DINASTI SAMANIYYAH (873-998 M)

A.     Sejarah Pendirian Dinasti Samaniyah
Pendiri dinasti Samaniyah adalah Saman Khuda seorang dihqan atau tuan tanah  di Balkh yang baru masuk Islam. Ia mengklaim sebagai keturunan dari kaisar-kaisar Samaniyah lama Persia untuk menguatkan status quonya. Empat cucunya mengabdi pada al-Makmun di Khurasan. Karena mereka bekerja baik dan setia maka Nuh diangkat sebagai gubernur Samarkand[1], Ahmad gubernur Farghana[2], Yahya gubernur Syasi dan Ilyas gubernur Herat[3].  Keempat daerah itu berada dalam gugusan Transoxania[4].
Tahun 875 M. putra dari salah seorang mereka, Natsir ibn Ahmad menjadi gubernur di seluruh Transoxania dan bekerja keras untuk mempertahankan wilayah subur tersebut dari serangan suku-suku Turki yang berdiam di stepa-stepa. Setelah mengamankan batas-batas provinsi dari serangan kafir dan berkat pemerintahan dalam negeri yang baik, Bani Samaniyah memperoleh basis yang kuat bagi kekuasaan mereka. Walaupun dalam prakteknya  mereka dengan setia mendukung imperium Abbasiyah[5]. Ketika khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khalifah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena, khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan  dalam bentuk dinasti-dinasti kecil.[6]
Di Iran Timur dan Transoxania, dinasti Samaniyah mempertahankan sistem Abbasiyah selama setengah abad. Rezim ini diperintah oleh elite birokratik yang bergantung pada keluarga bangsawan dan keluarga tuan tanah setempat, sementara beberapa provinsi perwakilan seperti Sijistan (Pakistan), Khawarizm (Uzbekistan), dan Afghanistan diperintah oleh sultan atau gubernur yang terikat perjanjian upeti. [7]
Nasir ibn Ahmad mempunyai anak yang bernama Ismail yang pada tahun 280 H/893 M menyerang Qarlub di stepa-stepa luar Syr Darya dan mengarah ibukota Talas. Dengan menjadikan militer sebagai kekuatan terdepan, mereka disegani di stepa-stepa yang pada akhirnya memudahkan mereka untuk menjadikan rute-rute khalifah yang melewati Asia Tengah. Dengan demikian, secara tidak langsung Samaniyah menjadi stabilitas ekonomi wilayah-wilayah mereka. Berdasarkan kemakmuran ini, kemudian amir-amir Samaniyah menjadikan istana mereka di Bukhara sebagai pusat budaya. Di bawah kekuasaan Samaniyah itulah Firdausi memulai versinya tentang epik kebangsaan Iran Syah nama.[8]
Suku ini dulunya merupakan suku yang menganut agama Zoroasterian (Majusi) yang berada di Persia sebelum memeluk agama Islam kategori turunan bangsawan dan salahsatu suku penguasa  yang ada di Persia. ”Keluarga Samaniyah dari Transoxania dan persia (874-999) adalah orang-orang keturunan Saman, seorang bangsawan penganut ajaran Zoroaster dari Balk”.[9]
Para pemimpin Samaniyah yang awalnya beragama Zoroaster ini kemudian memeluk agama Islam Sunni.[10] Sebenarnya, mazhab resmi di Iran adalah Syi’ah Itsna ‘Asariyah (mazhab Ja’fary) yang telah diterapkan sejak masa Shah Ismail I. Di Iran berbeda dengan masyarakat Sunni lainnya, mereka memiliki para anggota imam yang terdiri dari para mujtahid dan mullah. Mereka adalah para penafsir Al-Qur’an  dan berwenang dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Iran. Dalam tradisi intelektual, mereka melebihi dunia Islam Sunni terutama saat terjadi kevakeman ijtihad pada periode pertengahan. Mereka terus giat mengembangkan warisan intelektual muslim sunni, terutama dalam bidang filsafat Islam, khususnya teosofi isyraqiyah dan Ibn ‘Araby.[11]
Masa pemerintahan masing-masing Amir dari Dinasti Samaniyah adalah sebagai berikut:[12]
·        Ismail ibn Ahmad (279 H/ 892 M)
·        Ahmad ibn Ismail (295 H/ 908 M)
·        Nashr ibn Ahmad (301 H/ 914 M)
