DINASTI SAFAWIYAH

A.     Sejarah Pendirian Dinasti Safawiyah

Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara 1502 – 1722 M, yang merupakan kerajaan Islam yang cukup besar di Persia.[1] Berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Ustmani.  Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[2] Kerajaan Syafawi beraliran Syi’ah dan dapat dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.[3]
Safi Al-Din berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din I brahim Zahidi yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.[4]
Safi Al-Din bukan hanya seorang guru tarekat, ia juga sebagai pedagang dan politisi. Namun ia kurang berambisi terhadap kekuasaan politik, karena bidang politik bukanlah perhatian utamanya. Ia lebih tertarik menjadi pelindung kaum miskin dan orang-orang lemah. Selain itu, ia memiliki misi antara lain, mengislamkan orang Mongol, penganut agama Budha.[5]
Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M.  Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di negeri negeri di luar Ardabil, Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil-wakil tersebut diberi gelar “khalifah”. [6]
Suatu ajaran yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan pengikutnya untuk berkuasa. Karena itu lma kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang mazhab yang bukan Syi’ah.[7]

B.     Wilayah Kekuasaan Dinasti Safawiyah

Ismail adalah tokoh yang memprakarsai berdirinya Dinasti Safawi di Persia. Ia berkuasa selama 23 tahun. Sepuluh tahun pertama, ia berhasil memperluas kekuasaannya. Wilayahnya meliputi India, Kaspia, Gurdan, Yazd, Diyar Bakr, Persia, Sirwan, dan Khurasan. Keberhasilannya dalam memperluas kekuasaannya tidak dapat dilepaskan dari peran pasukan militernya yang bernama Qizilbash.  Ismail mengalami kekalahan akibat perang dengan Turki Usmani pada tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz, dan membuat wilayah Tabriz jatuh di bawah kekuasaan Turki Usmani yang dipimpin oleh Sultan Salim. Para pengganti Ismail yakni Tahmasp, Ismail II, dan Khudabanda tidak mampu mengembalikan kekuatan kerajaan. Kerajaan baru pulih saat diperintah oleh Abbas I.[8]
Sultan yang terbesar, Abbas yang Agung, naik tahta dalam usia 17 tahun dan memerintah dari tahun 1558 – 1620 M. Sultan ini mulai memerintah ketika daulah Usmaniyah sedang mencapai kebesarannya pada masa Sultan Sulaiman Agung, karena itu Sultan Abbas mengajak damai. Pada masa damai itulah Sultan Abbas memperbaiki korps angkatan perangnya dengan sistem modern dengan peralatan perang meriam sebagaimana angkatan perang daulah Usmaniyah. Dengan angkatan perang seperti inilah Abbas Agung mencapai kebesarannya.[9]
Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada di bawah Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[10]

C.        Basis Perekonomian Dinasti Safawiyah

Stabilitas politik dinasti Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik dinasti Safawi.
Di samping sektor perdagangan, dinasti Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent).

D.     Penyelenggaraan Pendidikan Dinasti Safawiyah

Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.[11]
Pada periode kepemimipnan Syah Abbas I merupakan puncak kejayaan dinasti Safawi. Sejarah mencatatnya sebagai masa kebangkitan kejayaan lama Persia. Sikap Syah Abbas I terhadap pengembangan keilmuan dan pendidikan dapat dilihat dari segi fisik material, keberhasilannya ditunjukkan dengan dibangunnya 162 masjid dan 48 pusat pendidikan.
Bahwasannya sistem pendidikan pada masa ini didominasi oleh tiga jenis pendidikan;
1. Pendidikan Indoktritatif
Yaitu pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan patriotisme terhadap Negara. Dalam hal ini doktrin yang digunakan ialah yang terkait dengan teologi Syi’ah selaku teologi yang dianut oleh Negara. Diketahui pula rasa ajaran Syi’ah begitu kental mewarnai pemerintahan Safawi. Karena keberhasilan pemerintahan Safawi banyak ditentukan oleh interistik dan  seruan keagamaan.
2. Pendidikan Estetika
Pendidikan ini menekankan pada seni karya yang diharapkan mampu menjadi komoditi perdagangan dinastii Safawi. Dalam sejarahnya, dinasti Safawi telah mengenal perdagangan internasional dan bahkan telah melakukan kerjasama perdagangan dengan bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Perancis dan Inggris. Maka tidak salah jika dinasti Safawi berharap banyak terhadap rakyatnya agar mampu mengembangkan aspek perdagangan dengan membekali mereka kemampuan-kemampuan terkait dengan perdagangan.
3. Pendidikan Militer dan Manajemen Pemerintahan
Sebagai bangsa yang besar dan memiliki tanah kekuasaan yang luas, sudah sewajarnya dinasti Safawi mengembangkan kekuatan militer mereka guna memertahankan kekuasaannya. Sedangkan diperlukan pula orang-orang yang ahli dalam bidang pengelolaan pemerintah secara internal.[12]

