KERAJAAN JOHOR (1528 M)
A.
Sejarah Lahirnya Kerajaan Johor
Kemaharajaan Melayu Berpusat di Johor
Tidak lama setelah dilantik menggantikan ayahandanya, Sultan
Alauddin Riayat Syah II menikah dengan putri Raja Pahang bernama Raja Kesuma Dewi.
Atas alasan itu beliau kemudian memindahkan pusat pemerintahannya dari Kampar
ke Pahang. Di Kampar dipimpin oleh seorang adipati. Dari Pahang sultan dan
permaisuri diiringi bendahara, laksamana dan segenap pembesar kerajaan yang
dibawa dari Kampar, kemudian membuka negeri baru di kuala Sungai Johor. Sultan
menugaskan Sri Nara Diraja bekerja sama dengan rakyat setempat membangun
pemukiman dan istana di kawasan itu, sekaligus menata benteng pertahanan atau
Kota Parit, mulai dari hilir sungai Serting sampai ke hulu sungai Johor.
Semenjak Sultan Alauddin Riayat Syah II membuka negeri sekaligus
pusat pemerintahan di kawasan Johor, orang-orang pun berdatangan membangun
pemukiman dan menetap di kawasan itu. Penduduk terus bertambah dan semakin
ramai. Mulai dari bukit Piatu di hulu sungai Johor, sampai ke Beladong di
bagian hilir, berderet kampung-kampung orang Melayu. Lalu disana tumbuh
kedai-kedai dan pekan atau pasar. Kelak disebut orang Pekantua. Dengan demikian
ada dua daerah bernama Pekantua, yaitu di Johor dan Kampar. Sejak saat itu
Kemaharajaan Melayu berpusat di Johor. Johor berasal dari bahasa Arab “Jauhar”
yang artinya permata, Negeri Permata.
Istilah Kemaharajaan Melayu yang digunakan dalam buku Sejarah
Melayu (Ahmad Dahlan: 2015) untuk
menyebut bekas wilayah Kemaharajaan Melayu Melaka dan seluruh daerah
taklukannya yang dipersatukan kembali oleh Sultan Mahmud Syah I pasca jatuhnya
kota Melaka ke tangan Portugis pada 1511 M. Pemerintahan Sultan Mahmud Syah I
selama berjuang selepas jatuhnya Melaka merupakan embrio Kemaharajaan Melayu
yang berpusat di Johor, sehingga sultan ini diposisikan sebagai sultan yang
pertama.
Gelar-gelar sultan dalam Kemaharajaan Melayu yang kelak meliputi
Johor, Riau, Pahang, dan Lingga serta seluruh daerah taklukannya banyak diambil
dari gelar-gelar sultan yang memerintah Kemaharajaan Melayu Melaka sebelumnya.
Sehingga kemudian diberi nomor urut apabila gelar itu sama.
Para sultan yang memerintah Kemaharajaan Melayu yang berpusat di
Johor adalah keturunan para sultan yang memerintah Kerajaan Melayu Melaka,
sebagaimana juga para sultan yang memerintah Kemaharajaan Melayu Melaka
merupakan keturunan para raja yang memerintah Kerajaan Melayu Singapura. Dan
semuanya berasal dari Sang Purba, raja Melayu yang turun di bukit Siguntang,
Palembang.
Selama Kemaharajaan Melayu di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin
Riayat Syah II, peperangan dengan Portugis dan Aceh sangat menyita waktu dan
energi, termasuk untuk melindungi kerajaan-kerajaan taklukan seperti Kerajaan
Aru. Pada 1564 kerajaan Aceh kembali menyerang Aru dan dapat merebutnya.
Setelah menaklukkan Aru pasukan Aceh menyerang Johor dan menghancurkan pusat
kerajaan serta menangkap Sultan Alauddin Riayat Syah II lalu membawanya ke
Aceh. Di sanalah beliau mangkat dengan gelar Posthumous Marhum Sahid di
Aceh. Beliau memerintah Kemaharajaan Melayu selama 36 tahun.
Dari Johor Lama ke Seluyut
Sepeninggal Sultan Alauddin Riayat Syah II, selain pengaruh
Portugis sudah sampai ke Johor--bahkan Inggris dan Belanda--juga pengaruh Aceh
semakin kuat. Pusat kerajaan pun sering berpindah-pindah. Dan para sultan yang
mengenakan mahkota kerajaan tidak semuanya murni keturunan para sultan
Kemaharajaan Melayu Melaka yang berasal dari Sang Sapurba.
Menggantikan Sultan Alauddin Riayat Syah II naik takhta anak
beliau, Raja Muzaffar yang berusia 19 tahun dengan gelar Sultan Muzaffar Syah
II. Sekitar setahun memerintah di Johor Lama, sultan kemudian membuka negeri di
Seluyut atau disebut juga Kota Batu. Kota berarti benteng. Benteng batu sepanjang
270 meter dilengkapi parit, dibangun untuk menahan serangan musuh. Tak jauh
dari benteng, bukit Seluyut terlihat jelas, cocok sebagai tempat untuk memantau
kedatangan musuh yang datang dari jauh. Di bawahnya bertemu tiga batang sungai,
yaitu sungai Johor, Medina, dan Seluyut. Setelah negeri itu dibuka sultan, dari
Kuala Seluyut sampai ke Padang Riangriang penuh dengan pasar. Negeri amat ramai
dan penduduknya sejahtera. Perdagangan pun kian maju.
Mesti usianya masih muda, sejarah mencatat, Sultan Muzaffar Syah II
sudah matang dalam memimpin dan sangat memperhatikan rakyatnya serta hormat
kepada seniornya di kalangan istana. Kepiawannya dalan menjalin kerja sama
dengan pemuka istana yang tua-tua dan berpengalaman, dicatat sebagai faktor
penting keberhasilannya membawa kerajaan kian berkembang.
Di ujung masa pemeritahan Sultan Muzaffar Syah II, tepatnya tahun
1571, Aceh datang lagi menyerang Johor sekaligus meluas ke Melaka dan Perak.
