Kerajaan DEMAK
A.
Pendidikan Islam Di
Kerajaan Samudra Pasai
Sebagai
kerajaan Islam yang pertama, Samudra Pasai mempunyai peran yang sangat berarti
dalam melakukan proses pendidikan guna tersosialisasikannya ajaran-ajaran islam
sekaligus menginternalisasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam prilaku
masyarakat sehari-hari. Peran itu antara lain berupa dukungan secara resmi oleh
para sultan yang memerintah kerajaan tersebut secara berkesinambungan, bahkan
mereka turut berada di garis depan dalam menimba maupun mengajarkan ilmu-ilmu
keIslaman.[1]
1.
Sekilas tentang Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam Samudra Pasai diperkirakan berdiri pada awal atau pertengahan abad ke-13 M,
yaitu sebagai hasil dari proses islamisasi daerah pantai yang pernah disinggahi
pedagang Muslim sejak abad ke-17 dan ke-18 M, dan seterusnya. Para
ahli sejarah pada umumnya berpendapat bahwa Malik al-Saleh merupakan pendiri
kerajaan Samudra Pasai. Hal yang demikian dapat diketahui melalui tradisi
hikayat raja-raja Pasai, hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas
beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana
Belanda, seperti Snouck Hurgronye, dan sebagainya. Sebelum masuk Islam, Malik
al-Saleh bergelar Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat
pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang kemudian
memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh.[2]
Dari hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama
sebagai pusat kerajaan Samudra Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah
sungai yang cukup panjang dan lebar disepanjang jalur pantai yang memudahkan
perahu-perahu dan kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada
dua kota yang terletak bersebrangan di muara sungai peusangan itu : Pasai dan
Samudra, kota samudra terletak agak lebih kepedalaman, sedangkan kota Pasai
terletak agak lebih ke muara sungai. Di
tempat yang terakhir inilah terdapat beberapa makam raja-raja.
2.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Samudra Pasai
a.
Metode awal Penyiaran Pendidikan Islam
Para
Pedagang Muslim datang ke Nusantara dengan maksud hendak berniaga, namun mereka
tidak lupa memegang Al-Qur’an di tangan kanannya dalam melaksanakan usaha
perniagaan, menyiarkan agama Islam kepada penduduk Negeri. Dengan berangsur
angsur penduduk negeri tertarik kepada Agama Islam, lalu mereka memeluk agama
itu. Sebab itu tidak heran, bahwa agama Islam telah masuk ke daerah Aceh
sebelum abad kedua belas.
Para pedagang Muslim pandai
sekali bergaul dengan penduduk negeri sehingga mereka itu dihormati
dan disayangi oleh penduduk negeri. Terciptalah hubungan yang erat dan
silaturahmi yang kokoh antara kedua belah pihak. Terlebih lagi silaturahmi itu
lebih dipererat lagi dengan perkawinan antar mereka.
Agama islam menyuruh tiap-tiap muslim supaya menyampaikan seruan
Islam kepada siapapun dan dimana saja mereka berada. Penyiaran Islam itu
harus dilakukan dengan cara bijaksana dan
dengan cara yang sebaik-baiknya. Didikan dan Ajaran mereka berikan dengan
perbuatan, dengan contoh suri tauladan. Mereka berlaku sopan santun, ramah
tamah, tulus ikhlas, menepati janji, amanah dan menjaga kepercayaan pengasih
dan pemurah serta menghaormati adat istiadat negeri. Singaktnya, mereka berbudi
pekerti yang tinggi dan berakhlak mulia. Semua itu berdasarkan cinta dan taat
kepada Allah sesuai dengan didikan dan ajaran Islam.
Dengan mengadakan pendekatan langsung kepada pemimpin masyarakat/
kepala suku yang dilakukan oleh Syekh Ismail seorang da’I yang diutus
langsung oleh Syarif penguasa Makkah. Melalui Merah Silu yang kemudian setelah ia
beragama Islam bernama Malik al Saleh inilah Islam mulai berkembang pesat di
Samudra Pasai.
b.
