KERAJAAN JOHOR (1528 M)

A.   Sejarah Lahirnya Kerajaan Johor
Kemaharajaan Melayu Berpusat di Johor
Tidak lama setelah dilantik menggantikan ayahandanya, Sultan Alauddin Riayat Syah II menikah dengan putri Raja Pahang bernama Raja Kesuma Dewi. Atas alasan itu beliau kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Kampar ke Pahang. Di Kampar dipimpin oleh seorang adipati. Dari Pahang sultan dan permaisuri diiringi bendahara, laksamana dan segenap pembesar kerajaan yang dibawa dari Kampar, kemudian membuka negeri baru di kuala Sungai Johor. Sultan menugaskan Sri Nara Diraja bekerja sama dengan rakyat setempat membangun pemukiman dan istana di kawasan itu, sekaligus menata benteng pertahanan atau Kota Parit, mulai dari hilir sungai Serting sampai ke hulu sungai Johor.
Semenjak Sultan Alauddin Riayat Syah II membuka negeri sekaligus pusat pemerintahan di kawasan Johor, orang-orang pun berdatangan membangun pemukiman dan menetap di kawasan itu. Penduduk terus bertambah dan semakin ramai. Mulai dari bukit Piatu di hulu sungai Johor, sampai ke Beladong di bagian hilir, berderet kampung-kampung orang Melayu. Lalu disana tumbuh kedai-kedai dan pekan atau pasar. Kelak disebut orang Pekantua. Dengan demikian ada dua daerah bernama Pekantua, yaitu di Johor dan Kampar. Sejak saat itu Kemaharajaan Melayu berpusat di Johor. Johor berasal dari bahasa Arab “Jauhar” yang artinya permata, Negeri Permata.
Istilah Kemaharajaan Melayu yang digunakan dalam buku Sejarah Melayu (Ahmad Dahlan: 2015)  untuk menyebut bekas wilayah Kemaharajaan Melayu Melaka dan seluruh daerah taklukannya yang dipersatukan kembali oleh Sultan Mahmud Syah I pasca jatuhnya kota Melaka ke tangan Portugis pada 1511 M. Pemerintahan Sultan Mahmud Syah I selama berjuang selepas jatuhnya Melaka merupakan embrio Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Johor, sehingga sultan ini diposisikan sebagai sultan yang pertama.
Gelar-gelar sultan dalam Kemaharajaan Melayu yang kelak meliputi Johor, Riau, Pahang, dan Lingga serta seluruh daerah taklukannya banyak diambil dari gelar-gelar sultan yang memerintah Kemaharajaan Melayu Melaka sebelumnya. Sehingga kemudian diberi nomor urut apabila gelar itu sama.
Para sultan yang memerintah Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Johor adalah keturunan para sultan yang memerintah Kerajaan Melayu Melaka, sebagaimana juga para sultan yang memerintah Kemaharajaan Melayu Melaka merupakan keturunan para raja yang memerintah Kerajaan Melayu Singapura. Dan semuanya berasal dari Sang Purba, raja Melayu yang turun di bukit Siguntang, Palembang.
Selama Kemaharajaan Melayu di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah II, peperangan dengan Portugis dan Aceh sangat menyita waktu dan energi, termasuk untuk melindungi kerajaan-kerajaan taklukan seperti Kerajaan Aru. Pada 1564 kerajaan Aceh kembali menyerang Aru dan dapat merebutnya. Setelah menaklukkan Aru pasukan Aceh menyerang Johor dan menghancurkan pusat kerajaan serta menangkap Sultan Alauddin Riayat Syah II lalu membawanya ke Aceh. Di sanalah beliau mangkat dengan gelar Posthumous Marhum Sahid di Aceh. Beliau memerintah Kemaharajaan Melayu selama 36 tahun.
Dari Johor Lama ke Seluyut
Sepeninggal Sultan Alauddin Riayat Syah II, selain pengaruh Portugis sudah sampai ke Johor--bahkan Inggris dan Belanda--juga pengaruh Aceh semakin kuat. Pusat kerajaan pun sering berpindah-pindah. Dan para sultan yang mengenakan mahkota kerajaan tidak semuanya murni keturunan para sultan Kemaharajaan Melayu Melaka yang berasal dari Sang Sapurba.
Menggantikan Sultan Alauddin Riayat Syah II naik takhta anak beliau, Raja Muzaffar yang berusia 19 tahun dengan gelar Sultan Muzaffar Syah II. Sekitar setahun memerintah di Johor Lama, sultan kemudian membuka negeri di Seluyut atau disebut juga Kota Batu. Kota berarti benteng. Benteng batu sepanjang 270 meter dilengkapi parit, dibangun untuk menahan serangan musuh. Tak jauh dari benteng, bukit Seluyut terlihat jelas, cocok sebagai tempat untuk memantau kedatangan musuh yang datang dari jauh. Di bawahnya bertemu tiga batang sungai, yaitu sungai Johor, Medina, dan Seluyut. Setelah negeri itu dibuka sultan, dari Kuala Seluyut sampai ke Padang Riangriang penuh dengan pasar. Negeri amat ramai dan penduduknya sejahtera. Perdagangan pun kian maju.
Mesti usianya masih muda, sejarah mencatat, Sultan Muzaffar Syah II sudah matang dalam memimpin dan sangat memperhatikan rakyatnya serta hormat kepada seniornya di kalangan istana. Kepiawannya dalan menjalin kerja sama dengan pemuka istana yang tua-tua dan berpengalaman, dicatat sebagai faktor penting keberhasilannya membawa kerajaan kian berkembang.
Di ujung masa pemeritahan Sultan Muzaffar Syah II, tepatnya tahun 1571, Aceh datang lagi menyerang Johor sekaligus meluas ke Melaka dan Perak. Tapi Aceh hanya dapat merebut Perak dan menanamkan pengaruhnya disana sampai 100 tahun ke depan. Sultan Muzaffar Syah memerintah hanya 7 tahun. Setelah wafat beliau dimakamkan di Bukit Seluyut dan disebut Marhum Mangkat di Seluyut.