Tapi Aceh hanya dapat merebut Perak dan menanamkan pengaruhnya disana sampai
100 tahun ke depan. Sultan Muzaffar Syah memerintah hanya 7 tahun. Setelah
wafat beliau dimakamkan di Bukit Seluyut dan disebut Marhum Mangkat di Seluyut.
Sebagai penggantinya naik takhta Sultan Abdul Jalil Syah I, putra
angkat beliau, kemenakannya sendiri, anak adiknya Raja Fatimah yang menikah
dengan Raja Umar dari Pahang. Sultan Abdul Jalil Syah I kala itu baru berumur 9
tahun dan sering sakit-sakitan. Sebagai wali yang melaksanakan roda
pemerintahan dipangku ayahnya Raja Umar. Semasa hidupnya yang selalu
sakit-sakitan, sultan berwasiat kalau dirinya meninggal kelak sebagai
penggantinya haruslah Raja Abdullah. Sultan berteman karib dengan Raja Abdullah
yang tak lain adalah anak kandung Sultan Muzaffar Syah II, hasil perkawinannya
dengan putri Sri Nara Diraja Pahang yang ketika dinikahinya sudah menjadi janda
Raja Umar.
Dari perkawinannya dengan Tun Mas Jiwa, anak Tun Hasan Temenggung,
Sultan Muzaffar Syah tidak memiliki anak. Putranya dengan janda Raja Umar
bernama Raja Abdullah itu memang dirahasiakan sebagai anaknya sendiri mengingat
nama baiknya di depan Raja Umar yang sudah menjadi iparnya, karena Raja Umar
menikah dengan Raja Fatimah adiknya. Maka tidak heran kalau Raja Fatimah tidak
setuju Raja Abdullah menggantikan takhta anaknya. Raja Fatimah menginginkan
suaminya Raja Umarlah yang menjadi sultan.
Setelah Sultan Abdul Jalil Syah I wafat, dengan berbagai
pertimbangan, Datuk Bendahara Sri Maharaja Isap dan para pembesar istana
akhirnya memutuskan Raja Umar yang menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul
Jalil Syah II.
Raja Umar menjadi sultan karena faktor istrinya Raja Fatimah anak
Sultan Alauddin Riayat Syah II. Raja Umar sendiri bukan keturunan langsung yang
berhak mewarisi takhta sesuai tradisi dalam kerajaan Melayu yang dipraktikkan
sejak zaman Melaka. Pun ada sedikit yaitu dari ibunya Raja Puspa Dewi, yang
bersaudara sepupu dengan ibunda dari Raja Fatimah istrinya.
Sepeninggal Sultan Alauddin Riayat Syah II, inilah kejadian pertama
sultan Melayu berasal dari bukan keturunan langsung sultan-sultan Kemaharajaan
Melayu-Melaka. Anak-anak Raja Umar atau Sultan Abdul Jalil Syah II pun kelak
banyak yang menjadi raja di tempat lain di kawasan Kemaharajaan Melayu dan
daerah taklukannya. Raja Hasan menjadi Raja di Siak, Raja Husin menjaid raja di
Kelantan, dan Raja Mahmud menjadi raja di Kampar. Pada masa itu, Siak,
Kelantan, dan Kampar merupakan daerah taklukan Kemaharajaan Melayu yang
berpusat di Johor.
Dari Batu Sawar ke Makam Tauhid
Tak berapa lama kemudian Sultan Abdul Jalil Syah II membuka negeri baru
di Tanah Putih yang kemudian dinamakan Batu Sawar. Tak sampai dua tahun di Batu
Sawar, merebak wabah penyakit yang menyebabkan banyak penduduk yang sakit
bahkan ada yang sampai meninggal. Sultan kemudian mengajak masyarakat membuka
negeri baru di hulu Sungai Damar yang merupakan anak sungai Batu Sawar. Tempat
baru itu kemudian dinamai Makam Tauhid. Sering Portugis menyerang pusat
kerajaan di Makam Tauhid, tetapi selalu berhasil dihalau laskar Melayu.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan
Muzaffar Syah II, Aceh menyerang Johor, Melaka, dan Perak. Namun pengaruh Aceh
lebih kuat di Perak, sehingga terkesan Perak di bawah taklukan Aceh. Sejak itu
hubungan Aceh dengan Perak sangat erat layaknya Aceh dan Perak satu kerajaan.
Bahkan Sultan Aceh ada yang berasal dari Perak, dan dialah Sultan Alauddin
Mansur Syah yang memerintah pada 1577-1585. Selama 2 tahun pemerintahan Sultan
Alauddin Mansur Syah, terjalin hubungan yang baik dan harmonis dengan Johor
yang sebelumnya bermusuhan.
Namun pada 1579, Sultan Aceh asal Perak ini bermaksud memasukkan
Johor ke dalam wilayah kerajaannya sebagaimana halnya Perak. Akan tetapi
ditampik dengan tegas oleh Sultan Abdul Jalil Syah II. Akibatnya, hubungan Aceh
dengan Johor kembali renggang, bahkan kian memanas akibat Johor menjalin
hubungan dengan Portugis. Sebagaimana diketahui, Aceh berhasil merebut Perak,
tetapi gagal mendapatkan Johor dan Melaka. Kegagalan mendapatkan Melaka karena
Aceh belum dapat mengalahkan Portugis. Kerja sama Johor dengan Portugis semakin
membuat Aceh terjepit.
Pada 1582 meletuslah perang antara Aceh dan Johor. Portugis
mengerahkan pasukannya dari Melaka untuk membantu Johor mengusir pasukan Aceh.
Johor dan Portugis berhasil menghalau Aceh. Pada 15 Agustus 1587 malah pecah
pula perang antara Johor dan Portugis akibat Portugis mau menang sendiri dalam
kerja sama perdagangan.