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan pada zaman Samudra Pasai tentu tidak sebagaimana
yang berlaku pada zaman seperti sekarang ini. Sistem
pendidikan yang berlaku pada saat itu
lebih bersifat informal, yang berbentuk Majlis taklim dan Halaqah.Namun
hanya saja komponen-komponen yang ada pada saat kerajaan Samudra Pasai waktu
itu, tidak jauh berbeda dengan komponen-komponen pendidikan yang ada pada saat
ini. Komponen-komponen pendidikan tersebut adalah sebagi berikut:
1)
Pendidikan dan Peserta Didik
Pada saat itu yang menjadi pendidik atau guru adalah para saudagar
yang sekaligus merangkap sebagai da’I yang berasal dari Gujarat dan Timur Tengah.
Meraka antara lain adalah Syekh Ismail dan Syekh Sayid Abdul Aziz. Begitupun
para Sultan kerajaan Samudra Pasai, mereka ikut mengajarkan dan menyebarkan
ajaran islam kepada segenap rakyatnya.
Adapun peserta didik pada saat itu adalah dari semua usia atau tidak terbatas usia, dari segala usia yakni mulai dari anak-anak
hingga dewasa (usia lanjut). Tidak terbatas
pada kalangan tertentu, melainkan dari berbagai kalangan, mulai rakyat biasa/
jelata sampai dengan para sultan atau raja.
2)
Materi Pendidikan
Materi pendidikan yang pertama kali diberikan kepada para peserta
didik adalah “Dua kalimat Syahadat.” Ucapan itu dilakukan dengan
bahasanya sendiri. Setelah mereka mengucapkan Dua kalimah Syahadat atau mereka telah masuk Islam, barulah mereka
diberikan pelajaran ketingkat selanjutnya, yaitu : membaca Al-Qur’an, cara
melaksanakan Shalat, dan terus sampai pada tingkat yang lebih tinggi. Setelah
pelajaran sebelumnya mereka kuasai mereka melanjutkannya ke pengajaran
kitab-kitab Fiqh yang bermazhab Syafi’I, seperti : taqrib, Sulam Taufiq
bahkan ada pengkajian kitab-kitab
yang lebih tinggi tingkatannya. Setelah mereka melakukan shalat jumat mereka
mengkaji kitab kitab Ihya Ulumuddin, Al Um dan lain-lain. Sedangkan
materi Al-Qur’an untuk yang sudah bisa membaca huruf Arab berupa
pengajian Tafsir Jalalain.
Selain materi di atas, sudah barang tentu para Syekh mengajarkan
tentang Aqidah dan Akhlak, dimana mereka tidak hanya mengajarkan dalam bentuk
lisan tetapi juga memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga apa
yang mereka teladani dalam kehidpuan pergaulan sehari-hari , sehingga apa yang
mereka sampaikan benar-benar mengena dan langsung dipraktekkan pula oleh para
pengikutnya, yakni kaum muslimin di Kerajaan Pasai.
3)
Tujuan Pendidikan
Pendidikan pada saat itu adalah untuk menuntut ilmu sehingga dapat
memahami,
menguasi, dan mengamalkan ajaran Islam yang telah diperoleh dari sang guru.
Lebih dari itu, mengembangkan ajaran Islam tanpa pamrih.
4)
Biaya Pendidikan
Pendidik dan terdidik bukanlah materi melainkan mereka belajar dan
mengajar semata-mata ikhlas karena ingin mendapatkan Ridha dari Allah SWT.
Kendatipun demikian, masyarakat setempat memahami dan mengerti akan
kebutuhan-kebutuhan para Syekh notabenenya adalah manusia yang tetap
membutuhkan makan dan minum serta tempat untuk berteduh. Oleh karena itu secara
sukarela masyarakat memberikan berbagai macam hadiah atau pemberian kepada sang
guru, terutama dala bentuk hasil pertanian, jamu-jamuan dan sebaginya. Yang
lebih penting lagi adalah bahwa pendidikan pada saat itu dibiayai oleh
Negara/kerajaan, sehingga masayarakat secara resmi tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk membayar guru.
5)
Waktu dan Tempat belajar
a)
Tempat Belajar
Secara
Umum Islam pada saat itu menyiarkan ajaran Agama Islam dimana saja mereka berada, seperti di pinggir kali sambil menunggu perahu penganggkut barang, di
perjamuan diwaktu kenduri, di padang rumput tempat gembala ternak ditempat
penimbunan barang dagangan, di pasar-pasar tempat jual beli dan lain-lain.