Sebagai penggantinya naik takhta Sultan Abdul Jalil Syah I, putra angkat beliau, kemenakannya sendiri, anak adiknya Raja Fatimah yang menikah dengan Raja Umar dari Pahang. Sultan Abdul Jalil Syah I kala itu baru berumur 9 tahun dan sering sakit-sakitan. Sebagai wali yang melaksanakan roda pemerintahan dipangku ayahnya Raja Umar. Semasa hidupnya yang selalu sakit-sakitan, sultan berwasiat kalau dirinya meninggal kelak sebagai penggantinya haruslah Raja Abdullah. Sultan berteman karib dengan Raja Abdullah yang tak lain adalah anak kandung Sultan Muzaffar Syah II, hasil perkawinannya dengan putri Sri Nara Diraja Pahang yang ketika dinikahinya sudah menjadi janda Raja Umar.
Dari perkawinannya dengan Tun Mas Jiwa, anak Tun Hasan Temenggung, Sultan Muzaffar Syah tidak memiliki anak. Putranya dengan janda Raja Umar bernama Raja Abdullah itu memang dirahasiakan sebagai anaknya sendiri mengingat nama baiknya di depan Raja Umar yang sudah menjadi iparnya, karena Raja Umar menikah dengan Raja Fatimah adiknya. Maka tidak heran kalau Raja Fatimah tidak setuju Raja Abdullah menggantikan takhta anaknya. Raja Fatimah menginginkan suaminya Raja Umarlah yang menjadi sultan.
Setelah Sultan Abdul Jalil Syah I wafat, dengan berbagai pertimbangan, Datuk Bendahara Sri Maharaja Isap dan para pembesar istana akhirnya memutuskan Raja Umar yang menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Syah II.
Raja Umar menjadi sultan karena faktor istrinya Raja Fatimah anak Sultan Alauddin Riayat Syah II. Raja Umar sendiri bukan keturunan langsung yang berhak mewarisi takhta sesuai tradisi dalam kerajaan Melayu yang dipraktikkan sejak zaman Melaka. Pun ada sedikit yaitu dari ibunya Raja Puspa Dewi, yang bersaudara sepupu dengan ibunda dari Raja Fatimah istrinya.
Sepeninggal Sultan Alauddin Riayat Syah II, inilah kejadian pertama sultan Melayu berasal dari bukan keturunan langsung sultan-sultan Kemaharajaan Melayu-Melaka. Anak-anak Raja Umar atau Sultan Abdul Jalil Syah II pun kelak banyak yang menjadi raja di tempat lain di kawasan Kemaharajaan Melayu dan daerah taklukannya. Raja Hasan menjadi Raja di Siak, Raja Husin menjaid raja di Kelantan, dan Raja Mahmud menjadi raja di Kampar. Pada masa itu, Siak, Kelantan, dan Kampar merupakan daerah taklukan Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Johor.
Dari Batu Sawar ke Makam Tauhid
Tak berapa lama kemudian Sultan Abdul Jalil Syah II membuka negeri baru di Tanah Putih yang kemudian dinamakan Batu Sawar. Tak sampai dua tahun di Batu Sawar, merebak wabah penyakit yang menyebabkan banyak penduduk yang sakit bahkan ada yang sampai meninggal. Sultan kemudian mengajak masyarakat membuka negeri baru di hulu Sungai Damar yang merupakan anak sungai Batu Sawar. Tempat baru itu kemudian dinamai Makam Tauhid. Sering Portugis menyerang pusat kerajaan di Makam Tauhid, tetapi selalu berhasil dihalau laskar Melayu.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah II, Aceh menyerang Johor, Melaka, dan Perak. Namun pengaruh Aceh lebih kuat di Perak, sehingga terkesan Perak di bawah taklukan Aceh. Sejak itu hubungan Aceh dengan Perak sangat erat layaknya Aceh dan Perak satu kerajaan. Bahkan Sultan Aceh ada yang berasal dari Perak, dan dialah Sultan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada 1577-1585. Selama 2 tahun pemerintahan Sultan Alauddin Mansur Syah, terjalin hubungan yang baik dan harmonis dengan Johor yang sebelumnya bermusuhan.
Namun pada 1579, Sultan Aceh asal Perak ini bermaksud memasukkan Johor ke dalam wilayah kerajaannya sebagaimana halnya Perak. Akan tetapi ditampik dengan tegas oleh Sultan Abdul Jalil Syah II. Akibatnya, hubungan Aceh dengan Johor kembali renggang, bahkan kian memanas akibat Johor menjalin hubungan dengan Portugis. Sebagaimana diketahui, Aceh berhasil merebut Perak, tetapi gagal mendapatkan Johor dan Melaka. Kegagalan mendapatkan Melaka karena Aceh belum dapat mengalahkan Portugis. Kerja sama Johor dengan Portugis semakin membuat Aceh terjepit.
Pada 1582 meletuslah perang antara Aceh dan Johor. Portugis mengerahkan pasukannya dari Melaka untuk membantu Johor mengusir pasukan Aceh. Johor dan Portugis berhasil menghalau Aceh. Pada 15 Agustus 1587 malah pecah pula perang antara Johor dan Portugis akibat Portugis mau menang sendiri dalam kerja sama perdagangan.
Sultan Abdul Jalil Syah II mangkat pada 1597 dan dimakamkan di Makam Tauhid, disebut Marhum Mangkat di Batu. Ada dua kandidat yang digadang-gadang kalangan istana untuk menjadi sultan. Pertama Raja Mansur anak Sultan Abdul Jalil Syah II, dan kedua Raja Abdullah anak Sultan Muzaffar Syah II. Namun kedua-duanya tak berminat menjadi sultan.