·        Nuh ibn Nashr (331 H/ 943 M)
·        ‘Abd al-Malik ibn Nuh (343 H/ 955 M)
·        Manshur ibn Nuh (350 H/ 961 M)
·        Nuh II ibn Manshur (366 H/977 M)
·        Manshur II ibn Nuh II (387 H/ 997 M)
·        ‘Abd al-Malik II ibn Nuh II (389 H/ 999 M)
B.    Wilayah Kekuasaan
Untuk menelusuri kekuasaan Samani, kita harus kembali pada zaman Al-Ma’mun yang membagi-bagi wilayah kepada para pendukungnya bersamaan dengan pemberian wilayah kepada Tahiri di Khurasan. Asad Ibn Saman diberi kewenangan oleh al-Ma’mun untuk memimpin daerah Transoxania. Kemudian dinasti kecil ini menaklukan wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga berhasil menguasai Transoxania, Khurasan, Sajistan, Karman, Jurjan, Rayy, dan Tabaristan. Dinasti Samani dapat menguasai  Khurasan setelah berhasil membantu khalifah Abbasiyah (Al-Mut’addid), menangkap dan memenjarakan Amr Ibn Laits (khalifah dinasti Safari terakhir).[13]
Di Transoxania terdapat dua kota penting tempat peradaban Islam yang pernah berkembang dengan pesat, yaitu Samarkand dan Bukhara. Pada masa pemerintahan dinasti Samaniyah, Samarkand menjadi daerah yang sangat makmur dan masyarakatnya hidup sejahtera, yang hanya dapat dibandingkan dengan masa pemerintahan Timur Lenk dan keturunannya di sana, lima ratus tahun kemudian. Sekalipun ibukota pindah ke Bukhara, tetapi Samarkand tetap merupakan kota terpenting karena ia menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan Islam. Penghasilan utama dari kota Samarkand adalah kertas Samarkand yang terkenal. Pabrik kertas ini dipindahkan dari Cina. Sedangkan kota Bukhara terkenal dengan perdagangan dan industri tenunnya. Dan hasil industri tenun ini di ekspor ke Syria, Mesir, dan Romawi.[14]
C.    Pelaksanaan Pendidikan
Dinasti ini berjasa besar dalam menggalakkan penulisan buku-buku dan penciptaan karya-karya sastra dalam bahasa Persia. Diantara karya besar yang dilahirkan pada masa ini adalah Syahnamah karya Firdausi dan Mukhtashar al-Thabari karya al-Ba’lami, Wazir dari Manshur ibn Nuh. Di masa ini juga dihasilkan karya kedokteran, al-Kitab al-Manshuri, karya Abu Bakr al-Razi yang dipersembahkan kepada “Gubernur” dinasti ini di Sijistan, Abu Manshur Shalih ibn Ishaq al-Samani (350-66). Ibn Sina juga dekat dengan keluarga Samaniyyun ini karena ia berhasil menyembuhkan Amir terakhir, Abdul Malik II ibn Nuh II.[15]


D.    Perekonomian Kerajaan Samaniyah
Para ilmuwan banyak mengembangkan ilmunya disini dalam bidang pertanian, perdagangan, arsitektur, dan lain-lain. Hal ini digunakan untuk meningkatkan perekonomian kerajaan. Selain dari pengembangan sumber daya alamnya, masyarakat juga harus memberikan pajak kepada pusat kerajaan meskipun kerajaan harus memberikan pajak juga kepada dinasti Abbasiyah sebelum memerdekakan diri. Transaksi dengan negara-negara lain selalu dijalankan. Bahkan produksi logam, tekstil, dan perak mereka diekspor sampai ke Rusia dan Cina. Industri kerajinan tangan menjamur diberbagai daerah sampai pelosok kerajaan. Contoh kerajinannya adalah mangkok dan piring yang dibuat dari tanah liat, tembikar yang bermotif macam-macam hiasan. Pada masa itu sudah ada mesin pencetak karpet yang memiliki harga 130 juta dirham sehelainya.
Untuk kawasan Khurasan terkenal dengan dagangannya berupa timal meja, hiasan dinding, serta kain pembungkus sofa dan bantal. Bukhara sangat terkenal dengan produksi sajadahnya. Gambaran yang lengkap tentang perkembangan industri dan perdagangan di Transoxania dapat dilihat dari tulisan Al-Maqsidi yang menyebutkan daftar-daftar barang yang ekspor ke berbagai kota, yaitu sabun, karpet, lampu, perunggu, wol, madu, pisau, pedang, pot bunga, dan lain-lain.