Adapun
secara Khusus, tempat-tempat pembelajaran di berikan di rumah-rumah, masjid,
surau, rangkang, dan pendopo istana.
b)
Waktu Belajar
Waktu
yang digunakan untuk mempelajari dan mengajarkan pendidikan sesungguhnya tidak
mengikat, karena pendidikan dapat berjalan kapan saja dan
dimana saja, pendidikan dapat berjalan pada pagi hari, siang hari, sore hari
dan malam hari.
Namun
dikalangan lingkungan Kesultanan ,
waktu-waktu belajar dapat dilakukan sebagai berikut:
Ø Siang hari,
khususnya setelah shalat jumat
Ø Sore hari
(Ba’Ashar)
Ø Malam hari
(Ba’da Maghrib/Isya)[3]
B.
Pendidikan Islam Di
Kerajaan Demak
Di daerah jawa, kerajaan Demak memiliki peranan sangat penting
dalam proses pendidikan Islam. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di
jawa yang berdiri ditengah masyarakat yang sebelumnya sudah berada dibawah
pengaruh hindu majapahit. Pendidikan Islam di Demak juga disebarkan oleh
guru-guru agama yang sudah dipersiapkan menjadi pengajar ilmu Agama Islam, baik
yang berasal dari daerah lain maupun orang Islam lokal
yang sudah dikader. Yang sangat menonjol, penyebaran pendidikan Islam di daerah
Demak ini diperankan oleh para wali yang kemudian disebut dengan Walisongo.
1.
Sekilas tentang kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di jawa dan ketiga
di Nusantara setelah Samudra Pasai dan Peureulak. Sebelumnya, daerah Demak
berada di bawah kerajaan Majapahit yang menganut
Agama Hindu. Namun kemudian, Raden Fatah sebagai Adipatinya memisahkan diri
seiring dengan melemahnya kerajaan Majapahit. Majapahit sendiri di taklukan
oleh Demak baru pada tahun 1527 di bawah kekuasaan Sultan Trenggono. Pada
awalnya, Demak merupakan daerah yang sepi karena jauh dari pusat kekuasaan,
tetapi setelah menjadi pusat kerajaan Demak praktis menjadi ramai. Kerajaan
Demak merupakan peralihan priode sejarah dari masa kejayaan Majapahit ke masa
kejayaan Demak sekaligus menandai berkembangnya kerajaan dan penyebaran Islam
di jawa. Wilayah kekuasaan Demak terbentang dari ujung Barat pulau Jawa yaitu
banten sampai bagian timur yaitu Gresik. Kerajaan demak meliputi seluruh
wilayah jawa Barat, Jawa tengah, dan jawa Timur. Pendidikan Islam pun
berlangsung di seluruh wilayah ini terutama daerah-daerah pesisir Utara.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah,
seorang yang pernah belajar Agama Islam kepada Sunan Ampel. Kerajaan ini hanya
berumur setengah abad, yaitu 1500-1550 M. secara berturut-turut, kerajaan Demak
dikuasai oleh Raden Fatah sebagai Raja Pertama (1500-1518 M), Fatih
Unus sebagai Raja Kedua (1518-1524 M), dan terakhir Sultan
Trenggono (1524-1546). Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, Raden Fatah
lebih banyak memiliki kiprah dibidang ini disbanding kedua raja setelahnya.
Raden Fatah sendiri sudah menjadi santri
kepercayaan sunan Ampel sebelum mendirikan kerajaan.
2.
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Demak
a). Awal
Penyebaran Pendidikan Islam
Pada masa awal penyebaran Islam diwilayah kekuasaan Demak yaitu di
akhir abad ke 15, kondisi masyarakat jawa pada umumnya sedang dalam keadaan
buruk seiring dengan melemahnya situasi sosial politik dan ekonomi
kerajaan-kerajaan yang berkuasa saat itu.
Kekuasaan Majapahit yang menguasai jawa sudah diambang kehancuran
ketika penyebaran Islam mulai tumbuh. Seraya dengan ini, para pedagang Islam
dan Guru-guru Agama berdatangan dari berbagai daerah lain. Pendidikan Islam
mulai memainkan perannya. Mula-mula, pendidikan islam disampaikan oleh para
saudagar kepada orang orang terdekat mereka seperti sesama pedagang, pekerja,
kerabat, dan lain-lain. Sementara, para guru mulai membentuk kelompok pengajian
di tempatnya masing-masing. Kondisi Majapahit yang sudah mundur itu tentu
membantu percepatan diterimanya ajaran yang baru ini.