Sultan Abdul Jalil Syah II mangkat pada 1597 dan dimakamkan di
Makam Tauhid, disebut Marhum Mangkat di Batu. Ada dua kandidat yang
digadang-gadang kalangan istana untuk menjadi sultan. Pertama Raja Mansur anak
Sultan Abdul Jalil Syah II, dan kedua Raja Abdullah anak Sultan Muzaffar Syah
II. Namun kedua-duanya tak berminat menjadi sultan.
Apabila ditelusuri silsilah Raja Mansur, semakin jauh dari
keturunan sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka. Sebagaimana sudah disebutkan
sebelumnya, Raja Umar (Sultan Abdul Jalil Syah II) ayahnya memang ada sedikit
keturunan sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka dari pihak ibunya, tetapi
beliau menjadi sultan karena istrinya Raja Fatimah anak Sultan Alauddin Riayat
Syah II yang dinikahinya setelah menceraikan ibunda Raja Mansur. Konsistensi
silsilah yang berasal dari sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka yang selama
ini menjadi syarat seorang sultan dalam Kemaharajaan Melayu semakin pragmatis.
Akan tetapi Raja Mansur juga akhirnya yang dilantik dengan gelar
Sultan Alauddin Riayat Syah III. Ini dikarenakan Raja Abdullah yang lebih
berhak, menolak menjadi sultan. Namun roda pemerintahan lebih dominan
dijalankan Datuk Bendahara Paduka Raja atau lebih dikenal dengan nama Tun Sri
Lanang. Sultan Alauddin Riayat Syah III sangat gemar berkesenian sehingga
waktunya lebih banyak untuk bermain musik dan bersenang-senang dengan
kawan-kawannya sesama seniman. Namun, kalau dilihat dari catatan-catatan orang
Belanda yang pada masa itu sudah menanamkan kukunya di Tanah Melayu, sultan ini
berperangai sangat buruk dan pemabuk.
Dari Pangkalan Raja ke Tambelan
Kelak Raja Abdullah diserahi tugas sebagai pemangku jabatan sultan
bersinergi dengan Datuk Bendahara Paduka Raja atau Tun Sri Lanang. Raja
Abdullah beristana di seberang Pangkalan Raja, sehingga beliau juga disebut
Raja Seberang. Kemudian seluruh keluarga kerajaan pindah dari Makam Tauhid ke
Pangkalan Raja. Raja Abdullah tetap sebagai pemangku jabatan sultan dibantu
Datuk Bendahara Tun Sri Lanang.
Pada 7 Mei 1613 Aceh kembali menyerang Johor. Lagi-lagi Aceh
membawa pulang tawanan. Kalau dulu membawa Sultan Alauddin Syah II, sekarang
Datuk Bendahara Tun Sri Lanang dan Raja Muda Abdullah.
Ketua pedagang orang-orang Belanda di Aceh, A. Theaunemans
mengatakan, yang ditawan Aceh kali ini juga termasuk Sultan Alauddin Riayat
Syah III dan permaisuri beserta anak-anaknya. Namun kalau mengacu pada catatan
harian Thomas Best tanggal 15 Juli 1613, pimpinan armada Inggris yang pernah
berkunjung ke Aceh itu berpendapat bahwa yang ditawan Aceh tidak termasuk
Sultan Alauddin Riayat Syah III.
Diantaranya Thomas Best menulis, Panglima Aceh dimarahi Sultan
Iskandar Muda karena tidak membawa Sultan Alauddin Riayat Syah III dan yang
dibawa Cuma Raja Abdullah dan Tun Sri Lanang. Pendapat yang sama juga ditemukan
dalam laporan seorang Belanda, Van der Busyen. Pada suratnya tanggal 25 Agustus
1614 menyebutkan, setelah ditangkap Sultan Alauddin Riayat Syah III tidak jadi
ditawan namun dikembalikan ke Batu Sawar. Tempat kemangkatan Sultan Alauddin
Riayat Syah III juga simpang siur.
Raja Muda Abdullah memang ditawan Aceh. Di Aceh beliau dinikahkan
dengan adik Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh, untuk kemudian dikembalikan ke
Johor. Ketika naik takhta di Johor ia bergelar Sultan Abdullah Muayat Syah. Dan
takhta kerajaan akhirnya kembali kepada keturunan langsung sultan-sultan
Kemaharajaan Melayu Melaka yang berasal dari Sang Sapurba. Admiral Matelief,
seorang Belanda, menggambarkan Sultan Abdullah Muayat Syah sebagai seorang yang
berkulit putih, berpandangan luas, tidak pemarah, sabar, penuh toleransi,
pintar, dan tidak suka minuman keras.
Walau Aceh mengklaim turun andil dalam pengangkatan Sultan Abdullah
Muayat Syah, tetapi sultan mengingkari untuk tunduk dan setia kepada Aceh.
Bahkan istrinya yang merupakan adik Sultan Iskandar Muda penguasa Aceh itupun
diceraikannya. Sebagai akibatnya Aceh marah dan menyerang Johor sehingga sultan
terpaksa merlarikan diri ke Lingga pada 1617. Di Lingga sultan terus
mempersiapkan diri untuk menahan serangan Aceh yang pasti datang. Digalangnya
orang Suku Laut yang ada di kawasan Lingga untuk menjadi laskar. Tetapi
kemudian Aceh memburunya ke Lingga sehingga sultan dan para pembesar kerajaan yang
ikut bersamanya termasuk Raja Muda Pahang serta Laksamana Tun Abdul Jamil,
mengungsi ke Tambelan. Pada 1623 beliau mangkat disana dengan gelar Phosthumous
Marhum Tambelan.
Di Tambelan pula, karena tidak ada Datuk Bendahara, Laksamana Tun
Abdul Jamil bertindak atas nama Datuk Bendahara, mengukuhkan Raja Bujang (Raja
Muda Pahang yang tak lain adalah anak Sultan Alauddin Riayat Syah III) menjadi
sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Syah III. Kembali jabatan sultan lepas
dari keturunan sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Melaka atau turunan Sang
Sapurba yang turun dari Bukit Siguntang.
