan Doem of the rock (Qubbah al-Sahra) di atas masjid al-aqsha di Jerusalem.
Upaya pembangunan prasarana di atas, menjadikan pertanian dapat berkembang dengan pesat hasil uang menonjol seperti gandum, padi, tebu, jeruk, kapas, dan sebagainya. Demikian juga, industri kulit, dan tenun mengalami kemajuan yang cukup bagus. Hasil pertanian dan perindrustrian dipasarkan sampai ke india dan Asia Tenggara.
Pengganti khalifah Abd al-Malik adalah anaknya yang bernama Walid ibn Abd al-Malik, yang mewarisi dua hal penting. Pertama, kekayaan yang melimpah dari hasil berbagai penaklukan. Kedua, mata uang arab yang telah dibakukan. Karena itu, masa pemerintahan Walid ini dipandang sebagai puncak kejayaan dinasti umayah, sedangkan pada masa-masa kekalifahan sesudahnya mulai terlihat tanda-tanda kemerosotan dan hampir tak terlihat lagi peristiwa-peristiwa penting yang dapat dikatakan sebagai kemajuan ekonomi. Di zaman walidlah ekspansi pasukan islam ke wilayah barat dilakukan.
Sumber uang masuk pada zaman daulah umayyah pada umumnya seperti dizaman permulaan islam. Al-Dharaaib yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh warga Negara pada zaman daulah amawiyah ditamabah lagi atas kewajiban dizaman permulaan islam. Kepada penduduk dari negeri-negeri yang baru ditakhlukkan terutama, yang belum masuk islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa. Masharif baitul mal yaitu saluran uang ke luar di zaman daulah umayyah pada umumnya sama seperti perlumaan islam, yaitu: gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha Negara. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terus-menerus, ongkos bagi orang-orang hokum dan tawanan perang, perlengkapan, dan hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama. Kecuali untuk itu para khalifah umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas rahasia, sedangkan gaji tentara di tngkatka sedemikian rupa, demi untuk menjalankan politik tangan besinya.[7]
Diantara langkah yang dilakukan oleh Walid ibn Abd Malik, ia mempergunakan sebagian kekayaan negara untuk membenahi prasarana perkotaan dan pembangunan kesejahteraan sosial lainnya. Ia membenahi jalan-jalan membangun panti-panti untuk penderita penyakit kusta, dan kronis lainnya, membangun rumah sakit, membangun masjid-masjid dan yang terbesar masjid umayah di Damaskus. Sampai saat ini masjid besar dinasti umayah tetap berdiri megah.[8]
G.    Faktor Kemajuan Ekonomi Dinasti Bani Umayyah
1.      Perdagangan
Setalah daulah Umayyah berhasil menguasai wilayah yang cukup luas, maka lalu lintas perdagangan mendapat jaminan yang layak, baik melalui jalan darat maupun laut. Pada jalan darat umat islam mendapatkan keamanan untuk melewati jalan sutra menuju tiongkok guna memperlancar perdagangan sutra, keramik, obat-obatan, dan wangi-wangian. Pada jalur laut kea rah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan. Sehingga dengan demikian basrah di teluk Persia pada saat itu menjadi pelabuhan dagang yang cukup ramai.
2.      Pertanian dan Industri
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembagunan di sector pertanian, beliau telah memperkenalkan sistem irigrasi (pengairan) yang bertujuan meningkatkan hasil pertanian.
3.      Reformasi Fiscal
Selama pemerintahan Umayyah semua pemilik tanah baik yang muslim dan nonmuslim, diwajibkan membayar pajak tanah, sementara itu pajak kepala tidak berlaku lagi bagi penduduk muslim, sehingga banyak penduduk yang masuk islam secara ekonomi hal ini yang melatar belakangi berkurangnya penghasilan Negara. Namun demikian, dengan keberhasilan Umayyah melakukan penaklukan imperium Persia dan Byzantium maka sesungguhnya kemakmuran daulah ini sudah melimpah ruah. Pada masa umar bin abdul aziz, beliau memiliki pandangan bahwa menciptakan kesejahteraan masyarakat bukan dengan cara mengumpulkan pajak sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelum Umar, melainkan dengan mengoptimalkan kekayaan alam yang ada, dan mengelola keuangan Negara dengan efektif dan efisien. Keberhasila dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat inilah yang membuat Umar Bin Abdul Aziz tidak hanya disebut sebagai pemimpin Negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang mampu merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan fiskal pada masa kekhalifahannya.
4.      Pembuatan Mata Uang
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H), beliau membuat kebijakan untu memakai mata uang sendiri. Pemrintah saat itu mendirikan tempat percetakan mata uang di Daar idjard. Mata uang dicetak secara terorganisir dengan control pemerintah, kemudian pada tahun 77H/697M, khalifah Abdul Malik mencetak dinar khusus yang bercorak islam yang khas, berisi teks islam, ditulis dengan tulasan kufi. Gambar-gambar dinar lam diubah dengan lafadz-lafadz islam seperti Allahu Ahad, Allah Baqa’. Sejak saat itulah umat islam memiliki dinar dan dirham islam sebagai mata uangnya dan meninggalkan dinar Bezantium dan dirham Kirsa.[9]



[1] Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 43.
[2] Nurhakim, Sejarah & Peradapan Islam, hlm. 54.
[3] Ibid, hlm. 55.
[4] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hlm.40

[6] Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun, hlm. 67
[7] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, hal 174.
[8] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, hal.81
[9] http://dickwibawa.blogspot.com/2012/02/kemajuan-ekonomi-sosial-dan-kebudayaan.html

Comments

Popular posts from this blog

DINASTI QAJAR (1779-1925)

DINASTI SAFAWIYAH

DINASTI SAMANIYYAH (873-998 M)