Selain itu, dari sudut ekonomi para saudagar sangat kondusif untuk
mengajarkan Islam kepada masyarakat karena meraka berada pada kondisi kehidupan
ekonomi yang lebih mapan, sedangkan masyarakat saat itu mudah menaati orang
yang status sosialnya tinggi. Guru-guru Agama yang datangpun juga merupakan
orang-orang kelas menengah karena selain berdagang, sebagian mereka juga adalah
para keturunan bangsawan.
Pada masa ini yang menjadi muridpun masih terbatas pada golongan
menengah, pedagang dan para buruh di
Bandar-bandar. Mereka sangat tertarik dengan ajaran Islam karena ajarannya yang
tidak mengakui adanya perbedaan keturunan, golongan, dan suku antar para
pemeluknya.
b.) Masa Perkembangan
1.)
Tokoh Pendidikan
Berdirinya kerajaan Demak seiring dengan munculnya para wali yang
disebut Wali Songo. Mereka hidup pada zaman pemerintahan Demak atau berdekatan
zamannya dengan zaman kerajaan Demak. Perkembangan pendidikan Islam kerajaan
Demak pun tidak
terlepas dari kiprah para Wali tersebut. Hanya Wali pertama yaitu Maulana Malik
Ibrahim atau diekanl dengan Sunan Gresik yang masa hidupnya jauh sebelum
berdiri kerajaan Demak. Ia meninggal pada tahun 1419 M. meski demikian, Maulana
Malik Ibrahim pun ikut meletakan pondasi-pondasi pendidikan Islam di Demak
dengan mempersiapkan beberapa muridnya yang akan melanjutkan perjuanagnnya.
Salah satu murid yang ia persiapkan yang juga anaknya adalah sunan Ampel. Sunan
Ampel
selanjutnya menyampaikan ilmunya lagi kepada wali-wali lainnya.[4]
Memang antara kerajaan Demak dengan wali-wali
yang sembilan atau Walisongo terjalin hubungan yang bersifat khusus, yang boleh
dikatakan semacam hubungan timbal-balik, dimana sangatlah besar peranan para
Walisongo di bidang dakwah Islam, dan juga Raden Fatah sendiri menjadi raja
adalah atas keputusan para wali dan dalam hal ini para wali tersebut juga
sebagai penasihat dan pembantu raja.[5]
Jumlah para wali di jawa tidak dapat dihitung
secara pasti, tetapi secara Global dapat di bedakan kedalam dua kategori, yaitu
Pertama yang termasuk walisongo dan Kedua yang tidak termasuk walisongo.
Selain walisongo, tidak ada rincian yang pasti siapa saja yang terkategori
wali. Kesembilan wali yang termasuk walisanga adalah :
·
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Wafat di Gesik pada tahun
1419 M
·
Suan Ampel, wafat di
Surabaya pada tahun 1481 M,
·
Sunan Giri, wafat di Gresik pada awal abad 16 M,
·
Sunan Bonang, wafat di Tuban tahun 1525 M
·
Sunan Drajat, wafat di Gresik pada pertengahan abad 16 M
·
Sunan Kudus, wafat di Kudus pada tahun 1550 M,
·
Sunan Kalijaga, Wafat di Demak pada pertengahan abad 16 M
·
Sunan Muria, wafat di Jepara pada abad 16 M
·
Sunan Gunung Jati, Wafat di Cirebon pada tahun 1570 M
Dukungan pemerintah juga dibuktikan dengan adanya pembangunan pusat
pendidikan (sekarang dikenal dengan nama Pesantren). Pesantren Gelagah Arum dan
Pusat Dakwah Islam bernama Bhayangkare Islam yang berdiri di Demak saat itu,
misalnya, juga dibangun atas prakarsa Raden Fatah.
2). Sarana Pendidikan
Dalam
melakukan tugas pendidikan Islam kepada masyarakat, para wali menggunakan
masjid sebagai sarana pengembangan pendidikan Islam. Masjid Agung Demak adalah
masjid Agung tertua di Demak yang menjadi pusat
dan lanmbang Kerajaan. Selain sebagai tempat ibadah, masjid Agung Demak juga
digunakan sebagai pusat bertukar pikiran dan sarana Pendidikan Islam.