Industri penting lain yang perlu dicatat adalh pembuatan kertas tulis yang diperkenalkan pada abad ke-8 kepada Cina dari Samarkhand. Kertas yang dicetak sudah bermacam-macam, seperti kertas putih, kertas warna, dan macam-macam kertas lainnya. Di Khurasan pada abad ke-10 menjadi sumber tambang yang merupakan tumbuhnya industri perhiasan yang meliputi emas, perak yang menghasilkan marmer.
Selain masalah industri, masalah pertanian daerah Transoxania sangat maju, bahkan bisa mengungguli Iraq dan Mesir. Pertanian merupakan pendapatan pajak yang terbesar. Disini antara Samarkand dengan Bukhara terbentang lembah yang luas yang banyak menghasilkan hasil pertanian seperti berbagai jenis buah, sayuran, dan bunga. [16]
E.     Tokoh-Tokoh Dinasti Samaniyah
1.      Abu Mansur Al-Maturidi
Abu Mansur Al-Maturidi merupakan tokoh dalam bidang teologi, ia meninggal pada 944 M di Samarkand. Dalam soal sifat-sifat Tuhan al-Maturidi sepaham dengan Al-Asy’ari. Baginya, Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, tetapi dengan sifat pengetahuan-Nya. Al-Qur’an dalam pendapatnya juga bersifat qadim dan bukan diciptakan. Demikian pula mengenai dosa besar ia sepaham dengan Al-Asy’ari. Tetapi dalam hal perbuatan manusia, ia berpendapat lain dari Al-Asy’ari. Pendapatnya lebih dekat kepada Mu’tazilah dalam arti, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya[17]. Diantara bukunya yang terkenal,  yaitu Kitab Al-Tauhid, Kitab Al-Muqalat, Al-Radd ‘Ala Al-Qaramithah, Bayan Wahn Al-Mu’tazilah, Radd Al-Ushul Al-Khamsah,Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, dan lain-lain.
2.      Al-Farabi
Al-Farabi nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Al-Farabi. Ia merupakan tokoh dalam bidang sains. Ia lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada 870 M. Menurut keterangan ia berasal dari Turki dan orangtuanya adalah Jenderal. Ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab, ia kemudian pindah ke Baghdad yang pada waktu itu menjadi pusat ilmu pengetahuan. Disana ia belajar, pada Abu Bishr Matta Ibn Yunus, dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif al-Daulah serta memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Al-Farabi meninggal di Aleppo pada 950 M, dalam usia 80 tahun. Pemikirannya dalam bidang filsafat antara lain berkenaan dengan hubungan agama dan filsafat, penciptaan alam, tentang akal, kenabian, dan politik[18]. Karya-karya Al-Farabi diantaranya adalah Tahiq Ghard Aristu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah, Syarah Risalah Zainun Al-Kabir Al-Yunani At-Ta’liqat, Kitab Tahsil As-Sa’adah, Risalah fi ma Yajibu Ma’rofat Qobla Ta’aalumi al-Falsafah, dan Risalat Al-Aql.
3.      Abu Hanifah
Abu Hanifah, nama lengkapnya adalah Abu Hanifah al-Nu’am Ibn Sabit. Ia lahir di Kuffah pada 700 M dan berasal dari keturunan Persia. Ia adalah tokoh dalam bidang fiqh. Corak pemikiran intelektual Abu Hanifah dalam bidang fiqh banyak dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjadi di Kuffah yang letaknya jauh dari Madinah. Jika di Madinah sebagai tempat tinggal Nabi banyak dijumpai al-Sunnah, sedangkan di Kuffah sebagai kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persiam hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi sedangkan al-Sunnah sulit dijumpai. Selain itu, problema-problema kemasyarakatan yang terdapat di Kuffah juga lebih banyak dibandingkan dengan problema-problema yang terdapat di Madinah[19]. Diantara karya-karya Imam Abu Hanifah yang telah sampai kepada kita adalah Al-Fiqh Al-Akbar, Kitab Ar-Risalah, Kitab Al-Washiyyah, Al-Fiqh Al-Absath, dan Kitab Al-‘Alim wa Al-Muta’allim.