E.      Tokoh Cendekiawan Dinasti Safawiyah

1.      Tokoh Penguasa Dinasti Safawiyah
Nama Syah
Tahun Masehi
Tahun Hijriah
Ismail I
1501
907
Tahmasp I          
1524
930
Ismail II
1576
984
Muhammad Khudabanda
1578
985
Abbas I
1588
996
Syafi’i
1629
1038
Abbas II
1642
1052
Sulaiman I (Syafi’i II)
1666
1077
Husain I
1694
1105
Tahmasp II
1722
1135
Abbas III
1732
1145

2.      Tokoh Ilmuwan yang terkenal pada masa Dinasti Safawiyah
Ada beberapa ilmuan yang selalu hadir di majlis istana, yaitu: Baha Al-Din Al-Shaerazy, generalis ilmu pengetahuan; Sadar Al-Din Al-Syaerazi, merupakan seorang filosof yang mengarang buku Al-Hikmah al-Muta’aliyah; dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad, Filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.[13] Syamsul Bakri juga memaparkan ilmuwan yang terkenal pada masa Dinasti Safawiyah yaitu,
a.       Muhammad Baqir bin Muhammad Damad, seorang ahli filsafat dan ilmu pasti
b.      Bahau Al-Din Al-Amily, salah seorang ulama ternama.
c.       Shadr Al-Din Asy-Syirozi, seorang tokoh filosof.[14]

F.      Peninggalan Dinasti Safawiyah

1.      Peninggalan Bidang Pembangunan Fisik
Ketika masa kepemimpinan Abbas I, dikuasai kepulauan Hermuz di teluk Persi dan dijadikan bandar perniagaan, diberi nama baru yang melekat sampai sekarang, yakni bandar Abbas. Para penguasa kerajaan telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan, menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut, berdiri bangunan besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum. [15]
Salah satu masjid peninggalan dinasti Safawi yang masih terawat sampai saat ini adalah masjid shah. Masjid ini mulai dibangun pada 1611 M, terletak di sisi selatan kompleks Maidan Imam. Keberadaan bangunan masjid ini sebagai simbol penguasa Kerajaan Safawi. Karenanya, masjid ini kemudian disebut Masjid Shah yang merupakan sebutan untuk penguasa monarki di Persia.
Pembangunan masjid ini hingga masa Syah Safi (1629-1642 M), pengganti Syah Abbas I, belum selesai. Bagian kubah masjid baru selesai dibangun pada 1638 M. Dari segi tata letak masjid, terlihat perbedaan cukup prinsip dibanding dengan masjid-masjid kerajaan di negeri-negeri Muslim pada masa itu yang kebanyakan menyatu dengan istana raja.
Selain masjid Shah, terdapat masjid Syekh Lutfallah yang berada di sisi timur kompleks Maidan Imam tidak besar jika dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya. Namun, bangunannya indah dan unik bila dibandingkan dengan masjid lain sezamannya.
Berdasarkan prasasti yang terdapat pada portal (pintu gerbang utama) masjid, tertulis bahwa Masjid Syekh Lutfallah mulai dibangun pada 1012 H atau sekitar 1603-1604 M. Nama pelukis kaligrafi Ali Riza al-Abbasi yang kemudian membuat kaligrafi Masjid Shah juga tertera dalam tulisan prasasti tersebut. Prasasti lainnya yang terdapat pada ruang dalam kubah tertera tahun pembuatan dekorasi masjid, 1025 H atau 1616 M. Sementara pada prasasti ketiga tercatat nama sang arsitek masjid, Muhammad Riza, dan tanggal penyelesaian pembangunan, yakni pada 1028 H atau 1618-1619 M.[16]
2.      Peninggalan Bidang Seni
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dengan dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid shah yang dibangun tahun 1611 M dan masjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenun, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. [17] Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. Raja Ismail I pada tahun 1522 M, membawa seorang pelukis Timur bernama Bizhad ke Tabriz.[18]



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-4, Jakarta : Amzah, 2014, hlm. 187
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 138
[3] Didin Saefudin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2007, hlm. 178
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 138
[5] Didin Saefudin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2007, hlm. 178
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 138
[7] Didin Saefudin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2007, hlm. 178
[8] Didin Saefudin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-1, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2007, hlm. 179
[9] Musyrifah Sunanto, Sejarah islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke-3, Jakarta : Kencana, 2007, hlm.250
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 143
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 144
[12] Muhammad nafi’, Karakteristik Pendidkan Dinasti Safawi, (http://podoluhur.blogspot.co.id/2011/03/karakteristik-pendidkan-dinasti-safawi.html, diakses pada Minggu, 18-09-2016, pukul 14.57)
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 144-145
[14] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-1, Yogyakarta : Fajar Media Press, 2011, hlm. 251
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 144-145
[16] Aajum, Warisan Kerajaan Syafawi, (http://www.adzikr.com/2012/11/tiga-kerajaan-besar-islam.html, diakses pada 18 Desember 2016, pukul 17.13)
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiah II, cet. ke-25, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 144-145
[18] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. ke-4, Jakarta : Amzah, 2014, hlm. 192

Comments

Popular posts from this blog

DINASTI QAJAR (1779-1925)

DINASTI SAMANIYYAH (873-998 M)