Sistem pelaksanaan pendidikan agama Islam yang terpusat dimasjid
mempunyai kemiripan dengan sistem pendidikan
yang dilaksanakan di aceh. Masjid di kedua tempat ini biasanya didirikan di
tempat yang menjadi sentral daerah tersebut. Dipusat kerajaan, letak masjid
tidak jauh dari istana. Keberadaan masjid yang tidak jauh dari isatana dan
dijadikannya sebagai pusat pendidikan Islam adalah sebuah Implementasi tanggung
jawab pihak kerajaan terhadap usrusan-urusan Agama. Tampaknya, hal ini pulalah
yang terjadi di Demak.
Di Demak, pendidikan Agama
diadakan di Masjid-masjid umum selain di Masjid Agung. Masjid-masjid ini
dipimpin oleh seorang badal yang ditugaskan kerajaan. Badal kemudian digelari
Kyai Ageng yang bertugas menjadi seorang guru.
C.
Pendidikan Islam Di
Kerajaan Pajang 1546-1582
Pajang adalah sebagai
kelanjutan dari kerajaan Demak. Usia kesultanan ini tidak panjang kekuasaan dan
kebesarannya kemudian di ambil alih oleh krajaan Mataram. Sultan atau raja
pertama kerajaan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging di Lereng
Gunung Merapi, sebelah Tenggara, termasuk daerah aliran Bengawan Solo.
1.
Pendidikan Islam di Kerajaan pajang
Selama
pemerintahan Sultan Adiwijaya, kesusastraan dan kesenian kraton yang sudah maju
di Demak dan jepara, lambat laun dikenal di pedalaman Jawa. Kitab-kitab yang
dipelajari pada masa kerajaan pajang tidak jauh berbeda dengan apa yang
dipelajari pada masa kerajaan Demak, diantaranya adalah; Kitab Usul Bis
yaitu terdiri dari 6 jilid yang berisi 6 Bismillahirrahmanirrahim karangan
ulama Samar Kandi, yang tidak kalah pentingnya adalah kitab yang lain,
yaitu Tafsir Jalalain, karangan Syekh
Jalaludin Al Mahalli dan Jalaludin Ashshuyuti. Kitab yang lain
yaitu Primbon berisi
catatan-catatan tentang berbagai macam ilmu agama, macam-macam doa dan
juga tentang berbagai macam ilmu tentang
obat-obatan, ilmu-ilmu gaib, dan sebagainya. Dalam kitab itu disebutkan bahwa
sebagaimana wejangan-wejangan sunan ini dan sebagainya. Selain dari pada itu,
ada juga kitab-kitab yang berhungan dengan Suluk, Suluk Sunan Bonang, Suluk
Suanan Kalijaga, Wasita Jati Sunan, Gesing, dan lain-lain. Semua itu dalam
bentuk diktat sebagai ajaran pendidikan mistik atau tasawuf Islam dari
masing-masing sunan yang ditulis dengan tangan.
Yang
cukup menarik bahwa primbon atau suluk biasanya disebut di dalamnya itu adanya
batasan-batasan
terlarang bagi yang tidak berhak menjadi murid dan bagi sembarang orang.
2.
Sistem pendidikan
Sistem
pendidikan Islam pada saat itu adalah sangat
sederhana, dan pendidikan kala itu mencontoh Rasullullah saw., yaitu dengan
cara yang sangat mudah, tidak sempit, tidak banyak taklif, dan secara
berangsur-angsur dalam menjalankan hukum dan syariat. Yang tidak kalah penting
selain itu adalah dengan memperlihatkan contoh-contoh atau teladan yang baik
dalam perangai dan perbuatannya yang nyata.
Pelajaran
yang diberikan kepada para santri adalah tentang pokok-pokok ajaran Islam dalam
berbagai macamnya, lebih utama dipentingkan adalah berhubungan dengan
pengetahuan Bahasa,(ilmu saraf dan lain-lai), yang berhubunagn dengan ilmu
syariat sehari-hari seperti ilmu fiqh, (baik ibadat maupun muamalatnya) dan
tentang Al-Qur’an dan hadits, seperti tafsir-tafsirnya ilmu kalam (tauhid) yang
biasanya
termasuk pelajaran yang tinggi. Sedangkan pengajaran tentang ilmu akhlak, suluk
dan tasawuf merupakan pelajaran yang tingkat lanjutan. Kitab-kitab yang lazim
dipakai dipondok pesantren setelah masa para wali adalah : kitab kitab terbitan
abad pertengahan antara abad 12 sampai
15.