4.      Al-Bukhari
Nama Al-Bukhari adalah Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Yafi’i Al-Bukhari. Beliau dilahirkan pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H (810 M) di sebuah kota bernama Bukhara. Pada waktu remaja, ia bermukim di Madinah dan menyusun kitab Tarikh Al-Kabir. Beliau merupakan tokoh dalam bidang periwayatan hadits. Beliau mempelajari hadits dari para guru hadits di berbagai negeri, diantaranya Khurasan, Irak, Mesir, Mekkah, Asqalan, dan Syam. Ia salah seorang yang kuat daya hafalannya, sebagian riwayat menjelaskan bahwa kecerdasan beliau adalah sekali melihat dapat mengingat atau menghapal dengan sempurna. Beliau seorang yang zahid, wara’, pemberani, pemurah, dan sebagai mujtahid dalam fiqh. Beliau hafal sebanyak 100.000 buah hadits shahih dan 200.000 buah hadits yang tidak shahih. Diantaranya yang shahih beliau masukkan ke dalam kitab shahihnya dan beliaulah yang pertama kali yang menghimpun hadits shahih ke dalam sebuah buku yang bernama Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari. Selain itu terdapat tiga kitab At-Tarikh, yaitu Al-Kabir,      Al-Awsath, dan Al-Ashgar, kitab Al-Kuna, kitab Al-Wuhdan, dan kitab Al-Adab Al-Mufrad.[20]
5.      Jabir Ibn Hayyan
Jabir Ibn Hayyan dalam bahasa Latin disebut Geber dianggap sebagai Bapak Kimia yang termasyhur. Ia lahir di Thus-Khurasan, Iran pada 721 M, setelah ayahnya hijrah dari Kuffah, Irak. Ayahnya, Hayyan adalah seorang ahli obat-obatan (apoteker). Hayyan tebunuh dalam pergerakan politik yang menggulingkan dinasti Umayyah pada abad ke-8. Jabir sendiri meninggal di Kuffah, Irak pada 815 M. Dengan demikian, usianya kurang lebih 84 tahun. Para peneliti tentang Jabir Ibn Hayyan ini berpendapat, bahwa Jabir dianggap sebagai penemu metode evaporation, filtration, sublimation, calcination, melting, distillation, dan crystalization yang sangat terkenal[21]. Karya-karya Jabir diantaranya adalah yaitu Al-Hikmah Al-Falsafiyah, Kitab Al-Rahmah, Kitab Al-Tajmi, Al-Zilaq Al-Sharqi, Book of The Kingdom (diterjemahkan oleh Berthelot), Book of Eastern Mercury (diterjemahkan oleh Berthelot), Book of Balance (diterjemahkan oleh Berthelot), dan The Book of the Composition of Alchemy.
6.      Zakaria al-Razi
Zakaria al-Razi terkenal dengan Razhes (bahasa latin). Beliau adalah ahli kedokteran klinis, dan penerus Ibn Hayyan dalam pengembangan ilmu kimia. Ia melakukan penelitian empiris dengan menggunakan peralatan yang lebih canggih dibanding dengan kegiatan ilmiah sebelumnya dan mencatat setiap perlakuan kimiawi dikenakannya terhadap bahan-bahan yang ditelitinya serta hasilnya.[22] Al-Razi pernah menulis suatu karya kedokteran yang berjudul Al-Manshur yang ditujukan untuk amir Samaniyah, serta Al-Judari wa Al-Hasbah (Cacar dan Campak) yang merupakan buku pertama yang membahas tentang cacar dan campak sebagai dua wabah yang berbeda.