Pada 1641, dari Tambelan (wilayah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau
sekarang) Sultan Abdul Jalil Syah III pulang ke Johor dan menjadikan Makam
Tauhid kembali sebagai pusat pemerintahan. Ditatanya Johor yang sudah sekian
sekian lama tak terurus selepas Sultan Abdullah Muayat Syah pendahulunya
meninggalkan negeri itu dan mengungsi ke Lingga lalu ke Tambelan dan mangkat
disana. Selanjutnya sultan juga menata Pahang. Putra Sultan Abdullah Muayat
Syah Marhum Tambelan, dilantiknya sebagai Raja Muda Pahang. Jabatan itu lebih
kurang sama dengan wakil sultan.
Membuka Sungai Carang
Pada mulanya, selaku daerah taklukan, kerajaan Jambi selalu
membantu Kemaharajaan Melayu yang berpusat di Johor menyerang Portugis di
Melaka. Namun, saat Kemaharajaan Melayu kian melemah akibat sering berperang
melawan Portugis dan Aceh serta dalam rangka perluasan wilayah, perlahan-lahan
Jambi mulai melepaskan diri. Pada Mei 1667 Kemaharajaan Melayu menyerang
perkampungan nelayan dalam wilayah Jambi dengan mengerahkan 7 buah kapal.
Sebagai balasan, Jambi menyerang pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu di Johor
yang sudah berpindah ke Batu Sawar pada 4 April 1673. Serangan Jambi ini
melumpuhkan Johor. Banyak tentara Kemaharajaan Melayu yang tewas. Jambi bahkan
sempat merampas seluruh barang berharga di istana, termasuk 4 ton emas dan
senjata api. Pusat pemerintahan di Johor pun lumpuh. Sultan Abdul Jalil Syah
III melarikan diri ke Pahang. Dari Pahang, pada 1673 itu juga, diperintahkannya
Laksamana Tun Abdul Jamil membuka negeri baru di Pulau Bintan, tepatnya di hulu
sungai Carang, sekaligus membuat kubu pertahanan dan pelabuhan disana.
Sewaktu Laksamana Tun Abdul Jamil membuka negeri baru di hulu
Sungai Carang, Pulau Bintan, ramailah orang bekerja. Suaranya sangat riuh atau
diucapkan orang Melayu dengan “rioh”. Setelah negeri itu selesai dibangun,
ramai pula orang datang dan pulang buat berdagang, juga “rioh” suaranya. Negeri
baru itu belum bernama. Jika ditanya kepada yang bertanya kepada orang yang
pergi kesana, maka dijawab, menuju tempat yang “rioh” itu. Jika ditanya kepada
orang yang pulang dari sana, maka dijawab, dari tempat yang “rioh” itu. “Rioh”
atau “riuh” dalam penyebutannya kemudian menjadi “riau”. Setengah pendapat dari
frasa “rioh” atau “riuh” itulah asal-usul nama Riau.
Rio dalam bahasa Portugis berarti sungai. Dalam pemahaman orang
Portugis yang berdagang ke negeri baru di hulu sungai Carang itu, disebutnya
Negeri Rio atau Negeri Sungai yaitu negeri yang berada di hulu sungai. Dari
sebutan “rio” kemudian diucapkan juga “riau”. Kelak, orang Belanda menyebutnya
menjadi “riaow”. Begitu pula pendapat setengah yang lain tentang asal muasal
nama Riau secara etimologi. Terlepas masih ada pendapat lain, yang dimaksud
tetap jugalah untuk menyebut sebuah negeri yang kelak menjadi salah satu pusat
pemerintahan Kemaharajaan Melayu yang terletak di hulu sungai Carang, pulau
Bintan itu.
Lebih kurang setahun setelah dibangun oleh Laksamana Tun Abdul
Jamil, Riau tumbuh pesat sebagai salah satu pusat perdagangan terpenting dimasa
itu. Masyarakat Melayu pun berbondong-bondong membuat pemukiman di sekitarnya.
Seiring Kerajaan Aceh di ujung pulau Sumatera mulai memudar
semenjak pemimpinnya yang kharismatik dan berpengaruh, Sultan Iskandar Muda
wafat pada 1636. Sang menantu, Sultan Iskandar Tsani penggantinya, tidak seberhasil
bapak mertuanya dalam mengelola negara. Apalagi semenjak beliau mangkat dan
digantikan istrinya, Safiat al-Din, Kerajaan Aceh kian malap dan dengan
sendirinya pelabuhan Pasai tak lagi seramai dulu. Kerajaan-kerajaan yang berada
di Tanah Semenanjung yang dulunya di bawah pengaruh Aceh mulai melepaskan diri,
dan selanjutnya berada di bawah pengaruh Kemaharajaan Melayu yang berpusat di
Johor. Semasa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III, wilayah Kemaharajaan
Melayu sudah meliputi seluruh Kepulauan Riau, sebagian besar Riau Daratan
(terutama Siak dan Inderagiri), dan sebagian besar Tanah Semenanjung Malaysia
(selain Johor dan Pahang, juga kawasan Negeri Sembilang sekarang).
Pusat Pemerintahan Pindah ke Riau
Pada 1676, Raja Muda Pahang atau Raja Bajau, mangkat. Dari
pernikahannya dengan putri Laksamana Tun Abdil Jamil, beliau memiliki seorang
putra bernama Raja Ibrahim. Selama ini Raja Ibrahim tinggal bersama kakeknya di
Riau. Raja Ibrahim kemudian pindah ke Pahang menggantikan takhta ayahandanya
sebagai Raja Muda Pahang.
Setahun kemudian, persisnya 22 November 1677, Sultan Abdul Jalil
Syah III pun mangkat pula. Para pembesar Kemaharajaan Melayu sepakat mengangkat
Raja Ibrahim naik takhta menggantikan sultan yang mangkat dengan gelar Sultan
Ibrahim Syah. Keturunan langsung sultan-sultan Kemaharajaan Melayu Malaka
kembali menjadi sultan, karena Sultan Ibrahim Syah adalah putra Raja Muda
Pahang atau Raja Bajau, sedangkan Raja Bajau adalah anak Sultan Abdullah Muayat
Syah. Sementara Sultan Abdullah Muayat Syah adalah anak Sultan Muzaffar Syah
II. Bila ditelisik lagi semakin ke belakang, Sultan Muzaffar Syah II adalah
putra Sultan Alauddin Riayat Syah II sekaligus cucu Sultan Mahmud Syah I,
Sultan Kemaharajaan Melayu Melaka yang terakhir.