3.
Metode Pengajaran
Ø Wetonan, yaitu para santri mengikuti pelajaran di
sekeliling kiyai dengan cara menyimak kitab masing-masing, dinamakan wetonan
karena dilakukan pada waktu-waktu tertentu
Ø Sorogan, semacam Tutorship atau menthorship
sekarang. Dinamakan sorogan karena berarti menyodorkan kepada guru, guru
membaca dan menterjemahkan, dan menerangkan satu-persatu dengan cara
perseorangan. Inilah yang paling intensif.
Adapun bentuk pondok pesantren yang diselenggaraakan ada
beberapa tingkatan:
Ø Tingkatan
Pengajian Al-Qur’an diselenggarakan di setiap desa oleh mudin meliputi huruf hijaiyyah, berzanji,
rukun Islam, dan rukun Iman
Ø Tingkat
Pengajian Kitab, yaitu mereka yang telah hatam Al-Qur’an belajar kepada kiyai Anom di
serambi Masjid sistem ini digunakan sistem sorogan
Ø Tingkat
Pesantren Besar, yaitu tingkat pondok yang tergolong tingkat tinggi dengan guru yang
diberi gelar kiyai sepuh dengan tingkat kedudukan sama dengan penghulu, pelajaran
yang diberikan berbentuk Syarah dan hasiah dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti; Fiqh,Tafsir, Hadits, ilmu Kalam, Tasawuf, Nahwu, Sharaf,
dan lain-lain
Ø Tingkat
Tahassus,atau keahlian,
sifatnya memperdalam cabang ilmu pendidikan agama seperti: hadits, tafsir,
tariqat, dan sebagainya.
4.
Metode Pembelajaran
Baik subyek persoalan maupun cara mengajarnya pesantren
jawa menggunakan tekanan yang diarahkan pada hafalan dan pengulanagn teks-teks
Arab dan penghormatan wali-wali muslim, yang kebanyakan mereka merupakan tokoh
asli lokal.[6]
D.
Pendidikan Islam Di Kerajaan Banjar sekitar
abad ke-18 M
1. Sekilas tentang Kerajaan banjar
Banjarmasin merupakan salah satu bandar teramai di
Kalimantan bagian Selatan yang merupakan bagian dari kerajaan Hindu Daha.
Daerah ini seringkali didatangi oleh para pedagang dari berbagai wilayah
Nusntara lainnya seperti: Aceh, Melayu, Bugis, Jawa dan bahkan dari mancanegara
seperti: Portugis, Spanyol, Persia, India, dan Arab Saudi. Saat itulah para
pedagang berinteraksi langsung, bahkan ada yang menetap, serta kawin dengan
penduduk setempat.
Islam mulai menjadi agama resmi di Kerajaan Banjar pada
tahun 1526 M, ketika kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Pangeran
Samudra. Berdasarkan riwayat yang ada pangeran Samudra berhasil melakukan
kudeta terhadap pangeran Tumenggung yang beragama Hindu berkat dukungan para
petinggi kerajaan seperti Patih Masih dan Menteri-menterinya serta bantuan armada laut dari Demak dan
bantuan dari santri Tuban. Sejak saat itu pusat kerajaan dipindahkan dari Daha
di Muara Bahan ke Banjar. [7]
Sesudah kerajaan islam Banjar berdiri di bawah pimpinan
sultan suriansyah, sebagai kerajaan Islam pertama di Kalimantan, maka
perkembangan Islam makin maju, Mesjid-mesjid dibangun hampir di setiap desa.
Perkembangan yang sangat menggembirakan , pada tahun 1710
M (tepatnya 13 Shafar 1122 H) di zaman kerajaan Islam Banjar ke-7 pemerintahan
Sultan Tahmilillah (1700-1748) telah lahir seorang ulama terkenal kemudiannya,
yaitu Syekh Muhammad Arsyad al Banjary di desa Kalampayan Martapura.
Syekh
Muhammad yang sejak kecil diasuh oleh Sultan Tahmilillah ini cukup lama
berstudi/belajar di Mekkah yaitu sekitar 30 tahun. Sehingga pada gilirannya
beliau tekenal keulamaannya dan kedalam ilmunya bukan hanya di kalimantan tapi
juga kemancanegara khususnya di Asia Tenggara.