7.      An-Nasa’i
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Syu’ab bin Ali bin Sinin Al-Khurrasani An-Nasa’i Abu Abdurrahman. Beliau dilahirkan di kota Nasa’ suatu kota masuk wilayah Khurasan pada tahun 215 H. Beliau mengembara ke berbagai kota besar untuk mencari hadits, antara lain Khurasan, Hijaz, Irak, dan Mesir kemudian menetap di Mesir. Beliau juga seorang faqih bermazhab Asy-Syafi’i ahli ibadah, berpegang teguh pada sunnah, dan memiliki wibawa kehormatan yang besar. Setelah melaksanakan ibadah haji, ia menetap di Mekkah sampai menghadap ke hadirat Ilahi pada tahun 303 H/915 M. Beliau meninggal di Ramalah dan dimakamkan di Baitul Maqdis. Cukup banyak karangan beliau, yang paling populer adalah As-Sunan yang disusun seperti bab fiqh. Dari segi kualitas haditsnya terdapat hadits shahih, hasan dan dha’if. Beliau beri nama kitab itu As-Sunan Al-Kubra. Kemudian ada pula kitab yang hanya berisi haditsnya yang shahih dan disebut kitab As-Sunan As-Sughra, dan diberi nama Al-Mujtaba min As-Sunan, yaitulah yang sampai ditangan kita. [23]
8.      Ath-Thabari
Nama lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Katsir Abu Ja’far Ath-Thabari, berasal dari Amil, lahir dan wafat di Baghdad. Dilahirkan pada 224 H dan wafat pada 310 H. ia seorang ulama yang sulit dicari bandingannya, banyak meriwayatkan hadits, luas pengetahuannya dalam bidang penukilan, penarjihan riwayat-riwayat, sejarah tokoh dan umat masa lalu. Salahsatu karyanya yaitu kitab tentang tafsir, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an merupakan tafsir paling besar dan utama, menjadi rujukan penting bagi para mufassir bil-ma’tsur.[24]
F.     Peninggalan-peninggalan dinasti Samaniyah
Sebagaimana Abbasiyah, penguasa-penguasa Samaniyah adalah orang-orang yang mahir dalam menciptakan kultur Islam yang menakjubkan. Pada Abad kesepuluh Bukhara tampil sebagai pusat literatur dan kesenian Islam-Persia yang baru lantaran ide-ide keagamaan, hukum, filsafat, dan kesastraan Islam yang berbahasa Arab disusun kembali dalam bahasa Persia. Oleh karena itu, ini merupakan saat pertama dimana agama dan kultur Islam tersedia di dalam bahasa selain bahasa Arab.[25]
Ketika itu Samarkand dan Bukhara, masing-masing terbagi menjadi tiga bagian sebagaimana lazimnya kota-kota di Persia, yaitu daerah benteng, “kota” sebagai pusat, kantor-kantor pemerintahan dan penjara. Di sekitar “kota” digali paris yang di dalam dan tanahnya dibuat tembok kota itu. “Kota” di Samarkand mempunyai empat buah pintu utama, sementara di Bukhara tujuh buah pintu.  “Kota” berbatasan dengan perkampungan, yang terdapat pasar-pasar besar, pertokoan dan gudang harta yang jarang terdapat di “kota”. Di tengah kota berdiri kantor-kantor pemerintahan dan masjid jami.[26]
Tarekat Samaniyah sangat berkembang di Aceh. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan dari tarekat ini di Aceh adalah tari seudati. Tari seudati tadinya berasal dari zikir yang diajarkan dalam tarekat Samaniyah sendiri, dan dikenal di Aceh dengan nama ratib Saman. Malah dalam perkembangannya kemudian seudati tersebut tidak lagi berisi bacaan-bacaan zikir kepada Allah, tetapi telah dimuati oleh syair-syair yang mengarah ke percintaan laki-laki dan perempuan, seperti yang termanifestasi dalam tari seudati inong. Tarekat Samaniyah berisi zikir kepada Allah yang dilaksanakan setiap malam jumat di masjid yang dilakukan bersama-sama sampai malam. Di kalangan tarekat Samaniyah ini dikenal Manaqib Syeikh Muhammad Samman. [27]
G.   Masa Kemunduran Dinasti Samaniyah
Sekalipun Dinasti Samaniyah mencapai puncak kegemilangannya dalam pemerintahannya, sekaligus merupakan salah satu Dinasti Iran yang paling tercerahkan, Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan, selain persoalan biasa yang muncul dari pergolakan aristokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi pemerintahan, muncul juga ancaman baru yakni para pengembara Turki yang bergerak menuju Utara. Bahkan di dalam Negara sendiri kekuasaan berangsur-angsur diambil alih oleh orang-orang Turki, yang justru merupakan golongan yang sering diadili oleh penguasa Samaniyah. Salah satu wilayah Samaniyah sebelah selatan Oxus, perlahan-lahan diambil alih oleh Dinasti Ghaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu orang Turki. Wilayah disebelah utara sungai dirampas oleh Ilek (Ilaq khan) dari Turkistan yang pada 992 H merebut Bukhara dan tujuh tahun kemudian melakukan pengakhiran terhadap Dinasti Samaniyah yang riwayatnya sudah berakhir.[28]