Apabila ditelusuri silsilah Raja Mansur, semakin jauh dari keturunan sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, Raja Umar (Sultan Abdul Jalil Syah II) ayahnya memang ada sedikit keturunan sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka dari pihak ibunya, tetapi beliau menjadi sultan karena istrinya Raja Fatimah anak Sultan Alauddin Riayat Syah II yang dinikahinya setelah menceraikan ibunda Raja Mansur. Konsistensi silsilah yang berasal dari sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka yang selama ini menjadi syarat seorang sultan dalam Kemaharajaan Melayu semakin pragmatis.
Akan tetapi Raja Mansur juga akhirnya yang dilantik dengan gelar Sultan Alauddin Riayat Syah III. Ini dikarenakan Raja Abdullah yang lebih berhak, menolak menjadi sultan. Namun roda pemerintahan lebih dominan dijalankan Datuk Bendahara Paduka Raja atau lebih dikenal dengan nama Tun Sri Lanang. Sultan Alauddin Riayat Syah III sangat gemar berkesenian sehingga waktunya lebih banyak untuk bermain musik dan bersenang-senang dengan kawan-kawannya sesama seniman. Namun, kalau dilihat dari catatan-catatan orang Belanda yang pada masa itu sudah menanamkan kukunya di Tanah Melayu, sultan ini berperangai sangat buruk dan pemabuk.
Dari Pangkalan Raja ke Tambelan
Kelak Raja Abdullah diserahi tugas sebagai pemangku jabatan sultan bersinergi dengan Datuk Bendahara Paduka Raja atau Tun Sri Lanang. Raja Abdullah beristana di seberang Pangkalan Raja, sehingga beliau juga disebut Raja Seberang. Kemudian seluruh keluarga kerajaan pindah dari Makam Tauhid ke Pangkalan Raja. Raja Abdullah tetap sebagai pemangku jabatan sultan dibantu Datuk Bendahara Tun Sri Lanang.
Pada 7 Mei 1613 Aceh kembali menyerang Johor. Lagi-lagi Aceh membawa pulang tawanan. Kalau dulu membawa Sultan Alauddin Syah II, sekarang Datuk Bendahara Tun Sri Lanang dan Raja Muda Abdullah.
Ketua pedagang orang-orang Belanda di Aceh, A. Theaunemans mengatakan, yang ditawan Aceh kali ini juga termasuk Sultan Alauddin Riayat Syah III dan permaisuri beserta anak-anaknya. Namun kalau mengacu pada catatan harian Thomas Best tanggal 15 Juli 1613, pimpinan armada Inggris yang pernah berkunjung ke Aceh itu berpendapat bahwa yang ditawan Aceh tidak termasuk Sultan Alauddin Riayat Syah III.
Diantaranya Thomas Best menulis, Panglima Aceh dimarahi Sultan Iskandar Muda karena tidak membawa Sultan Alauddin Riayat Syah III dan yang dibawa Cuma Raja Abdullah dan Tun Sri Lanang. Pendapat yang sama juga ditemukan dalam laporan seorang Belanda, Van der Busyen. Pada suratnya tanggal 25 Agustus 1614 menyebutkan, setelah ditangkap Sultan Alauddin Riayat Syah III tidak jadi ditawan namun dikembalikan ke Batu Sawar. Tempat kemangkatan Sultan Alauddin Riayat Syah III juga simpang siur.
Raja Muda Abdullah memang ditawan Aceh. Di Aceh beliau dinikahkan dengan adik Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh, untuk kemudian dikembalikan ke Johor. Ketika naik takhta di Johor ia bergelar Sultan Abdullah Muayat Syah. Dan takhta kerajaan akhirnya kembali kepada keturunan langsung sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka yang berasal dari Sang Sapurba. Admiral Matelief, seorang Belanda, menggambarkan Sultan Abdullah Muayat Syah sebagai seorang yang berkulit putih, berpandangan luas, tidak pemarah, sabar, penuh toleransi, pintar, dan tidak suka minuman keras.
Walau Aceh mengklaim turun andil dalam pengangkatan Sultan Abdullah Muayat Syah, tetapi sultan mengingkari untuk tunduk dan setia kepada Aceh. Bahkan istrinya yang merupakan adik Sultan Iskandar Muda penguasa Aceh itupun diceraikannya. Sebagai akibatnya Aceh marah dan menyerang Johor sehingga sultan terpaksa merlarikan diri ke Lingga pada 1617. Di Lingga sultan terus mempersiapkan diri untuk menahan serangan Aceh yang pasti datang. Digalangnya orang Suku Laut yang ada di kawasan Lingga untuk menjadi laskar. Tetapi kemudian Aceh memburunya ke Lingga sehingga sultan dan para pembesar kerajaan yang ikut bersamanya termasuk Raja Muda Pahang serta Laksamana Tun Abdul Jamil, mengungsi ke Tambelan. Pada 1623 beliau mangkat disana dengan gelar Phosthumous Marhum Tambelan.
Di Tambelan pula, karena tidak ada Datuk Bendahara, Laksamana Tun Abdul Jamil bertindak atas nama Datuk Bendahara, mengukuhkan Raja Bujang (Raja Muda Pahang yang tak lain adalah anak Sultan Alauddin Riayat Syah III) menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Syah III. Kembali jabatan sultan lepas dari keturunan sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka atau turunan Sang Sapurba yang turun dari Bukit Siguntang.