Syekh Muhammad Arsyad banyak mengarang
kitab-kitab agama, di antaranya yang paling terkenal smapai sekarang adalah kitab
Sabitul Muhtadin. Syekh Muhammad Arsyad juga berjasa besar dalam mendirikan
Pondok Pesantren di kampung Dalam Pagar, yang sampai sekarang terkenal dengan
Pesantren Darussalamnya. sistem pengajian kitab di pesantren Banjarmasin tidak
jauh berbeda dengan sistem pengajian di Pesantern jawa ataupun sumatra, yaitu
dengan menggunakan sistem halaqah.
Ketika pemerintahan kolonial Belanda,
menancapnkan kekuasaannya di daerah Banjar, atas pimpinan seorang ulama besar
Pangeran Antasari, meletuslah perang Banjar yang terkanal. Sejak tanggal 28
April 1859, perang tersebut berlangsung lebih dari 40 tahun lamanya, dan baru
mereda perlawanan orang-orang Banjar tersebut setelah wafatnya Pageran
Antasari.[8]
2.
Pendidikan Islam di Kerajaan Banjar
Praktek pengajaran Islam hanya berkisar
mengenai cara membaca huruf Arab, yang sudah dipakai sebagai abad penulisan
resmi kerajaan. Sebelumnya pendidikan Islam dilakukan dengan cara yang tidak
terorganisir. Pendidikan agama hanya dilakukan oleh orang perorangan secara
dangkal.
Sekembalinya ke Banjar Syekh Arsyad melakukan
perombakan Agama Besar-besaran. Yang pertama-tama ia lakukan adalah membuka
pengajian-pengajian di kampungnya. Mengingat ia sudah dianggap sebagai keluarga
bangsawan karena pernikahannya dengan putri Aminah, ia menadapat sebidang tanah
dari sultan yang ia gunakan sebagai perkampungan dan pusat pendidikan keagamaan
yang lokasinya di pinggiran sungai Martapura. Dari sanalah usaha Dakwah Islam
disebarluaskan. Untuk dapat terlaksananya pendidikan secara intensif dan
efektif, maka lokasinya diberi pagar agar dapat mempermudah pengawasan murid
yang masuk dan keluar. Sampai sekarang, lokasi ini disebut dengan perkampungan
“Dalam Pagar”.
Usaha-usaha dalam pendidikan yang dilakukan
bukan hanya sebatas pada murid-muridnya yang ada di “Dalam Pagar” saja, tetapi juga pada semua
lapisan masyarakat, baik dikalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Baik kota
maupun desa bahkan Sultan Tamjidillah
sendiri mengaku sebagai Muridnya.
Sistem yang dipakai saat itu ialah dengan cara
“Kaji Duduk”, suatu sistem mengajar dimana murid-murid duduk bersila mengitari
guru tanpa menggunakan kursi sebagai sarana belajar. Sarana pendidikan lainnya
adalah dengan menggunakan kitab-kitab yang ia tulis dalam bahasa Melayu maupun
bahasa Arab, sehingga dijadikan pegangan rakyat.
Kitab-kitab yang ia tulis diantaranya: Ushuluddin,
Tuhfat Al-Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman al-mu’min wama Yufsiduhu min Riddat
al-murtadin, Sabil al Mutadin li al-Tahafuni fi al-Din al-Mahdi al-Mutazhar,
Kitab Nikah, fatawa Sulaiman al-Kurdi, Mushaf Al-Qur’an.[9]
E. Pendidikan
Islam di Kerajaan Wajo
1.
Sekilas tentang Kerajaan Wajo
Raja Wajo (Arung Matoa Wajo) yang pertama
memeluk Agama Islam adalah La Sangkuru’
Mualalaji. Setelah menerima Islam, diganti namanya dengan La Sangkuru’ Patau Sultan
Abdurraahman. Setelah Wajo menerima Islam, maka raja Gowa mengirim Khitab
Sulung, Dato’ Sulaiman ke Wajo untuk mengajarkan kepada orang Wajo dasar-dasar
etika ajaran Islam. Lontara wajo mencatat bahwa adapun yang menjadi tekanan
ajaran agama Islam yang dikembangkan oleh Dato’ Sulaiman adalah sebagai
berikut:
a.