Sebagai Bendahara Kemaharajaan Melayu pada masa itu dijabat Tun
Habib Abdul Majid dengan gelar Bendahara Sri Maharaja. Jabatan bendahara
merupakan posisi terpenting kedua setelah sultan. Jabatan penting ketiga adalah
temenggung dan keempat laksamana yang dijabat Tun Abdul Jamil.
Utusan Belanda datang ke Johor pada 11 November 1678 mengucapkan
selamat kepada Sultan Ibrahim Syah atas penobatannya sebagai sultan, sekaligus
mengabarkan Rykloff van Goens sebagai Gubernur Jenderal di Batavia. Sekitar dua
bulan kemudian, tepatnya pada 18 Januari 1679, Sultan Ibrahim Syah juga
mengirim utusan mengucapkan selamat kepada Rykloff van Goens atas pelantikannya
sebagai Gubernur Jenderal Belanda di Batavia.
Lebih kurang setahun memerintah di Johor, Sultan Ibrahim Syah
memindahkan pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu ke Riau, atas tawaran
kakeknya Laksamana Tun Abdul Jamil. Di Riau kemudian beliau membangun istana. Kakeknya
Tun Abdul Jamil dilantiknya sebagai Paduka Raja. Sedangkan jabatan laksamana
yang ditinggalkan sang kakek diemban oleh salah seorang anak Tun Abdul Jamil.
Secara de facto, Tun Abdul Jamil lebih dominan melaksanakan Maharaja
yang berkedudukan di Johor. Dan ini membuat iri Bendahara Tun Habib Abdul
Majid.
Inilah embrio Kemaharajaan Melayu berpusat di Riau. Kelak, selain
Johor dan Riau, pusat pemerintahan Kemaharajaan Melayu juga berada di Lingga.
Dalam penulisan buku Sejarah Melayu (Ahmad Dahlan: 2015), Kemaharajaan Melayu
yang meliputi Johor, Riau, Lingga dan Pahang serta seluruh daerah taklukannya,
dalam penyebutannya tergantung situasi yaitu sedang dimana pusat pemerintahan
berada. Kalau sedang berada di Johor maka Johor disebut pertama. Demikian pula
kalau sedang berada di Riau atau Lingga. Dalam penamaan pun demikian, ketika
Kemaharajaan Melayu berpusat di Riau lazim juga disebut Kerajaan Riau dan
ketika berpusat di Johor disebut Kerajaan Johor serta ketika berpusat di Lingga
disebut Kerajaan Lingga. Dalam perjalanannya, Kemaharajaan Melayu belum pernah berpusat
di Pahang.
Pelabuhan Riau sebagai pusat perdagangan terus berkembang. Bahkan,
pada 1681 kapal Perancis bernama De Voiltour singgah di pelabuhan Riau
dan membawa cendera mata dari Raja Perancis untuk Sultan Ibrahim. Pada tahun
itu juga datang dua orang wakil Kerajaan Siam mengantarkan cendera mata untuk
Sultan Ibrahim sekaligus menawarkan bantuan perlengkapan perang. Pada 1682
datang lagi utusan dari Siam bernama Phra Klang menindak-lanjuti kerja sama
tersebut dan merundingkannya dengan Paduka Raja Tun Abdul Jamil. Dalam tahun
yang sama Sultan Ibrahim berlayar ke Batavia berunding dengan VOC Belanda.
Sultan Ibrahim Syah mangkat pada 16 Februari 1685 dengan gelar Posthumous
Marhum Bungsu. Menggantikan beliau putranya Sultan Mahmud Syah II. Lazimnya dalam
tradisi Kemaharajaan Melayu, yang menobatkan sultan adalah Datuk Bendahara.
Tetapi kali ini dinobatkan oleh Paduka Raja Tun Abdul Jamil. Sultan Mahmud Syah
II waktu itu baru berumur 10 tahun sehingga belum cakap untuk memimpin. Paduka
Raja Tun Abdul Jamil kemudian menjalankan roda pemerintahan selaku pemangku
jabatan sultan. Semakin berkuasalah Paduka Raja Tun Abdul Jamil, sehingga
membuat geram Tun Habib Abdul Majid. Sebagai Datuk Bendahara, semestinya dialah
yang memangku jabatan sultan apabila sultan belum cukup umur mengemban tugas
kesultanan.
Pusat Pemerintahan Kembali ke Johor
Dengan berbagai upaya, akhirnya Tun Habib Abdul Majid beserta para
pendukungnya berhasil memboyong Sultan Mahmud Syah II kembali ke Johor, dan
bersemayam di Kota Tinggi diawal tahun 1687. Walaupun pusat pemerintahan
berpindah kembali ke Johor, pelabuhan Riau tetap ramai. William Valentyn yang
sempat berkunjung ke Riau pada 2 Mei 1687 mencatat bandar dagang itu sangat
ramai. Demikian juga berdasarkan surat Gubernur Belanda di Melaka Thomas
Slicher, yang melapor kepada atasannya Gubernur Jenderal Belanda di Batavia
yang pada masa itu dijabat Johannes Camphuijs.
Pada 21 Juni 1688, Paduka Raja Tun Abdul Jamil menyiapkan 17 buah
lancang dan 30 buah perahu di Riau untuk menangkis pasukan Tun Habib Abdul
Majid yang ingin menggulingkannya. Tahun berikutnya terjadilah perang saudara
yang dahsyat. Karena kehabisan peluru, pasukan Tun Abdul Jamil terpaksa
menjadikan uang koin sebagai pengganti peluru. Beliau akhirnya dapat
digulingkan. Berikutnya Tun Habib Abdul Majid kembali menjadi bendahara dan
pemangku jabatan sultan.