Pada 1641, dari Tambelan (wilayah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau sekarang) Sultan Abdul Jalil Syah III pulang ke Johor dan menjadikan Makam Tauhid kembali sebagai pusat pemerintahan. Ditatanya Johor yang sudah sekian sekian lama tak terurus selepas Sultan Abdullah Muayat Syah pendahulunya meninggalkan negeri itu dan mengungsi ke Lingga lalu ke Tambelan dan mangkat disana. Selanjutnya sultan juga menata Pahang. Putra Sultan Abdullah Muayat Syah Marhum Tambelan, dilantiknya sebagai Raja Muda Pahang. Jabatan itu lebih kurang sama dengan wakil sultan.
Membuka Sungai Carang
Pada mulanya, selaku daerah taklukan, kerajaan Jambi selalu membantu Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Johor menyerang Portugis di Melaka. Namun, saat Kemaharajaan Melayu kian melemah akibat sering berperang melawan Portugis dan Aceh serta dalam rangka perluasan wilayah, perlahan-lahan Jambi mulai melepaskan diri. Pada Mei 1667 Kemaharajaan Melayu menyerang perkampungan nelayan dalam wilayah Jambi dengan mengerahkan 7 buah kapal. Sebagai balasan, Jambi menyerang pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu di Johor yang sudah berpindah ke Batu Sawar pada 4 April 1673. Serangan Jambi ini melumpuhkan Johor. Banyak tentara Kemaharajaan Melayu yang tewas. Jambi bahkan sempat merampas seluruh barang berharga di istana, termasuk 4 ton emas dan senjata api. Pusat pemerintahan di Johor pun lumpuh. Sultan Abdul Jalil Syah III melarikan diri ke Pahang. Dari Pahang, pada 1673 itu juga, diperintahkannya Laksamana Tun Abdul Jamil membuka negeri baru di Pulau Bintan, tepatnya di hulu sungai Carang, sekaligus membuat kubu pertahanan dan pelabuhan disana.
Sewaktu Laksamana Tun Abdul Jamil membuka negeri baru di hulu Sungai Carang, Pulau Bintan, ramailah orang bekerja. Suaranya sangat riuh atau diucapkan orang Melayu dengan “rioh”. Setelah negeri itu selesai dibangun, ramai pula orang datang dan pulang buat berdagang, juga “rioh” suaranya. Negeri baru itu belum bernama. Jika ditanya kepada yang bertanya kepada orang yang pergi kesana, maka dijawab, menuju tempat yang “rioh” itu. Jika ditanya kepada orang yang pulang dari sana, maka dijawab, dari tempat yang “rioh” itu. “Rioh” atau “riuh” dalam penyebutannya kemudian menjadi “riau”. Setengah pendapat dari frasa “rioh” atau “riuh” itulah asal-usul nama Riau.
Rio dalam bahasa Portugis berarti sungai. Dalam pemahaman orang Portugis yang berdagang ke negeri baru di hulu sungai Carang itu, disebutnya Negeri Rio atau Negeri Sungai yaitu negeri yang berada di hulu sungai. Dari sebutan “rio” kemudian diucapkan juga “riau”. Kelak, orang Belanda menyebutnya menjadi “riaow”. Begitu pula pendapat setengah yang lain tentang asal muasal nama Riau secara etimologi. Terlepas masih ada pendapat lain, yang dimaksud tetap jugalah untuk menyebut sebuah negeri yang kelak menjadi salah satu pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu yang terletak di hulu sungai Carang, pulau Bintan itu.
Lebih kurang setahun setelah dibangun oleh Laksamana Tun Abdul Jamil, Riau tumbuh pesat sebagai salah satu pusat perdagangan terpenting dimasa itu. Masyarakat Melayu pun berbondong-bondong membuat pemukiman di sekitarnya.
Seiring Kerajaan Aceh di ujung pulau Sumatera mulai memudar semenjak pemimpinnya yang kharismatik dan berpengaruh, Sultan Iskandar Muda wafat pada 1636. Sang menantu, Sultan Iskandar Tsani penggantinya, tidak seberhasil bapak mertuanya dalam mengelola negara. Apalagi semenjak beliau mangkat dan digantikan istrinya, Safiat al-Din, Kerajaan Aceh kian malap dan dengan sendirinya pelabuhan Pasai tak lagi seramai dulu. Kerajaan-kerajaan yang berada di Tanah Semenanjung yang dulunya di bawah pengaruh Aceh mulai melepaskan diri, dan selanjutnya berada di bawah pengaruh Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Johor. Semasa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III, wilayah Kemaharajaan Melayu sudah meliputi seluruh Kepulauan Riau, sebagian besar Riau Daratan (terutama Siak dan Inderagiri), dan sebagian besar Tanah Semenanjung Malaysia (selain Johor dan Pahang, juga kawasan Negeri Sembilang sekarang).


Pusat Pemerintahan Pindah ke Riau
Pada 1676, Raja Muda Pahang atau Raja Bajau, mangkat. Dari pernikahannya dengan putri Laksamana Tun Abdil Jamil, beliau memiliki seorang putra bernama Raja Ibrahim. Selama ini Raja Ibrahim tinggal bersama kakeknya di Riau. Raja Ibrahim kemudian pindah ke Pahang menggantikan takhta ayahandanya sebagai Raja Muda Pahang.
Setahun kemudian, persisnya 22 November 1677, Sultan Abdul Jalil Syah III pun mangkat pula. Para pembesar Kemaharajaan Melayu sepakat mengangkat Raja Ibrahim naik takhta menggantikan sultan yang mangkat dengan gelar Sultan Ibrahim Syah. Keturunan langsung sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Malaka kembali menjadi sultan, karena Sultan Ibrahim Syah adalah putra Raja Muda Pahang atau Raja Bajau, sedangkan Raja Bajau adalah anak Sultan Abdullah Muayat Syah. Sementara Sultan Abdullah Muayat Syah adalah anak Sultan Muzaffar Syah II. Bila ditelisik lagi semakin ke belakang, Sultan Muzaffar Syah II adalah putra Sultan Alauddin Riayat Syah II sekaligus cucu Sultan Mahmud Syah I, Sultan Kemaharajaan Melayu Melaka yang terakhir.