Tekanan keimanan Kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Tentang Larangan-larangan, Disebut:
Ø Dilarang mapping Rakka’ (memberikan sesajen
kepada siapapun seperti kepada setan dan jin atau benda pujaan lainnya )
Ø Dilarang mammanung’ manu’ (Bertenung tentang
alamat baik dan buruk untuk melakukan sesuatu pekerjaan)
Ø Dilarang Mappoli –Bea (bertenung untuk
mengetahui nasib)
Ø Dilarang Mappakkere’ (Mempercayai bahwa
sesuatu benda itu keramat)
Ø Dilarang Makan Cammugu-mugu (Babi)
Ø Dilarang Minum Pakkunese (Minuman Keras)
2.
Pendidikan Islam di kerajaan Wajo
a. Manhaj
Pendidikan Islam Di Wajo
Semenjak penguasa Wajo sudah menerima Islam
sebagai ajaran resmi diwilayahnya, maka melalui perlindungan raja, agama Islam
disebarkan kedalam masyarakat oleh para Ulama dan Mubaligh sampai ke pedalaman.
Segera pula dibentuk Pawera Sara’ (Pejabat Kerajaan) untuk mengurus
masalah Keagamaan masyarakat, termasuk juga dalam hal pendidikan. Pendidikan
Agama masa itu masih berkisar pada lingkungan keluarga. Seorang Anregurruta (Ulama
dan Mubaligh) menyiapkan waktu dirumahnya mengajar anak-anak dan para remaja.
Mula-mula diajar membaca Al-Qur’an sedang orang dewasa diajar Pengetahuan Agama
dengan cara Dakwah di rumah Ulma pula. Penduduk yang berdiam disekitar rumah Anregurrutta
biasanya datang untuk Shalat (waktu Ashar atau Maghrib) di rumah Anregurrutta.
Pada saat selesai shalat, Anregurrutta menyampaikan Nasehat
keagamaan yang berkisar pada masalah rukun Islam dan rukun Iman.
Ada dua cara
yang paling umum dalam jenjang pendidikan di Kerajaan Wajo, yaitu:
1
Untuk pendidikan dasar agama (mengaji Al-Qur’an, belajar
shalat dan sebaginya) bagi anak-anak. Mereka mengunjungi guru-guru mengaji yang
biasanya dilakukan dimasjid-masjid atau rumah guru mengaji. Guru-guru itu pada
umumnya adalah juga Pawera sara’, yaitu Imam, Khotib dan lainnya.
2
Untuk pendidikan lanjutan Agama bagi para pemuda atau
sudah dianggap cukup pemahamannya oleh gurunya, mereka mengunjungi ulama
tertentu yang memberikan pendidikan itu. Ditempat kediaman ulama tersebut, biasanya
berkumpul puluhan pemuda yang mengikuti pengajian. Pengajian cara ini dikenal
dengan istilah Bugis, Makassar dan Mandar adalah “Pengajian Kitta” , dan pada
tempat tempat pengajian terkenal, murid-muridnya disebut Santari. Maka
santari itu berdiam dalam pondokan yang dibangun disekitar rumah tempat
kediaman ulama atau guru tersebut. Pengajian pendidikan ini bersifat gratis,
tetapi para santri hanya cukup membantu dengan menggarap sawah atau kebun
gurunya. Bahkan ada juga, secara rutin para santri ini datang kerumah dengan
membawa hasil perkebunannya di kampungnya dan sebagainya.
3
Disamping hal di atas ada juga bentuk atau jenjang
pendidikan lain, yaitu untuk keluarga Bangsawan dan hartawan atau mereka
sendiri maka para guru atau ulama diundang datang kerumah untuk diajarkan secara
khusus.[10]
[1] Suwito,Fauzan, Perkembangan
Pendidikan Islam di Nusantara, Cet ke-1,(Bandung: Angkasa Bandung, 2005),
hal.1
[3] Suwito,Fauzan, Perkembangan
Pendidikan Islam di Nusantara, Cet ke-1,(Bandung: Angkasa Bandung, 2005),
hal.6-16
[5] Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,1985), hal.14
[8] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan di Indonesia : Lintasan Sejarah Petumbyhan dan Perkembangannya, Cet
ke-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal.38-39
Comments
Post a Comment