Tun Abdul Jamil yang tersingkir mangkat di Trengganu dalam usia
lanjut pada 1688. Sedangkan Tun Habib Abdul Majid wafat pada 1697 dan
dimakamkan di Padang Saujana, lalu kelak dikenal dengan gelar kemangkatan Tun
Habib Abdul Majid Padang Saujana. Menggantikan jabatan bendahara adalah
putranya Tun Abdul Jalil bergelar Tun Abdul Jalil Bendahara Paduka Raja. Dari
keturunan Tun Habib ini kelak yang menjadi sultan dalam Kemaharajaan Melayu.
Campur Tangan Bangsa Barat
Sebenarnya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau
Serikat Dagang India Timur Belanda sudah melibatkan diri dalam wilayah Johor
sejak 1602 yang ditandai dengan pembangunan kantor dagang oleh Jacob Buizen.
Keberadaan Portugis di Melaka merupakan pesaing bagi Belanda, apalagi Inggris
juga sudah mendirikan serikat dagang sejak 1600 dengan nama Governoor and
Company of Merchants of London Tranding in to the East Indies (GCMLTEI).
Dengan demikian, bersekutu mengusir Portugis bersama Johor sangatlah penting
bagi Belanda.
Sekitar tahun 1603, wakil Belanda bernama Jacob Van Heemskerck
telah menjalin kerja sama juga dengan Johor untuk mengusir Portugis. Atas izin
sultan, Belanda berhasil menawan kapal Portugis bernama Santa Chatarina
di kawasan perairan Johor. Pada 1604 kerja sama itu kemudian berlanjut dengan
izin menempatkan wakil saudagar Belanda di Johor dan Johor mengirim dua orang
Melayu ke negeri Belanda sebagai wakil Johor disana, yaitu Encik Kamar dan
Megat Mansur. Kelak, Encik Kamar meninggal di negeri Belanda sedangkan Megat
Mansur kembali ke Johor pada 1606.
Menyusul pada 1606, Johor menandatangani kerja sama dengan Belanda
yang diwakili Admiral Matelief. Namun isi perjanjian kerja sama tersebut lebih
menguntungkan Belanda. Salah satunya yang paling menyakitkan adalah bila Melaka
berhasil direbut, pelabuhan dan kota Melaka menjadi milik Belanda, sedangkan
Johor hanya kebagian daerah sekitarnya. Ini bermakna Belanda ingin menggantikan
Portugis di Melaka.
Tidak cukup sampai disitu, dalam perjanjian itu Belanda juga berhak
mengambil kayu di kawasan hutan yang menjadi bagian Johor untuk keperluan membuat
kapal dan sebagainya. Yang agak sedikit menyetarakan Johor dengan Belanda
adalah kedua belah pihak tidak dibenarkan mengikat perjanjian kerja sama dengan
pihak lain seperti Spanyol yang kala itu juga sudah menanamkan pengaruhnya di
kawasan Melayu, kecuali mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Apabila
Aceh menyerang Johor, Belanda juga tidak terikat untuk membantu kecuali sebagai
mediator perundingan. Karena tidak ada pilihan lain, sultan menerima asalkan
Johor bebas berdagang di Pelabuhan Melaka tanpa dipungut cukai.
Beberapa hari setelah itu Belanda dan Johor pun menyerang Portugis
di Melaka. Akan tetapi gagal merebut Melaka. Angkatan perang Portugis lagi-lagi
didatangkan dari Goa untuk membantu pasukan yang semula sudah ada di Melaka.
Atas kejadian ini Portugis punya alasan kuat menyerang Johor.
Baru pada akhir Juli 1640, Johor dan Belanda bersama-sama menyerang
Melaka secara habis-habisan. Pasukan Johor dipimpin Datuk Laksamana Tun Abdul
Jamil, sedangkan pihak Belanda dipimpin Van Diemen. Perang berlangsung selama 5
bulan 12 hari. Setelah terjadi perang yang sengit dengan korban yang berjatuhan
di kedua-belah pihak, akhirnya pada 14 Januari 1641, Melaka berhasil direbut.
Di pihak Belanda dan Johor tidak kurang dari 1.000 orang meninggal. Di pihak
Portugis lebih dari itu, bahkan Gubernur Portugis di Melaka, Manuel de Sousa
Coutinho, turut gugur dan dikubur secara kehormatan militer dua hari setelah
Melaka direbut. Portugis menguasai Melaka selama 130 tahun. Untuk selanjutnya
Belanda-lah yang berkuasa di Melaka. Belanda kemudian memperkuat benteng A.
Famosa, serta membangun sarana lain seperti gereja di sekitar benteng.
Portugis sudah meninggalkan Melaka. Akan tetapi penggantinya
Belanda setali tiga uang atau sama saja dengan Portugis yaitu datang sebagai
penjajah. Peran pelabuhan Johor semakin redup semenjak pelabuhan Melaka banyak
disinggahi pedagang pasca-jatuhnya Portugis. Kapal-kapal saudagar mancanegara
kembali datang dan berdagang disana.[1]
B.
Wilayah Kekuasaan Johor
Wilayah kekuasaan Johor mencakup kawasan Johor, Singapura, Riau dan
Jambi. Saat ini, Johor hanyalah salahsatu negara bagian di Malaysia.
Daerah-daerah yang dulu pernah di bawah kekuasaannya telah menjadi daerah
merdeka.[2]
C.
Perekonomian Kerajaan Johor
Di daerah Melayu sangat terkenal karena kamashurannya dengan
dilintasinya pedagang-pedagang asal negeri Cina, India, Arab, Eropa termasuk
pedagang pribumi sendiri yang memasarkan hasil buminya di pelabuhan Malaka.