Sebagai Bendahara Kemaharajaan Melayu pada masa itu dijabat Tun Habib Abdul Majid dengan gelar Bendahara Sri Maharaja. Jabatan bendahara merupakan posisi terpenting kedua setelah sultan. Jabatan penting ketiga adalah temenggung dan keempat laksamana yang dijabat Tun Abdul Jamil.
Utusan Belanda datang ke Johor pada 11 November 1678 mengucapkan selamat kepada Sultan Ibrahim Syah atas penobatannya sebagai sultan, sekaligus mengabarkan Rykloff van Goens sebagai Gubernur Jenderal di Batavia. Sekitar dua bulan kemudian, tepatnya pada 18 Januari 1679, Sultan Ibrahim Syah juga mengirim utusan mengucapkan selamat kepada Rykloff van Goens atas pelantikannya sebagai Gubernur Jenderal Belanda di Batavia.
Lebih kurang setahun memerintah di Johor, Sultan Ibrahim Syah memindahkan pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu ke Riau, atas tawaran kakeknya Laksamana Tun Abdul Jamil. Di Riau kemudian beliau membangun istana. Kakeknya Tun Abdul Jamil dilantiknya sebagai Paduka Raja. Sedangkan jabatan laksamana yang ditinggalkan sang kakek diemban oleh salah seorang anak Tun Abdul Jamil. Secara de facto, Tun Abdul Jamil lebih dominan melaksanakan Maharaja yang berkedudukan di Johor. Dan ini membuat iri Bendahara Tun Habib Abdul Majid.
Inilah embrio Kemaharajaan Melayu berpusat di Riau. Kelak, selain Johor dan Riau, pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu juga berada di Lingga. Dalam penulisan buku Sejarah Melayu (Ahmad Dahlan: 2015), Kemaharajaan Melayu yang meliputi Johor, Riau, Lingga dan Pahang serta seluruh daerah taklukannya, dalam penyebutannya tergantung situasi yaitu sedang dimana pusat pemerintahan berada. Kalau sedang berada di Johor maka Johor disebut pertama. Demikian pula kalau sedang berada di Riau atau Lingga. Dalam penamaan pun demikian, ketika Kemaharajaan Melayu berpusat di Riau lazim juga disebut Kerajaan Riau dan ketika berpusat di Johor disebut Kerajaan Johor serta ketika berpusat di Lingga disebut Kerajaan Lingga. Dalam perjalanannya, Kemaharajaan Melayu belum pernah berpusat di Pahang.
Pelabuhan Riau sebagai pusat perdagangan terus berkembang. Bahkan, pada 1681 kapal Perancis bernama De Voiltour singgah di pelabuhan Riau dan membawa cendera mata dari Raja Perancis untuk Sultan Ibrahim. Pada tahun itu juga datang dua orang wakil Kerajaan Siam mengantarkan cendera mata untuk Sultan Ibrahim sekaligus menawarkan bantuan perlengkapan perang. Pada 1682 datang lagi utusan dari Siam bernama Phra Klang menindak-lanjuti kerja sama tersebut dan merundingkannya dengan Paduka Raja Tun Abdul Jamil. Dalam tahun yang sama Sultan Ibrahim berlayar ke Batavia berunding dengan VOC Belanda.
Sultan Ibrahim Syah mangkat pada 16 Februari 1685 dengan gelar Posthumous Marhum Bungsu. Menggantikan beliau putranya Sultan Mahmud Syah II. Lazimnya dalam tradisi Kemaharajaan Melayu, yang menobatkan sultan adalah Datuk Bendahara. Tetapi kali ini dinobatkan oleh Paduka Raja Tun Abdul Jamil. Sultan Mahmud Syah II waktu itu baru berumur 10 tahun sehingga belum cakap untuk memimpin. Paduka Raja Tun Abdul Jamil kemudian menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku jabatan sultan. Semakin berkuasalah Paduka Raja Tun Abdul Jamil, sehingga membuat geram Tun Habib Abdul Majid. Sebagai Datuk Bendahara, semestinya dialah yang memangku jabatan sultan apabila sultan belum cukup umur mengemban tugas kesultanan.
Pusat Pemerintahan Kembali ke Johor
Dengan berbagai upaya, akhirnya Tun Habib Abdul Majid beserta para pendukungnya berhasil memboyong Sultan Mahmud Syah II kembali ke Johor, dan bersemayam di Kota Tinggi diawal tahun 1687. Walaupun pusat pemerintahan berpindah kembali ke Johor, pelabuhan Riau tetap ramai. William Valentyn yang sempat berkunjung ke Riau pada 2 Mei 1687 mencatat bandar dagang itu sangat ramai. Demikian juga berdasarkan surat Gubernur Belanda di Melaka Thomas Slicher, yang melapor kepada atasannya Gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang pada masa itu dijabat Johannes Camphuijs.
Pada 21 Juni 1688, Paduka Raja Tun Abdul Jamil menyiapkan 17 buah lancang dan 30 buah perahu di Riau untuk menangkis pasukan Tun Habib Abdul Majid yang ingin menggulingkannya. Tahun berikutnya terjadilah perang saudara yang dahsyat. Karena kehabisan peluru, pasukan Tun Abdul Jamil terpaksa menjadikan uang koin sebagai pengganti peluru. Beliau akhirnya dapat digulingkan. Berikutnya Tun Habib Abdul Majid kembali menjadi bendahara dan pemangku jabatan sultan.
Tun Abdul Jamil yang tersingkir mangkat di Trengganu dalam usia lanjut pada 1688. Sedangkan Tun Habib Abdul Majid wafat pada 1697 dan dimakamkan di Padang Saujana, lalu kelak dikenal dengan gelar kemangkatan Tun Habib Abdul Majid Padang Saujana. Menggantikan jabatan bendahara adalah putranya Tun Abdul Jalil bergelar Tun Abdul Jalil Bendahara Paduka Raja. Dari keturunan Tun Habib ini kelak yang menjadi sultan dalam Kemaharajaan Melayu.