Rezim Samaniyah telah mengalami disintegrasi pada abad kesepuluh, dan wilayah kekuasaannya di Khurasan dan Afghanistan jatuh ke tangan Alptigin, seorang gubernur orang Turki yang beribu kota di Ghazna (Afghanistan). Alptigin mendirikan sebuah rezim tentara Turki yang menaklukan dan menguasai Khurasan sejak 999 M sampai tahun 1040 M, dan memerintah Afghanistan sampai tahun 1186 M. Mereka menyerang Transoxania dan Iran Barat, serta Lahore pada tahun 1030 M, dan mengambil alih sebagian wilayah India Utara hingga tahun 1187 M. Dimana-mana mereka menghancurkan elite lama dan mengganti mereka dengan prajuritnya. Ghaznawiyah memprakarsai sebuah rezim yang di dalamnya prajurit Turki mendominasi negara; para penguasanya sendiri berasal dari kalangan orang Turki. Sebagaimana penguasa Buwaihiyah, mereka juga memberikan hak iqtha’ kepada prajurit mereka, bahkan mereka juga mempertahankan peninggalan administrasi birokratis Samaniyah untuk mempertahankan kekuasaan pusat atas distribusi tanah perkebunan dan untuk mengumpulkan upeti, harta rampasan, dan pendapatan dari ladang pertanian. [29]
Setelah dinasti Samaniyah runtuh, Samarkand dan Bukhara jatuh ke tangan dinasti Saljuk Sanjar tahun 495 H (1102M), tetapi empat puluh tahun kemudian, tepatnya pada 536 H (1141 M) kota ini direbut oleh dinasti Khawarismsyah yang menjadikan Bukhara sebagai pusatnya. Pada 606 H (1209 M) dua kota ini dikepung oleh Jengis Khan selama beberapa bulan setelah ia menyebrangi Sungai Jihun. Bukhara adalah kota Islam pertama yang diserang oleh Jengis Khan, yaitu pada tahun 616 H (1220 M). Setahun kemudian kota Samarkand, setelah sebagian penduduknya dibunuh dan sebagian bangunannya dihancurkan, dan sebagian penduduknya yang lain diperkenankan tinggal di bawah kekuasaan Mongol.[30]




[1] Samarqan adalah nama kota di bagian tengah Uzbekistan.
[2] Fergana merupakan provinsi di Turkistan Rusia. Dibatasi provinsi Syr-darya di utara dan barat laut, Samarkand di barat, dan Semirechie di timur laut, Turkistan Tionghoa (Kashgaria) di timur,  Bukhara  dan Afganistan di selatan.
[3] Herat adalah sebuah provinsi yang terletak di Afganistan barat, dan beribukota di Herat. Kota Herat terletak di lembah Hari Rud.
[4] Transoxania adalah nama sebuah wilayah kuno yang terletak di Asia Tengah, antara Sungai Amu Darya dan sungai Syr Darya. Daerah ini sekarang wilayah yang sebagian besar berada di Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan dan Turkmenistan.
[5] Ahmad Fadlali, et.al. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PUSTAKA ASATRUSS, 2009), hal.80-81
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hal.68
[7] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, penerjemah Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.213
[8] Ahmad Fadlali, op,cit. hal.81
[9] Philip K. Hitti, History Of The Arabs,Terjemah, Edisi-10, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta , 2006) , hal. 586
[10] https://id.wikibooks.org/wiki/Asia_Tengah_Pra-1500/Sejarah/Samaniyah . diakses pada tanggal 15 september 2016
[11] Ajid Thohir. Studi Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal.193-194
[12] Dudung Abdurrahman, et,al. Sejarah Peradaban Islam. (Yogyakarta: LESFI, 2004) hal.202
[14] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.184-185
[15] Dudung Abdurrahman, et,al. Sejarah Peradaban Islam. (Yogyakarta: LESFI, 2004) hal.202
[17] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.43
[18] Ibid, h.112
[19] Ibid, h.45
[20] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2013), hal.291-292
[21] Abuddin Nata, op, cit, hal.95
[22] Tatang, Sejarah Bani Abbasiyah, diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/196503141992031-TATANG/Tarikh_Islam/%284%29_Sejarah_Bani_Abbasiyah.pdf, pada tanggal 17 September 2016. hal.14
[23] Abdul Majid Khon, op, cit. 297-298
[24] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hal.477-478
[25]   Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, penerjemah Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.215
[26] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.184
[27] Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Djambatan,2002) hal.1025                            
[28]   Philip K. Hitti, History Of The Arabs,Terjemah, Edisi-10, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta , 2006) , hal.588
[29]   Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, penerjemah Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.215
[30] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.185

Comments

Popular posts from this blog

DINASTI QAJAR (1779-1925)

DINASTI SAFAWIYAH