Dampak yang ditimbulkan akibat menjadi daerah lintasan pada pedagang pribumi maupun
asing tentunya sangat besar, terutama terhadap masyarakat Melayu sebagai
masyarakat pribumi pada waktu itu. Sehingga nama Melayu sangat masuhur dan
mendunia. Pada saat itu di sekitar selat Malaka muncul kekuatan besar yang
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
politik dan perekonomian. Sebut saja kerajaan Melayu tentunya para pedagang
dari dunia luar seperti Cina, Lidia, Arab dan Eropa mengenalnya karena pada
waktu itu pelabuhan Malaka sudah mereka singgahi setiap melakukan pelayaran
baik dari barat maupun dari timur. Ditambah lagi pusat pemerintahan raja-raja
Melayu pada waktu itu umumnya berada dekat dengan pantai yang merupakan pusat
perdagangan bagi para pedagang untuk menawarkan barang dagangannya.[3]
Johor dapat mengumpul pelbagai hasil dagangan karena mempunyai
jajahan taklukan yang luas. Oleh karena itu, Johor merupakan pelabuhan yang
penting bagi kepulauan Melayu, pada tahun 1623 kapal dagangan Johor telah
berdagang hingga ke Maluku dan Makassar. Ramai pedagang asing datang berniaga
di pelabuhan Johor. Pedagang Cina kebanyakan datang dari Canton dan Amoy.
Selain itu kapal belanda dan Inggris juga datang ke Johor.
Semasa pemerintahan Sultan Mahmud Shah II pada tahun 1685 hingga
tahun 1699, pusat pentadbiran dan pelabuhan Johor telah berpindah dari Batu
Sawar ke Riau. Kesibukan pelabuhan Johor dapat dilihat oleh gubernur Belanda di
Malaka. Pada tahun 1689 Johor menjadi pusat pelabuhan. Kemajuan perdagangan
Johor disebabkan oleh berbagai barang dagangannya. Barang-barang yang
diperdagangkan di pelabuhan Johor diantaranya damar, biji timah, sagu, minyak,
lada hitam, pinang, ikan asin, garam, kayu gaharu dan beras. Johor terkenal
sebagai pembekal kain corak baru. Barang-barang dari luar negeri pun yang
dijual di pelabuhan Johor diantaranya benang, emas, kain sutera, teh, barang
tembikar, dan tembaga dari Cina.
Perdagangan dijalankan melalui dua cara, yaitu secara tukar-menukar
dan menggunakan mata uang. Johor memperkenalkan mata uang yang dibuat dari
emas, perak, dan timah. Mata uang emas disebut mas dan mata uang perak disebut
kupang serta mata uang dari timah disebut katun. Mata uang ini dibuat pada masa
pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1564). Pada akhir abad ke-18,
mata uang asing seperti dolar Spanyol, dolar Mexico, dan uang Belanda sudah
digunakan di pelabuhan Johor.
Kerajaan Johor juga menggunakan sistem cukai yang baik. Misalnya,
setiap lada hitam yang diperjual-belikan akan dikenakan cukai sebanyak enam
keping emas. Sedangkan bagi timah cukainya sepuluh keping emas. Kerajaan Johor
telah mengamalkan sistem naungan untuk menjamin keselamatan pedagang asing.
Dalam sistem ini, setiap pedagang asing dilindungi oleh Bendahara, Raja Indera
Bongsu, Temenggung, dan Laksamana.
Dari segi geografi, pelabuhan Johor terlindung dari tiupan angin
monsun. Johor menjadi pintu masuk di bagian selatan Selat Malaka. Oleh karena
itu, Johor dapat mengawal lalu lintas kapal dagang dari barat dan Timur. Johor
juga menjadi pusat pembuatan kapal pesisiran pantai seperti banteng, baluk,
kolek, pencalang, dan pencacaran. Ini menunjukkan kemahiran membuat dan
memperbaiki kapal.[4]
D.
DAFTAR NAMA SULTAN KERAJAAN JOHOR[5]
1.
Sultan
Alauddin Syah (1528-1564)
2.
Sultan
Muzaffar Syah (1564-1570)
3.
Sultan
Abdul Jalil Syah (1570-1597)
4.
Sultan
Alauddin Syah II (1597-1615)
5.
Sultan
Abdullah Mu’ayat Syah (1615-1623)
6.
Sultan
Abdul Jalil Syah II (1623-1673)
7.
Sultan
Ibrahim Syah (1677-1685)
8.
Sultan
Mahmud Syah (1685-1699)
E.
PENINGGALAN KERAJAAN JOHOR
1.
Masjid Sultan Abu Bakar
Sejarah masjid Abu Bakar Terletak
diatas bukit dekat pusat kota johor bahru malaysia, berdiri bangunan megah nan
indah peninggalan sejarah kebesaran kerajaan johor di masa lalu. Bangunan
tersebut adalah Masjid Sultan Abu Bakar yang didirikan oleh salah seorang
sultan Johor yang terkenal yakni Sultan Abu Bakar bin Temenggong Daeng Ibrahim
yang memerintah pada tahun 1862 hingga 1895.
Di era kepemimpinan sultan Abu
Bakar, Johor mengalami perkembangan ekonomi yang pesat sehingga rakyatnya hidup
dengan cukup makmur dan kerajaanpun mampu mendirikan berbagai bangunan megah
dan besar di antaranya masjid sultan abu bakar ini. Pembangunan masjid ini
berlangsung setelah ibukota Kerajaan Johor dipindahkan dari Teluk Belanga di
Singapura ke Tanjung Puteri, sebuah kampung nelayan yang kemudian diberi nama
Johor Bahru oleh Sultan Abu Bakar.
Saat ini, masjid Sultan Abu Bakar
merupakan salah satu warisan sejarah yang dilindungi oleh Kerajaan Malaysia.
Sebagai lokasi wisata, masjid ini terbuka setiap hari untuk dikunjungi oleh
wisatawan dari pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore tanpa dipungut
biaya, kecuali hari Jumat masjid ini tertutup untuk kunjungan wisata.