Campur Tangan Bangsa Barat
Sebenarnya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Serikat Dagang India Timur Belanda sudah melibatkan diri dalam wilayah Johor sejak 1602 yang ditandai dengan pembangunan kantor dagang oleh Jacob Buizen. Keberadaan Portugis di Melaka merupakan pesaing bagi Belanda, apalagi Inggris juga sudah mendirikan serikat dagang sejak 1600 dengan nama Governoor and Company of Merchants of London Tranding in to the East Indies (GCMLTEI). Dengan demikian, bersekutu mengusir Portugis bersama Johor sangatlah penting bagi Belanda.
Sekitar tahun 1603, wakil Belanda bernama Jacob Van Heemskerck telah menjalin kerja sama juga dengan Johor untuk mengusir Portugis. Atas izin sultan, Belanda berhasil menawan kapal Portugis bernama Santa Chatarina di kawasan perairan Johor. Pada 1604 kerja sama itu kemudian berlanjut dengan izin menempatkan wakil saudagar Belanda di Johor dan Johor mengirim dua orang Melayu ke negeri Belanda sebagai wakil Johor disana, yaitu Encik Kamar dan Megat Mansur. Kelak, Encik Kamar meninggal di negeri Belanda sedangkan Megat Mansur kembali ke Johor pada 1606.
Menyusul pada 1606, Johor menandatangani kerja sama dengan Belanda yang diwakili Admiral Matelief. Namun isi perjanjian kerja sama tersebut lebih menguntungkan Belanda. Salah satunya yang paling menyakitkan adalah bila Melaka berhasil direbut, pelabuhan dan kota Melaka menjadi milik Belanda, sedangkan Johor hanya kebagian daerah sekitarnya. Ini bermakna Belanda ingin menggantikan Portugis di Melaka.
Tidak cukup sampai disitu, dalam perjanjian itu Belanda juga berhak mengambil kayu di kawasan hutan yang menjadi bagian Johor untuk keperluan membuat kapal dan sebagainya. Yang agak sedikit menyetarakan Johor dengan Belanda adalah kedua belah pihak tidak dibenarkan mengikat perjanjian kerja sama dengan pihak lain seperti Spanyol yang kala itu juga sudah menanamkan pengaruhnya di kawasan Melayu, kecuali mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Apabila Aceh menyerang Johor, Belanda juga tidak terikat untuk membantu kecuali sebagai mediator perundingan. Karena tidak ada pilihan lain, sultan menerima asalkan Johor bebas berdagang di Pelabuhan Melaka tanpa dipungut cukai.
Beberapa hari setelah itu Belanda dan Johor pun menyerang Portugis di Melaka. Akan tetapi gagal merebut Melaka. Angkatan perang Portugis lagi-lagi didatangkan dari Goa untuk membantu pasukan yang semula sudah ada di Melaka. Atas kejadian ini Portugis punya alasan kuat menyerang Johor.
Baru pada akhir Juli 1640, Johor dan Belanda bersama-sama menyerang Melaka secara habis-habisan. Pasukan Johor dipimpin Datuk Laksamana Tun Abdul Jamil, sedangkan pihak Belanda dipimpin Van Diemen. Perang berlangsung selama 5 bulan 12 hari. Setelah terjadi perang yang sengit dengan korban yang berjatuhan di kedua-belah pihak, akhirnya pada 14 Januari 1641, Melaka berhasil direbut. Di pihak Belanda dan Johor tidak kurang dari 1.000 orang meninggal. Di pihak Portugis lebih dari itu, bahkan Gubernur Portugis di Melaka, Manuel de Sousa Coutinho, turut gugur dan dikubur secara kehormatan militer dua hari setelah Melaka direbut. Portugis menguasai Melaka selama 130 tahun. Untuk selanjutnya Belanda-lah yang berkuasa di Melaka. Belanda kemudian memperkuat benteng A. Famosa, serta membangun sarana lain seperti gereja di sekitar benteng.
Portugis sudah meninggalkan Melaka. Akan tetapi penggantinya Belanda setali tiga uang atau sama saja dengan Portugis yaitu datang sebagai penjajah. Peran pelabuhan Johor semakin redup semenjak pelabuhan Melaka banyak disinggahi pedagang pasca-jatuhnya Portugis. Kapal-kapal saudagar mancanegara kembali datang dan berdagang disana.[1]
B.   Wilayah Kekuasaan Johor
Wilayah kekuasaan Johor mencakup kawasan Johor, Singapura, Riau dan Jambi. Saat ini, Johor hanyalah salahsatu negara bagian di Malaysia. Daerah-daerah yang dulu pernah di bawah kekuasaannya telah menjadi daerah merdeka.[2]
C.   Perekonomian Kerajaan Johor
Di daerah Melayu sangat terkenal karena kamashurannya dengan dilintasinya pedagang-pedagang asal negeri Cina, India, Arab, Eropa termasuk pedagang pribumi sendiri yang memasarkan hasil buminya di pelabuhan Malaka. Dampak yang ditimbulkan akibat menjadi daerah lintasan pada pedagang pribumi maupun asing tentunya sangat besar, terutama terhadap masyarakat Melayu sebagai masyarakat pribumi pada waktu itu. Sehingga nama Melayu sangat masuhur dan mendunia. Pada saat itu di sekitar selat Malaka muncul kekuatan besar yang sangat berpengaruh  terhadap pertumbuhan politik dan perekonomian. Sebut saja kerajaan Melayu tentunya para pedagang dari dunia luar seperti Cina, Lidia, Arab dan Eropa mengenalnya karena pada waktu itu pelabuhan Malaka sudah mereka singgahi setiap melakukan pelayaran baik dari barat maupun dari timur. Ditambah lagi pusat pemerintahan raja-raja Melayu pada waktu itu umumnya berada dekat dengan pantai yang merupakan pusat perdagangan bagi para pedagang untuk menawarkan barang dagangannya.[3]
Johor dapat mengumpul pelbagai hasil dagangan karena mempunyai jajahan taklukan yang luas. Oleh karena itu, Johor merupakan pelabuhan yang penting bagi kepulauan Melayu, pada tahun 1623 kapal dagangan Johor telah berdagang hingga ke Maluku dan Makassar. Ramai pedagang asing datang berniaga di pelabuhan Johor. Pedagang Cina kebanyakan datang dari Canton dan Amoy. Selain itu kapal belanda dan Inggris juga datang ke Johor.
Semasa pemerintahan Sultan Mahmud Shah II pada tahun 1685 hingga tahun 1699, pusat pentadbiran dan pelabuhan Johor telah berpindah dari Batu Sawar ke Riau. Kesibukan pelabuhan Johor dapat dilihat oleh gubernur Belanda di Malaka. Pada tahun 1689 Johor menjadi pusat pelabuhan. Kemajuan perdagangan Johor disebabkan oleh berbagai barang dagangannya. Barang-barang yang diperdagangkan di pelabuhan Johor diantaranya damar, biji timah, sagu, minyak, lada hitam, pinang, ikan asin, garam, kayu gaharu dan beras. Johor terkenal sebagai pembekal kain corak baru. Barang-barang dari luar negeri pun yang dijual di pelabuhan Johor diantaranya benang, emas, kain sutera, teh, barang tembikar, dan tembaga dari Cina.
Perdagangan dijalankan melalui dua cara, yaitu secara tukar-menukar dan menggunakan mata uang. Johor memperkenalkan mata uang yang dibuat dari emas, perak, dan timah. Mata uang emas disebut mas dan mata uang perak disebut kupang serta mata uang dari timah disebut katun. Mata uang ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1564). Pada akhir abad ke-18, mata uang asing seperti dolar Spanyol, dolar Mexico, dan uang Belanda sudah digunakan di pelabuhan  Johor.
Kerajaan Johor juga menggunakan sistem cukai yang baik. Misalnya, setiap lada hitam yang diperjual-belikan akan dikenakan cukai sebanyak enam keping emas. Sedangkan bagi timah cukainya sepuluh keping emas. Kerajaan Johor telah mengamalkan sistem naungan untuk menjamin keselamatan pedagang asing. Dalam sistem ini, setiap pedagang asing dilindungi oleh Bendahara, Raja Indera Bongsu, Temenggung, dan Laksamana.
Dari segi geografi, pelabuhan Johor terlindung dari tiupan angin monsun. Johor menjadi pintu masuk di bagian selatan Selat Malaka. Oleh karena itu, Johor dapat mengawal lalu lintas kapal dagang dari barat dan Timur. Johor juga menjadi pusat pembuatan kapal pesisiran pantai seperti banteng, baluk, kolek, pencalang, dan pencacaran. Ini menunjukkan kemahiran membuat dan memperbaiki kapal.[4]
D.   DAFTAR NAMA SULTAN KERAJAAN JOHOR[5]
1.      Sultan Alauddin Syah (1528-1564)
2.      Sultan Muzaffar Syah (1564-1570)
3.      Sultan Abdul Jalil Syah (1570-1597)
4.      Sultan Alauddin Syah II (1597-1615)
5.      Sultan Abdullah Mu’ayat Syah (1615-1623)
6.      Sultan Abdul Jalil Syah II (1623-1673)
7.      Sultan Ibrahim Syah (1677-1685)
8.      Sultan Mahmud Syah (1685-1699)
E.   PENINGGALAN KERAJAAN JOHOR
1.      Masjid Sultan Abu Bakar
Sejarah masjid Abu Bakar Terletak diatas bukit dekat pusat kota johor bahru malaysia, berdiri bangunan megah nan indah peninggalan sejarah kebesaran kerajaan johor di masa lalu. Bangunan tersebut adalah Masjid Sultan Abu Bakar yang didirikan oleh salah seorang sultan Johor yang terkenal yakni Sultan Abu Bakar bin Temenggong Daeng Ibrahim yang memerintah pada tahun 1862 hingga 1895.
Di era kepemimpinan sultan Abu Bakar, Johor mengalami perkembangan ekonomi yang pesat sehingga rakyatnya hidup dengan cukup makmur dan kerajaanpun mampu mendirikan berbagai bangunan megah dan besar di antaranya masjid sultan abu bakar ini. Pembangunan masjid ini berlangsung setelah ibukota Kerajaan Johor dipindahkan dari Teluk Belanga di Singapura ke Tanjung Puteri, sebuah kampung nelayan yang kemudian diberi nama Johor Bahru oleh Sultan Abu Bakar.
Saat ini, masjid Sultan Abu Bakar merupakan salah satu warisan sejarah yang dilindungi oleh Kerajaan Malaysia. Sebagai lokasi wisata, masjid ini terbuka setiap hari untuk dikunjungi oleh wisatawan dari pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore tanpa dipungut biaya, kecuali hari Jumat masjid ini tertutup untuk kunjungan wisata.
Tidak ada larangan bagi siapapun untuk bertandang dan masuk kedalamnya sambil menikmati goresan arsitektur pada dinding dan tiang masjid ini, namun khusus bagi wanita yang sedang datang bulan, diharapkan menunggu diluar saja.
Arsitektur masjid ini merupakan gabungan arsitektur India Muslim, Persia dan Eropa Klasik dengan denah masjid berbentuk segi empat, namun pada sisi kiblatnya tampak lebih panjang. Unit utama merupakan ruang sembahyang dengan atap yang berbentuk limas tunggal tidak bertumpuk dengan empat menara disetiap sudut masjid.