Tidak ada larangan bagi siapapun
untuk bertandang dan masuk kedalamnya sambil menikmati goresan arsitektur pada
dinding dan tiang masjid ini, namun khusus bagi wanita yang sedang datang
bulan, diharapkan menunggu diluar saja.
Arsitektur masjid ini merupakan
gabungan arsitektur India Muslim, Persia dan Eropa Klasik dengan denah masjid
berbentuk segi empat, namun pada sisi kiblatnya tampak lebih panjang. Unit
utama merupakan ruang sembahyang dengan atap yang berbentuk limas tunggal tidak
bertumpuk dengan empat menara disetiap sudut masjid.
Masjid Sultan Abu Bakar terletak di
lokasi yang sangat strategis di atas bukit, di Pantai Lido menghadap ke Selat
Tebrau atau selat yang memisahkan daratan Malaysia dengan Singapura atau di
Jalan Masjid Sultan Abu Bakar 80990 Johor Bahru, Johor Darul Takzim malaysia
atau bersebelahan dengan Kompleks Islam Johor. Dari halaman belakang masjid
inilah negara Singapura terlihat sangat jelas.
2.
Meriam
Meriam tersebut adalah salah satu
benda bersejarah peninggalan zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang
bernama ”Sri Rambai” atau biasa disebut ”Si Rambai” saja. Pada meriam yang
terbuat dari perunggu itu, ada ukiran tulisan Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi:
’Tawanan Sulthan’. Pada larasnya, terukir nama si pembuatnya, Ian Bergerus
Mefecit 1603 M.
Adalah seorang Laksamana Belanda
yang bernama Verhoef tahun 1606 M, membujuk Sultan Johor agar diberi izin
membangun sebuah benteng (fort) sebagai markas dan tempat persiapan mereka,
guna menyerang Portugis di Melaka dan sebagai balas jasa ia menghadiahkan
sebuah meriam yang kemudian dikenal dengan Sri Rambai.
Pada tahun 1613 M atau bertepatan
tahun 1023 H, Kerajaan Aceh dalam penyerangan ke Johor menaklukkan ibu kota
Johor, Batu Sawar, dan menawan Sultan beserta keluarganya serta merampas
persenjataan, termasuk meriam hadiah Laksamana Belanda tadi dan membawanya ke
Aceh. tetapi, Sultan Johor kemudian diampuni.
Lebih kurang 180 tahun, meriam
rampasan tadi berada di Aceh. Adapun ukiran tulisan Jawi yang terdapat pada
meriam, seperti disebutkan di atas adalah untuk mengabadikan kenangan kepada
para Panglima Sultan Iskandar Muda yang telah berjasa dalam penyerangan ke
Johor.
Diceritakan bahwa, meriam ini pernah
jatuh ke laut dekat Padang Kota dan terendam dalam air sekitar 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1880, dalam suatu acara yang bersifat mistik dan dihadiri raja muda
Selangor yang telah bersara, meriam itu diangkat dari dalam air ke darat di
Padang Kota, Penang. Kemudian diberi roda dan dipajang di tepi pantai.
Semula tempat meriam tersebut di
dekat gedung balai kota (mericipal) tepatnya di bawah pohon yang rindang.
Tetapi, sejak tahun 1975 dipindahkan ke sebelah Timur Padang Kota. Ditempatkan
di atas pelataran khusus sampai sekarang.
Berikut adalah gambar dari meriam
peninggalan Kerajaan Johor;
3.
Makam Kuno
Sebuah makam kuno Gampong Meunasah
Mesjid Bluk kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara, berat dugaan adalah
makam seorang Sultan Johor bernama `Alauddin Ri`ayah Syah. Purbasangka itu
terbit manakala sebuah ekspedisi penelitian beberapa masa yang lalu oleh Tim
dari Yayasan Waqaf Nurul Islam Lhokseumawe. Pertimbangan itu berdasarkan
keterangan dalam Hikayat Melayu atau Sulalatus Salatin bahwa Sultan `Alauddin Ri`ayat
Syah telah mangkat di Aceh dan baginda berkedudukan di Pasai.
Sebagaimana diketahui, Aceh dan
Johor adalah dua kekuatan muda yang amat menentukan dalam sejarah Asia Tenggara
menggantikan peran Samudra Pasai dan Melaka pasca kejatuhannya.
Johor yang dibangun dan diperintah
oleh keturunan Sultan Mahmud, penguasa Melaka dalam masa penyerangan Portugis
(1512), tentu menaruh sakit hati mendalam terhadap imperialisme bangsa kulit
putih, yang telah menyebabkan mereka terusir dan harus berpindah-pindah dari
satu negeri ke negeri lainnya sampai dengan putera Sultan Mahmud mendirikan
Johor Lama.
Sebetulnya banyak hal lain pula yang
mengikat dan menyatukan Aceh dengan Johor begitu pula negeri-negeri lain di
Semenanjung Melayu; agama, kekerabatan dan juga penentuan nasib bersama. Jadi,
sukar diterima akal apabila `Alauddin Ri`ayat Syah yang mewakili Johor telah
bersedia untuk bersukutu dengan Belanda kendatipun guna merebut Melaka dari
tangan Portugis.
Di samping nilai-nilai religius yang
terdapat pada makam ini, penting pula diperhatikan nilai-nilai kreatifitas seni
yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan berbagai daya intelektualitas yang
dimiliki orang Aceh kala itu sekaligus juga menggambarkan keadaan negeri yang
aman dan makmur di mana kondisi yang demikian telah memungkinkan lahirnya karya
seni yang begitu tinggi dan maju.
[1] Ahmad
Dahlan, Sejarah Melayu, (Jakarta: PT Gramedia, 2015) hal.171-184
[3]Bunari, “Mengenang
Kegemilangan Kesultanan Melayu Sebagai Catatan Sejarah dan Membangkitkan
Generasi Bangsa” http://ipi151467.pdf
hal.21-22 diakses pada 29 Oktober 2016 pukul 15:29 WIB
[5]
Wikipedia. Diakses pada 02 Desember 2016 pukul 22:52 WIB
Comments
Post a Comment