Masjid Sultan Abu Bakar terletak di lokasi yang sangat strategis di atas bukit, di Pantai Lido menghadap ke Selat Tebrau atau selat yang memisahkan daratan Malaysia dengan Singapura atau di Jalan Masjid Sultan Abu Bakar 80990 Johor Bahru, Johor Darul Takzim malaysia atau bersebelahan dengan Kompleks Islam Johor. Dari halaman belakang masjid inilah negara Singapura terlihat sangat jelas.
2.      Meriam
Meriam tersebut adalah salah satu benda bersejarah peninggalan zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang bernama ”Sri Rambai” atau biasa disebut ”Si Rambai” saja. Pada meriam yang terbuat dari perunggu itu, ada ukiran tulisan Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi: ’Tawanan Sulthan’. Pada larasnya, terukir nama si pembuatnya, Ian Bergerus Mefecit 1603 M.
Adalah seorang Laksamana Belanda yang bernama Verhoef tahun 1606 M, membujuk Sultan Johor agar diberi izin membangun sebuah benteng (fort) sebagai markas dan tempat persiapan mereka, guna menyerang Portugis di Melaka dan sebagai balas jasa ia menghadiahkan sebuah meriam yang kemudian dikenal dengan Sri Rambai.
Pada tahun 1613 M atau bertepatan tahun 1023 H, Kerajaan Aceh dalam penyerangan ke Johor menaklukkan ibu kota Johor, Batu Sawar, dan menawan Sultan beserta keluarganya serta merampas persenjataan, termasuk meriam hadiah Laksamana Belanda tadi dan membawanya ke Aceh. tetapi, Sultan Johor kemudian diampuni.
Lebih kurang 180 tahun, meriam rampasan tadi berada di Aceh. Adapun ukiran tulisan Jawi yang terdapat pada meriam, seperti disebutkan di atas adalah untuk mengabadikan kenangan kepada para Panglima Sultan Iskandar Muda yang telah berjasa dalam penyerangan ke Johor.
Diceritakan bahwa, meriam ini pernah jatuh ke laut dekat Padang Kota dan terendam dalam air sekitar 9 tahun lamanya. Pada tahun 1880, dalam suatu acara yang bersifat mistik dan dihadiri raja muda Selangor yang telah bersara, meriam itu diangkat dari dalam air ke darat di Padang Kota, Penang. Kemudian diberi roda dan dipajang di tepi pantai.
Semula tempat meriam tersebut di dekat gedung balai kota (mericipal) tepatnya di bawah pohon yang rindang. Tetapi, sejak tahun 1975 dipindahkan ke sebelah Timur Padang Kota. Ditempatkan di atas pelataran khusus sampai sekarang.
Berikut adalah gambar dari meriam peninggalan Kerajaan Johor;
3.      Makam Kuno
Sebuah makam kuno Gampong Meunasah Mesjid Bluk kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara, berat dugaan adalah makam seorang Sultan Johor bernama `Alauddin Ri`ayah Syah. Purbasangka itu terbit manakala sebuah ekspedisi penelitian beberapa masa yang lalu oleh Tim dari Yayasan Waqaf Nurul Islam Lhokseumawe. Pertimbangan itu berdasarkan keterangan dalam Hikayat Melayu atau Sulalatus Salatin bahwa Sultan `Alauddin Ri`ayat Syah telah mangkat di Aceh dan baginda berkedudukan di Pasai.
Sebagaimana diketahui, Aceh dan Johor adalah dua kekuatan muda yang amat menentukan dalam sejarah Asia Tenggara menggantikan peran Samudra Pasai dan Melaka pasca kejatuhannya.
Johor yang dibangun dan diperintah oleh keturunan Sultan Mahmud, penguasa Melaka dalam masa penyerangan Portugis (1512), tentu menaruh sakit hati mendalam terhadap imperialisme bangsa kulit putih, yang telah menyebabkan mereka terusir dan harus berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya sampai dengan putera Sultan Mahmud mendirikan Johor Lama.
Sebetulnya banyak hal lain pula yang mengikat dan menyatukan Aceh dengan Johor begitu pula negeri-negeri lain di Semenanjung Melayu; agama, kekerabatan dan juga penentuan nasib bersama. Jadi, sukar diterima akal apabila `Alauddin Ri`ayat Syah yang mewakili Johor telah bersedia untuk bersukutu dengan Belanda kendatipun guna merebut Melaka dari tangan Portugis.
Di samping nilai-nilai religius yang terdapat pada makam ini, penting pula diperhatikan nilai-nilai kreatifitas seni yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan berbagai daya intelektualitas yang dimiliki orang Aceh kala itu sekaligus juga menggambarkan keadaan negeri yang aman dan makmur di mana kondisi yang demikian telah memungkinkan lahirnya karya seni yang begitu tinggi dan maju.



[1] Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, (Jakarta: PT Gramedia, 2015) hal.171-184
[2] http://melayuonline.com/ind/history/dig/ diakses pada 7 November 2016 pukul 21:52 WIB
[3]Bunari, “Mengenang Kegemilangan Kesultanan Melayu Sebagai Catatan Sejarah dan Membangkitkan Generasi Bangsahttp://ipi151467.pdf hal.21-22 diakses pada 29 Oktober 2016 pukul 15:29 WIB
[4] http://sejarahtingkatansatu.blogspot.co.id/ diakses pada 7 November 2016 pukul 21:42 WIB
[5] Wikipedia. Diakses pada 02 Desember 2016 pukul 22:52 WIB

Comments

Popular posts from this blog

DINASTI QAJAR (1779-1925)

DINASTI SAFAWIYAH

DINASTI SAMANIYYAH (873-998 M)